Inti Argumen
Koperasi Desa Merah Putih (selanjutnya: Kopdes Merah Putih) dipromosikan sebagai solusi besar bagi kemiskinan dan melemahnya ekonomi desa: target puluhan ribu koperasi, dukungan sumber pembiayaan nasional, dan perencanaan peluncuran berskala besar. Namun kenyataan administratif dan politis menunjukkan program ini jauh lebih menyerupai proyek massal berinstruksi pusat---dengan risiko tumpang-tindih, ketergantungan fiskal, dan penurunan otonomi anggota---daripada manifestasi demokrasi ekonomi yang diamanatkan Ketetapan MPRS No. XXIII/1966. Dalam kata lain: terdapat diskrepansi signifikan antara klaim "ekonomi rakyat" dan praktik yang cenderung menjadi "ekonomi proyek".Â
---
Fakta Terkini
Pemerintah pusat meluncurkan program pembentukan ribuan Kopdes Merah Putih dan menyusun instrumen kebijakan percepatan (mis. Instruksi Presiden terkait percepatan pembentukan). Launching nasional mendapat liputan luas dan peluncuran di banyak titik.Â
Kritik utama: pendekatan top-down; potensi tumpang-tindih dengan BUMDes dan koperasi eksisting; sumber pembiayaan yang besar (Dana Desa/APBN/APBD dan pinjaman) memunculkan risiko fiskal dan alokasi yang salah; dan kekhawatiran soal transparansi/akuntabilitas. Organisasi riset, media investigasi, dan sejumlah pengamat menyoroti hal tersebut.Â
Pemerintah (juru bicara/menteri terkait) membantah bahwa Kopdes akan menghilangkan otonomi desa; mereka menegaskan pelaksanaan tetap berlandaskan prinsip koperasi. Namun klaim ini belum sepenuhnya dibuktikan oleh mekanisme pengendalian dan audit publik yang jelas.Â
---
Landasan normatif: apa yang ditekankan Tap MPRS No. XXIII/1966?
Ketetapan ini menegaskan Tuntutan untuk kembali ke pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, menekankan demokrasi ekonomi, prioritas stabilisasi & rehabilitasi ekonomi, pembangunan daerah dan masyarakat desa, serta prinsip bahwa pembangunan harus berdasarkan potensi rakyat dan memprioritaskan kebutuhan pokok rakyat (pangan, sandang, infrastruktur). Dokumen juga menolak ekstrem kiri/skew etatisme dan free-fight liberalism yang memunculkan eksploitasi---keseimbangan tepat antara peran negara dan inisiatif rakyat adalah sentral.Â
---
Analisa Dalam Sudut Pandang Ketetapan MPRS No. XXIII Tahun 1966
Pasal 1 & 2 --- Kembali pada pelaksanaan UUD 1945 & pengawasan efektif oleh wakil rakyat
Inti pasal: Pemerintahan ekonomi harus diawasi efektif oleh DPR/Dewan perwakilan melalui anggaran dan badan pemeriksa eksternal.
Cek realitas Kopdes: Peluncuran Kopdes sebagai program eksekutif masif menuntut pengeluaran dan alokasi dana (Dana Desa/APBN). Namun sejauh ini mekanisme pengawasan yang independen, audit berkala yang transparan, dan pelaporan publik terstandar belum robust: kritik publik menuntut audit independen dan rincian alokasi modal. Jika akses pengawasan publik lemah, maka pelaksanaan program akan bertentangan dengan Pasal 2.Â
Pasal 3 --- Prioritas perbaikan ekonomi rakyat, berdasar prinsip rasional dan realistis
Inti pasal: Perbaikan ekonomi rakyat harus prioritas utama dan berbasis prinsip ekonomi rasional.
Cek realitas Kopdes: Klaim prioritas ada, namun peluncuran massal tanpa pilot yang kuat dan tanpa kajian ekonomi-keuangan skala nasional berisiko tidak rasional --- alokasi besar ke satu program bisa mengorbankan program stabilisasi yang disebut Pasal 13--17. Kritik media menekankan bahwa modal dan sumber daya bisa terserap untuk program yang belum disesuaikan kebutuhan lokal. Jika program menyebabkan pengalihan prioritas dari kebutuhan pangan atau stabilisasi ekonomi lokal, maka tidak selaras dengan Pasal 3.Â
Pasal 6--7 --- Demokrasi ekonomi: prinsip kekeluargaan, peran negara terbatas, dan larangan etatisme / monopoli
Inti pasal: Demokrasi ekonomi mensyaratkan usaha bersama atas azas kekeluargaan; negara tidak boleh mendominasi sampai mematikan inisiatif non-negara; tidak ada ruang bagi etatisme yang mematikan inisiatif rakyat.
Cek realitas Kopdes: Bila Kopdes diadministrasikan secara top-down---dengan intervensi kuat dari aparat pusat/daerah, atau jika keanggotaan dan pengurus dikontrol secara administratif---maka itu mendekati etatisme yang dilarang Pasal 7(b). Laporan bahwa pemerintah "mengarahkan" pembentukan dan target numerik menimbulkan kekhawatiran bahwa inisiatif yang harus bersifat bottom-up menjadi instruksi birokratis. Hal ini kontradiktif terhadap semangat demokrasi ekonomi Pasal 6--7.Â
Pasal 10 --- Gunakan kemampuan rakyat sendiri; berhati-hati terhadap ketergantungan luar
Inti pasal: Pembangunan harus berdasar kemampuan rakyat sendiri; bantuan luar boleh dipakai asalkan tidak menimbulkan ketergantungan.
Cek realitas Kopdes: Penggunaan dana internal (Dana Desa) untuk modal awal adalah sahih jika digunakan secara produktif --- namun bila Dana Desa dialihkan tanpa studi risiko atau digabungkan dengan pinjaman yang menciptakan beban balik, ini bisa mengurangi kemampuan nyata rakyat dan menimbulkan ketergantungan fiskal. Kritik soal "modalnya dari mana" menegaskan perlunya transparansi. Pasal 10 memberi ruang untuk pemanfaatan modal luar, tetapi tetap dengan syarat menjaga kedaulatan ekonomi rakyat --- ketentuan yang masih perlu diuji oleh rancangan pendanaan Kopdes.Â
Pasal 13--18 (Program jangka pendek: stabilisasi & rehabilitasi)
Inti pasal: Sebelum ekspansi pembangunan baru, pemerintah harus mengutamakan stabilisasi dan rehabilitasi (pengendalian inflasi, pemulihan produksi pangan, prasarana). Semua program tidak boleh mengganggu stabilisasi.
Cek realitas Kopdes: Peluncuran masif Kopdes pada periode ketika beberapa indikator (mis. kebutuhan pangan, inflasi daerah, infrastruktur) masih memerlukan perhatian berarti --- menimbulkan pertanyaan apakah investasi besar ke koperasi desa sudah sesuai urutan prioritas. Pasal 28 bahkan menyatakan bahwa selama stabilisasi/rehabilitasi belum selesai, tidak dibenarkan proyek baru yang dapat mengganggu program stabilisasi. Jika pemerintah menempatkan Kopdes sebelum menyelesaikan prioritas stabilisasi, ini berpotensi bertentangan dengan semangat Pasal 13--18/28.Â
Pasal 29--35 (Pembangunan daerah dan masyarakat desa; koordinasi pusat-daerah)
Inti pasal: Pembangunan nasional teridentik dengan pembangunan daerah; prioritas diberikan kepada pembangunan prasarana dan pembangunan masyarakat desa; pembangunan daerah harus dikoordinasikan oleh pemerintah pusat untuk menjaga keserasian.
Cek realitas Kopdes: Di sini ada dua sisi: pada tataran tujuan, Kopdes memang menekankan pembangunan ekonomi desa---ini sejalan. Namun masalah muncul pada bentuk koordinasi: bila koordinasi pusat menggunakan pendekatan seragam tanpa diferensiasi kesiapan daerah, maka ia melanggar semangat Pasal 32--33 (yang menekankan otonomi luas, dekonsentrasi manajemen, dan perimbangan keuangan pusat-daerah). Pelaksanaan yang mengabaikan kebutuhan lokal dan melemahkan perimbangan keuangan justru bertentangan dengan pasal-pasal tersebut. Kritik tentang tumpang tindih dengan BUMDes juga relevan: tanpa peta kelembagaan yang jelas dan koordinasi, akan terjadi inefisiensi dan pemborosan yang dilarang oleh prinsip koordinasi nasional.Â
---
Penilaian umum: mana yang selaras & mana yang menyimpang?
Selaras dengan Tap MPRS 1966:
Tujuan normatif Kopdes (memperkuat ekonomi lokal, memberdayakan masyarakat desa) selaras dengan Pasal 29--35 yang menekankan pembangunan masyarakat desa dan prioritas pembangunan daerah. Jika dijalankan benar-benar sebagai koperasi milik dan dikendalikan anggota, Kopdes dapat memperkuat potensi ekonomi rakyat sebagaimana Pasal 8--9 menuntut pengembangan potensi rakyat.Â
Penyimpangan serius dari Tap MPRS 1966 (risiko nyata):
1. Pendekatan Top-Down Menyimpang dari demokrasi ekonomi (Pasal 6--7, Pasal 32). Laku birokratis yang memaksa target kuantitatif dan menata pengurus pusat-sentral mengikis otonomi anggota.Â
2. Alokasi dana besar tanpa audit/mitigasi Risiko mengganggu stabilisasi (Pasal 13--18, Pasal 28, Pasal 2). Penggunaan Dana Desa/APBN tanpa kajian penganggaran dan audit independen melanggar kaidah pengawasan efektif.Â
3. Potensi tumpang tindih kelembagaan (BUMDes vs Kopdes) Inkonsistensi koordinasi pusat-daerah (Pasal 32--33). Duplikasi fungsi berarti pemborosan sumber daya yang kontradiktif dengan semangat pembangunan efektif dan terkoordinasi.Â
---
Rekomendasi kebijakan konkret (agar Kopdes selaras dengan Tap MPRS XXIII/1966)
1. Bersihkan unsur top-down: pastikan mekanisme pendirian berbasis anggota, referendum/musyawarah desa, dan pemilihan pengurus independen --- jangan ada kuota atau penunjukan pengurus oleh perangkat pemerintahan. (Menyelamatkan Pasal 6--7).
2. Audit publik terjadwal & audit awal atas rencana penggunaan Dana Desa --- audit eksternal yang transparan sebelum realokasi anggaran. (Melaksanakan Pasal 2 dan Pasal 13--18).Â
3. Pilot terukur (tahap regional) sebelum skala nasional --- uji efektivitas finansial, dampak sosial, dan integrasi BUMDes pada 100--500 desa per provinsi. (Mematuhi prinsip stabilisasi dan kehati-hatian Pasal 13--17).Â
4. Pemetaan kelembagaan nasional (BUMDes, koperasi eksisting) dan instrumen integrasi/konversi --- jika perlu, alihkan BUMDes yang efektif untuk menjadi Kopdes berbasis anggota; jangan menduplikasi. (Pasal 32--33).Â
5. Mekanisme pencegahan penangkapan elite: aturan konflik kepentingan, transparansi kepemilikan, batas remunerasi pengurus, pengawasan LSM-independen. (Menjaga spirit Pasal 6 tentang demokrasi ekonomi).Â
---
Kesimpulan tegas (jawaban atas judul)
Kopdes Merah Putih berpotensi menjadi instrumen berdaya bagi ekonomi rakyat jika seluruh mekanisme otonomi anggota, transparansi pendanaan, koordinasi kelembagaan, dan prioritas stabilisasi ekonomi dijunjung tinggi. Namun kenyataan kebijakan peluncuran massal, sumber pendanaan yang belum jelas mekanismenya, dan struktur pelaksanaan yang cenderung top-down membuka celah besar agar program berubah menjadi ekonomi proyek --- sebuah instrumen administratif untuk mencapai target kuantitatif yang mudah dipolitisasi, bukan alat pemberdayaan demokratis yang diamanatkan Ketetapan MPRS No. XXIII/1966. Untuk menghindari paradoks retoris---"Koperasi untuk rakyat" yang pada praktiknya melemahkan rakyat sendiri---pemerintah harus segera menerapkan rekomendasi di atas. Tanpa itu, klaim "ekonomi rakyat" akan tinggal sebagai retorika besar tanpa fondasi hukum, tata kelola, dan ekonomi yang kuat.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI