Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Marhaen Menanggung, Kapitalis Tersenyum: Catatan Kritis Atas Tarif Trump 19%

30 Agustus 2025   07:46 Diperbarui: 30 Agustus 2025   07:46 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tarif 19% yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap barang-barang Indonesia ---sebuah angka yang muncul dalam pernyataannya di media sosial dan dilaporkan beberapa media internasional---bukan sekadar angka teknis perdagangan. Bagi rakyat marhaen, bagi pengrajin, petani kecil, buruh pabrik, dan pedagang kaki lima yang menyambung hidup dari margin tipis, kebijakan seperti ini menerjemahkan diri menjadi harga yang lebih tinggi, rantai pasokan yang rapuh, dan kesempatan yang semakin sempit untuk bersaing. Dalam bahasa kultural dan ideologis marhaenisme: sementara kaum kapitalis dan kelas pemilik modal global mengatur senyum kemenangan, beban nyata akhirnya mendarat di pundak rakyat jelata. 

Tariff shock: mekanisme dan dampak riil

Tarif bersifat pajak atas impor ---diletakkan pada barang yang melewati perbatasan negara--- yang langsung menaikkan biaya produk impor dan barang antara (intermediate goods). Jika perusahaan di Indonesia bergantung pada komponen impor untuk merakit barang jadi, kenaikan tarif yang diterapkan oleh negara tujuan (dalam hal ini AS) dapat menurunkan permintaan ekspor, memaksa eksportir menanggung margin tipis atau memotong produksinya. Akibatnya: PHK, penurunan produksi, dan tekanan pada nilai tukar yang memperburuk inflasi domestik. Lembaga riset dan media internasional menunjukkan bahwa paket tarif berskala besar yang diluncurkan pemerintahan Trump 2025 memengaruhi ratusan produk dan rantai pasok global. 

Data domestik terakhir menunjukkan ekonomi Indonesia rentan terhadap kejutan eksternal. Neraca perdagangan masih positif, namun pertumbuhan ekspor manufaktur melambat; inflasi relatif rendah akhir-akhir ini, namun perlambatan global dan retaknya permintaan luar negeri berpotensi menekan lapangan kerja di sektor padat karya. Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik mencatat dinamika ini dalam laporan terbaru mereka, termasuk keputusan penurunan suku bunga yang berupaya merangsang ekonomi domestik di tengah ketidakpastian global. 

Siapa yang menang, siapa yang rugi?

Secara struktural, kebijakan proteksionis seperti tarif tinggi dimaksudkan untuk melindungi industri dalam negeri di negara yang menerapkan tarif. Namun efeknya tidak hanya dua pihak sederhana "produsen vs konsumen". Kapital global dan pemilik modal multinasional---yang punya akses untuk meredesain rantai pasok, memindahkan produksi, atau menyerap subsidi politik---lebih mampu menyerap atau mengalihkannya menjadi keuntungan. Sementara itu, pelaku usaha kecil menengah (UMKM) di negara mitra dagang ---seperti banyak usaha marhaen di Indonesia---menderita karena pasar ekspor menyusut dan tekanan kompetitif meningkat. Hasilnya: redistribusi beban ke bawah. (Analogi marhaen: kapitalis tersenyum karena mereka punya payung; rakyat kecil basah kuyup menghadapi badai.)

Kritik pada Pemerintahan Prabowo--Gibran: arah kebijakan dan respons yang kurang sensitif

Dalam konteks domestik, pemerintah Prabowo--Gibran menghadapi tugas ganda: menjaga stabilitas makroekonomi sekaligus melindungi kesejahteraan rakyat kecil. Namun beberapa kebijakan dan sinyal kebijakan menunjukkan kecenderungan yang bermasalah. Pertama, prioritas kebijakan yang terlalu mengedepankan investasi besar dan mega proyek tanpa paket perlindungan yang jelas bagi sektor padat karya memperbesar risiko distribusi manfaat yang timpang. Kedua, ketika kebijakan eksternal seperti tarif asing melukai ekspor manufaktur padat karya, respon fiskal dan industri domestik kerap terlambat dan kurang menyasar kelompok marhaen yang paling rentan. Pengurangan suku bunga oleh BI memberi ruang, tetapi stimulus yang tepat ---seperti subsidi input untuk UMKM eksportir, pelatihan retraining bagi pekerja terdampak, atau perjanjian dagang alternatif yang melindungi produk padat karya---masih minim atau belum terimplementasi secara tersistem. 

Lebih luas lagi, pemerintahan yang menekankan citra "investor-friendly" tanpa penguatan kapasitas produksi lokal dan industri penunjang justru memancing ketergantungan pada modal asing. Dalam situasi di mana negara mitra dagang memberlakukan tarif tinggi, ketergantungan ini menjadi boomerang: lapangan kerja lokal runtuh, sementara pemilik modal multinasional menempatkan kembali modalnya di lokasi lebih menguntungkan. Kritik marhaenis menuntut soal ideologis: pembangunan yang menempatkan rakyat sebagai subjek, bukan objek atau komoditas politik pembangunan.

Perspektif historis: suara Bung Karno dan tokoh kiri Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun