Sejak diumumkan pada 24 Februari 2025, Daya Anagata Nusantara (Danantara) tidak sekadar hadir sebagai instrumen investasi --- ia menjadi medan perebutan interpretasi atas siapa yang berhak mengelola kekayaan negara dan untuk apa. Di satu sisi negara menyajikan narasi efisiensi, konsolidasi BUMN, dan katalisis investasi; di sisi lain muncul kekhawatiran serius tentang kedaulatan ekonomi, transparansi, dan kesesuaian dengan amanat landasan ekonomi yang pernah dirumuskan dalam Ketetapan MPRS No. XXIII/1966 (Tap MPRS XXIII/1966). Tulisan ini menimbang Danantara terhadap teks dan semangat Tap MPRS 1966, mengurai fakta terkini, risiko nyata, dan menyodorkan kesimpulan serta rekomendasi kebijakan yang mendesak.Â
1. Fakta-fakta primer
Pengumuman resmi pembentukan Danantara terjadi 24 Februari 2025; ini dimaksudkan sebagai badan pengelola investasi (sovereign wealth fund / SWF) yang mengonsolidasikan aset-aset BUMN untuk dikelola secara korporatis.Â
Skala dan target yang diumumkan ambisius: laporan dan pernyataan resmi/pejabat menyebut portofolio aset yang dikelola mencapai ratusan miliar hingga sekitar US$900 miliar--US$1 triliun (angka bervariasi menurut sumber) dan target dividen/arus kas hingga US$7--10 miliar dalam beberapa tahun mendatang. Danantara juga dikabarkan akan menyalurkan investasi awal puluhan miliar dolar dan men-deploy capital ke proyek strategis domestik maupun luar negeri.Â
Kritik hukum dan tata kelola telah muncul --- termasuk uji materiil/konstitusionalitas dan sorotan akan pelemahan pengawasan atas BUMN bila fungsi pengelolaan dipindahkan ke SWF dengan ruang pengaturan yang longgar. Beberapa pengamat publik menyoroti potensi konflik kepentingan, kelemahan akuntabilitas, dan bahaya politisasi investasi negara.Â
2. Tap MPRS No. XXIII/1966: apa intisarinya yang relevan?
Tap MPRS XXIII/1966 ditetapkan 5 Juli 1966 dan berjudul "Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan". Dokumen ini menempatkan landasan ekonomi nasional sebagai hal strategis yang harus melindungi kepentingan rakyat, menegaskan peran negara dalam mengatur jalannya perekonomian untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dan kesejahteraan umum. Meski secara formal Tap MPRS adalah produk politik-hukum era tertentu, semangatnya---bahwa sumber daya dan kebijakan ekonomi harus untuk kepentingan bangsa---tetap relevan sebagai ukuran normatif.Â
3. Titik-titik kesamaan
Pendukung Danantara akan mengklaim beberapa kesesuaian dengan Tap MPRS 1966: (1) efisiensi pengelolaan aset negara dapat memperbesar kapasitas pembiayaan pembangunan; (2) konsolidasi BUMN dapat mengefektifkan instrumen negara untuk kepentingan pembangunan; (3) hasil investasi (dividen) dapat dialirkan untuk program publik. Secara normatif, pengelolaan aset negara yang profesional dapat dibaca sebagai upaya mewujudkan tujuan pembangunan yang termaktub dalam Tap MPRS. Namun klaim ini hanya relevan bila struktur hukum, mekanisme akuntabilitas, dan kontrol demokratisnya memadai --- dan itu bukan sekadar retorika.Â
4. Titik-titik Ketidakselarasan: mengapa Danantara berpotensi "menantang" Tap MPRS
Berikut ini empat masalah kritis yang mesti ditempatkan di pusat wacana publik --- dan yang membuat Danantara menguji konsistensi nyata antara kebijakan modern dan amanat 1966.
