Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PBB-P2 Naik, Pancasila Turun: Dimana Keadilan Sosial?

20 Agustus 2025   07:35 Diperbarui: 20 Agustus 2025   07:44 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengapa PBB-P2 terasa tidak adil?

Secara teori, pajak properti sering dibela karena "netral" terhadap aktivitas ekonomi dan stabil sebagai sumber PAD. Namun dalam praktik Indonesia, PBBP2 berisiko regresif bila:

  1. NJOP mengejar harga pasar di kawasan yang terdorong gentrifikasi, sementara penghuni lama tidak menikmati kapitalisasi nilai itu (mereka tidak menjual rumahnya, tetapi harus membayar tagihan lebih tinggi);
  2. Basis data objek-subjek belum mutakhir---rumah sederhana yang ditempati pensiunan dapat salah-klasifikasi sebagai obyek komersial;
  3. Instrumen keringanan (pembebasan rumah pertama, circuit breaker untuk lansia/pensiunan, atau deferral bagi keluarga rentan) tidak diaktifkan, atau prosedurnya pelik sehingga aksesnya timpang.

Karena itulah, daerah yang berani pro-rakyat---seperti Jakarta yang memperluas pembebasan rumah pertama hingga Rp 2 miliar---memberi teladan arah kebijakan: saring beban, lindungi warga rentan, dan kencangkan penegakan terhadap objek spekulatif serta lahan tidur bernilai tinggi. 

Jalan tengah: reformasi total pajak properti yang berpihak

Ada beberapa langkah langsung yang bisa ditempuh tanpa menabrak UU 1/2022:

(1) "Rumah Pertama Aman": tetapkan pembebasan/pengurangan besar untuk satu rumah utama hingga ambang tertentu (mis. Rp 1,5--2 miliar NJOP), sebagaimana praktik DKI. Ini menahan regresivitas pada keluarga pekerja. 

(2) Hardship relief otomatis: masukkan pensiunan, warakawuri, difabel, dan keluarga dengan Kartu Perlindungan Sosial sebagai penerima diskon default (tanpa birokrasi bertele-tele).

(3) Cap kenaikan tahunan: batasi kenaikan tagihan maksimal (mis. 10--20%/tahun) untuk rumah ditempati sendiri, walau NJOP melonjak. Ini lazim dipakai di banyak yurisdiksi agar warga tak "terusik dari rumahnya" karena pajak. (Kebijakan detailnya bisa dirumuskan lewat Perda/Perkada sesuai ruang yang diberikan UU).

(4) Sasar spekulasi dan lahan tidur: naikkan tarif objek kedua/ketiga, aset kosong bernilai besar, dan properti non-produktif---bukan rumah tunggal yang dihuni keluarga pekerja.

(5) Transparansi NJOP: buka metodologi penilaian, peta zonasi, dan data pembanding secara open data; sediakan mekanisme keberatan yang cepat dan nirkorupsi---ini bukan sekadar good governance, tetapi hak warga.

(6) PAD dari ekstensifikasi, bukan sekadar intensifikasi: kejar kebocoran (objek tak terdaftar, basis data asalan), integrasikan NIK-NPWP, dan optimalkan pajak hiburan/parkir/retribusi jasa yang incidencenya lebih tinggi pada konsumsi menengah atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun