Dua puluh tahun setelah Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki diteken pada Agustus 2005, narasi resmi tentang "damai" gemerlap: konflik bersenjata berhenti, Anggota GAM turunkan senjata, Aceh mendapat status otonomi khusus. Namun bagi rakyat marhaen Aceh --- petani pesisir, nelayan, buruh sawit, perempuan yang menggantungkan hidup pada pasar lokal --- pertanyaan fundamental tetap: apakah perdamaian itu menjadikan mereka merdeka secara sosial-ekonomi, politik, dan budaya di tanah sendiri?
Perjanjian Helsinki memang menghentikan kekerasan berskala besar yang berlangsung puluhan tahun dan menelan ratusan ribu korban. MoU itu lahir di ujung tragedi: tsunami 2004 menjadi pemicu diplomasi yang membawa kedua pihak ke meja perundingan. Namun klaim pencapaian politik tidak serta-merta menjamin redistribusi total kekuasaan ekonomi atau pelepasan ketergantungan struktural yang menjerat rakyat Aceh selama dekade-dekade sebelumnya.Â
Data menunjukkan celah yang besar antara stabilitas keamanan dan kesejahteraan rakyat. Persentase kemiskinan Aceh masih berada di atas rata-rata nasional beberapa tahun terakhir; berbagai publikasi menempatkan angka kemiskinan Aceh jauh dari kata usai. Ketimpangan antar kabupaten/kota, ketergantungan pada sumber daya primer, dan pengangguran struktural menyisakan marhaenisme sehari-hari: ketidakmampuan menuntaskan kebutuhan dasar meski konflik telah padam.Â
Salah satu pencapaian hukum pasca-Helsinki adalah lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU No. 11/2006) yang memberi ruang legal bagi otonomi lebih luas --- termasuk hak menyelenggarakan partai politik lokal dan penerapan syariat islam tertentu di ranah hukum daerah. Secara teori, ini adalah pengakuan terhadap keunikan Aceh; secara praksis, legislasi kompleks itu seringkali berwajah birokratis dan rentan ditafsirkan oleh aktor pusat maupun lokal yang tidak selalu pro-rakyat. Implementasi hukum yang baik menuntut kapasitas pemerintahan lokal, transparansi pengelolaan sumber daya, dan mekanisme akuntabilitas --- arena yang masih banyak dikuasai elite.Â
Uang bantuan dan proyek rekonstruksi pasca-tsunami menghujani Aceh: hampir 7 miliar dolar AS mengalir untuk pemulihan. Ini mengubah muka fisik wilayah: infrastruktur, rumah, fasilitas publik dibangun kembali. Namun aliran dana besar bukan jaminan distribusi manfaat. Kritik yang sering muncul adalah: siapa yang benar-benar menikmati hasil rekonstruksi? Apakah modal donor menguatkan ekonomi lokal atau justru memperkuat jaringan korporasi dan kontraktor yang dekat dengan elite? Transisi dari bantuan darurat ke pembangunan jangka panjang membutuhkan pola investasi yang memberdayakan produksi lokal, bukan hanya menata ulang papan nama dan jalan.Â
Secara ekonomi, angka-angka terbaru memperlihatkan gambaran ambivalen. Setelah fluktuasi beberapa tahun, persentase kemiskinan Aceh dilaporkan turun menjadi 12,64% pada September 2024 --- sebuah perbaikan relatif, tetapi level ini masih menunjukkan rentang kerentanan yang nyata di sektor pedesaan dan pesisir yang menjadi basis marhaen Aceh.
Selain masalah ekonomi, ada isu politik dan HAM yang belum tuntas. Lembaga-lembaga hak asasi dan organisasi masyarakat sipil terus menyorot jejak pelanggaran masa lalu, masalah impunitas, dan fenomena militerisasi baru di beberapa titik. Kelompok-kelompok progresif menegaskan bahwa "damai" tanpa pengakuan hukum substansial terhadap korban dan tanpa reformasi struktural akan menjadi damai yang rapuh --- damai yang menenangkan permukaan tetapi meninggalkan luka mendalam pada tatanan sosial. Laporan-laporan kritis belakangan memperingatkan tren ini dan menyerukan pengawasan yang terus-menerus terhadap komitmen pusat dan daerah.Â
Dari sudut pandang marhaenis Aceh, kebebasan tidak cukup diukur oleh tidak adanya senjata di jalan. Kemerdekaan harus teruji pada kebebasan hidup bermartabat: akses tanah dan sumber penghidupan yang adil, pendidikan yang memerdekakan, layanan kesehatan yang dapat dijangkau, serta partisipasi politik yang nyata --- bukan sekadar simbol. Di sini suara intelektual progresif dan sastrawan seperti Pramoedya Ananta Toer mengingatkan: perjuangan kemerdekaan adalah perjalanan panjang yang menuntut keteguhan moral dan kolektif, bukan hanya momentum politik. Ungkapan-ungkapan beliau menegaskan pentingnya kesungguhan sosial dalam memperjuangkan kebebasan. Dan Munir Said Thalib memberi pelajaran etis: perjuangan hak asasi menuntut keberanian kolektif untuk menuntut akuntabilitas, meski harga yang dibayar besar.
Sukarno memberi kita retorika dan roh: "Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia." Kata-kata Bung Karno itu bukan instruksi kekerasan; ia adalah seruan pembangkitan kolektif---pemuda dan warga biasa sebagai agen perubahan. Untuk marhaen Aceh, seruan ini relevan: generasi lokal harus diberdayakan untuk merumuskan prioritas pembangunan sendiri, mengekang oligarki lokal, dan menuntut pertanggungjawaban --- bukan menjadi penonton atas proyek pembangunan yang diputuskan oleh orang lain.Â
Rekomendasi kebijakan yang layak dipertimbangkan untuk menyempurnakan janji Helsinki adalah konkret dan terukur: pertama, audit partisipatif atas dampak program rekonstruksi dan program otonomi --- guna mengidentifikasi siapa yang mendapat manfaat dan siapa yang tertinggal; kedua, penguatan kapasitas lembaga lokal dan mekanisme anti-korupsi berbasis komunitas; ketiga, investasi pro-pekerja dan pro-petani yang mendorong nilai tambah lokal (pengolahan hasil laut dan pertanian, akses pasar, kredit mikro yang transparan); keempat, penyelesaian kasus HAM dan reparasi simbolik maupun material bagi korban sebagai prasyarat rekonsiliasi sejati. Semua ini harus ditempuh dengan melibatkan organisasi rakyat, perempuan, dan kaum muda sebagai subjek kebijakan --- bukan objek.Â