a) Pemindahan/konversi aset strategis & kedaulatan ekonomi
Tap MPRS menempatkan sumber daya ekonomi sebagai instrumen untuk kepentingan rakyat. Pengalihan kepemilikan/kelola aset strategis ke struktur yang lebih "korporatis" tanpa batasan yang jelas membuka risiko berkurangnya kontrol negara atas aset strategis---baik sumber daya alam maupun perusahaan yang berkaitan dengan layanan publik. Akibatnya, "kedaulatan ekonomi" menjadi retorika jika mekanisme proteksi tidak eksplisit.Â
b) Transparansi dan akuntabilitas lemah
Banyak kritik menyatakan bahwa kerangka hukum dan mekanisme pengawasan yang menyertai pembentukan Danantara belum cukup kuat untuk mencegah konflik kepentingan dan korupsi. SWF yang efektif di negara lain---mis. Temasek---bertumbuh di bawah tata kelola yang ketat, akuntabel, dan terpapar audit publik; tanpa itu, korporatisasi negara justru menjadi selubung pengaburan tanggung jawab publik.Â
c) Politikasi investasi & konflik kepentingan
Jika keputusan investasi dikendalikan oleh aktor politik atau jaringan oligarkis tanpa kontrol independen, SWF menjadi saluran politisasi ekonomi. Ini berlawanan dengan semangat Tap MPRS yang menuntut kebijakan ekonomi berpihak pada kepentingan nasional, bukan kelompok tertentu. Kritik akademik bahkan menyebut Danantara berisiko mereproduksi "political capitalism" versi Indonesia.Â
d) Dasar hukum dan tumpang-tindih peraturan
Tap MPRS bukan UU; pelaksanaan modern memerlukan dasar hukum kontemporer (UU/Perpres) yang jelas, memuat batasan aset strategis, mekanisme pelaporan ke DPR/MPR/BPK, dan aturan anti-konflik kepentingan. Sejumlah analisis yuridis menunjukkan kebutuhan revisi peraturan BUMN dan penegasan fungsi pengawasan apabila Danantara diberi ruang manuver besar. Tanpa kepastian hukum ini, harmonisasi dengan semangat 1966 hanya sebatas klaim.Â
5. Fakta Terkini
Danantara telah diumumkan menargetkan deploy awal modal besar (mis. deployment US$10 miliar dalam bulan-bulan awal 2025--2026) dan proyek strategis seperti hub pengolahan nikel serta waste-to-energy di beberapa kota besar. Ini menunjukkan bagaimana SWF cepat bergerak pada lini strategis yang bersentuhan langsung dengan kepentingan publik dan lingkungan.Â
Media dan lembaga analisis melaporkan klaim portofolio besar (ratusan miliar dolar) sekaligus perdebatan publik soal bagaimana aset-aset BUMN "dipindahkan" ke struktur baru ini, dan bagaimana DPR serta audit publik akan menjalankan fungsi kontrol. Bahkan ada pemanggilan isu konstitusionalitas. Semua ini mempertegas urgensi kajian normatif terhadap Tap MPRS.Â
6. Kesimpulan tegas
Danantara sebagai instrumen tidak otomatis bertentangan dengan Tap MPRS XXIII/1966 bila: (1) mandatnya jelas diarahkan pada kepentingan publik, (2) ada proteksi hukum untuk aset strategis, (3) transparansi dan audit publik terjamin, dan (4) mekanisme pengawasan legislatif dan independen berfungsi efektif. Namun pada keadaan saat ini --- berdasarkan fakta pembentukan, klaim skala besar, dan kritik tata kelola yang sudah muncul --- ada ketegangan nyata antara praktik korporatisasi aset negara dan semangat Tap MPRS yang menuntut pengelolaan ekonomi untuk kesejahteraan umum. Jika dibiarkan tanpa perbaikan struktural dan hukum, Danantara berisiko menjadi kendaraan korporatisasi publik yang mengikis kedaulatan ekonomi dan kewenangan pengawasan rakyat.Â
7. Rekomendasi kebijakan (prioritas---bukan sekadar wacana)
1. Perjelas dasar hukum melalui UU (bukan hanya Perpres): atur mandat, ruang lingkup aset yang boleh/ tidak boleh dipindahkan, mekanisme pengembalian aset strategis ke kontrol negara.Â
2. Kewajiban transparansi dan audit publik: laporan triwulan ke DPR, audit BPK terbuka, dan publikasi portofolio minimum setiap tahun.Â
3. Dewan pengawas independen dan aturan anti-konflik kepentingan: perwakilan publik, akademisi ekonomi, serta auditor independen wajib hadir.Â
4. Batasi transfer aset strategis: sumber daya alam, infrastruktur dasar, layanan publik kritis tidak boleh dipindahkan tanpa persetujuan legislatif.Â
Penutup: jangan biarkan estetika korporat dan jargon efisiensi menutupi soal mendasar: siapa yang berdaulat atas kekayaan negara dan untuk siapa negara bekerja. Tap MPRS No. XXIII/1966 bukan sekadar artefak masa lalu --- ia adalah tolok ukur normatif tentang tujuan ekonomi negara. Danantara dapat menjadi alat pembangunan, atau ia bisa menjadi instrumen yang menata kepentingan publik. Pilihan ada di ranah politik hukum --- dan harus dituntaskan sekarang, sebelum klaim-klaim efisiensi mengkonsumer segala hal.
---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI