3. Bagaimana Tap MPRS 1966 berkontribusi --- tidak selalu langsung, tetapi signifikan
Ada tiga mekanisme utama lewat mana Tap MPRS No. XXVII/1966 berkontribusi pada terjadinya pola feodalisasi religius:
1. Legitimasi Negara atas Batas Ideologis --- Ketetapan yang menata "ajaran yang boleh" memberi wewenang negara untuk menjadi arbiter ideologis. Ketika negara mengkonsolidasikan batas-batas, aktor agama yang selaras dengan rezim mendapatkan akses lebih besar ke sumber daya, perlindungan hukum, dan ruang publik. Hal ini memperkuat patronase kelompok tertentu.Â
2. Institutional Capture of Religious Education --- Peraturan tentang pendidikan agama yang "direformasi"Â sejak 1966 (termasuk penempatan pendidikan agama dalam kurikulum formal) membuka peluang bagi institusi tertentu mengukuhkan model pedagogi yang menempatkan otoritas guru sebagai pusat kepatuhan---bukan sekadar transfer ilmu tetapi juga pembinaan loyalty struktural. Studi sejarah pendidikan menunjukkan bagaimana kebijakan ini mengubah relasi guru--murid menjadi lebih birokratis sekaligus hirarkis.Â
3. Negara sebagai Penetap "Norma Kebudayaan" --- Ketika negara menstandarisasi apa yang dipandang sebagai "kebudayaan nasional" dan mempromosikan satu versi adaptif agama yang patuh pada garis negara, kelompok-kelompok yang berseberangan terpinggirkan. Dalam konteks itu, elite agama yang kooperatif menjadi gatekeeper sumber daya moral dan material di komunitasnya.
4. Konsekuensi sosial-ekonomi: ketergantungan, clientelisme, dan ketidaksetaraan
Feodalisme religius bukan sekadar soal simbolisme (gestur hormat, pengagungan). Ia menghasilkan konsekuensi nyata: akses terhadap pendidikan (termasuk beasiswa), pekerjaan lokal, bantuan sosial, dan legitimasi politik sering mengalir melalui jaringan patronase agama. Dalam kondisi ekonomi lokal yang rentan, ketergantungan pada patron agama bisa berubah menjadi eksploitasi---santri yang bekerja untuk pesantren tanpa kompensasi yang adil, atau warga yang menukar dukungan politik dengan akses program sosial---fenomena yang kerap dikritik publik. Laporan lapangan dan artikel investigatif lokal akhir-akhir ini menyoroti kasus-kasus seperti itu, meskipun data kuantitatif resmi masih terfragmentasi.Â
5. Kritik teoretis: Mengapa menyamakan "Institusi Pendidikan Keagamaan" dengan "feodalisme" berisiko --- dan mengapa tetap relevan
Label "feodalisme" memudarkan kompleksitas. Institusi Pendidikan Keagamaan adalah lembaga pendidikan dengan akar sosial historis panjang; praktik adab, penghormatan, dan relasi murabbi--santri memiliki dimensi rekreatif positif. Namun, kritik yang tepat bukan meniadakan pesantren atau institusi pendidikan keagamaan yang lain; melainkan memeriksa kondisi kekuasaan dan akuntabilitas di dalamnya. Istilah "feodalisme religius" berguna ketika ia dipakai untuk menandai kondisi ketimpangan relasi kuasa---bukan untuk mendiskreditkan seluruh tradisi keagamaan.
6. Rekomendasi kebijakan: mengurai simpul kekuasaan tanpa merusak jaringan sosial
Untuk mengatasi problematika feodalisme religius yang terstruktur, diperlukan intervensi yang kombinatif: