Mengapa PBB-P2 terasa tidak adil?
Secara teori, pajak properti sering dibela karena "netral" terhadap aktivitas ekonomi dan stabil sebagai sumber PAD. Namun dalam praktik Indonesia, PBBP2 berisiko regresif bila:
- NJOP mengejar harga pasar di kawasan yang terdorong gentrifikasi, sementara penghuni lama tidak menikmati kapitalisasi nilai itu (mereka tidak menjual rumahnya, tetapi harus membayar tagihan lebih tinggi);
- Basis data objek-subjek belum mutakhir---rumah sederhana yang ditempati pensiunan dapat salah-klasifikasi sebagai obyek komersial;
- Instrumen keringanan (pembebasan rumah pertama, circuit breaker untuk lansia/pensiunan, atau deferral bagi keluarga rentan) tidak diaktifkan, atau prosedurnya pelik sehingga aksesnya timpang.
Karena itulah, daerah yang berani pro-rakyat---seperti Jakarta yang memperluas pembebasan rumah pertama hingga Rp 2 miliar---memberi teladan arah kebijakan: saring beban, lindungi warga rentan, dan kencangkan penegakan terhadap objek spekulatif serta lahan tidur bernilai tinggi.Â
Jalan tengah: reformasi total pajak properti yang berpihak
Ada beberapa langkah langsung yang bisa ditempuh tanpa menabrak UU 1/2022:
(1) "Rumah Pertama Aman": tetapkan pembebasan/pengurangan besar untuk satu rumah utama hingga ambang tertentu (mis. Rp 1,5--2 miliar NJOP), sebagaimana praktik DKI. Ini menahan regresivitas pada keluarga pekerja.Â
(2) Hardship relief otomatis: masukkan pensiunan, warakawuri, difabel, dan keluarga dengan Kartu Perlindungan Sosial sebagai penerima diskon default (tanpa birokrasi bertele-tele).
(3) Cap kenaikan tahunan: batasi kenaikan tagihan maksimal (mis. 10--20%/tahun) untuk rumah ditempati sendiri, walau NJOP melonjak. Ini lazim dipakai di banyak yurisdiksi agar warga tak "terusik dari rumahnya" karena pajak. (Kebijakan detailnya bisa dirumuskan lewat Perda/Perkada sesuai ruang yang diberikan UU).
(4) Sasar spekulasi dan lahan tidur: naikkan tarif objek kedua/ketiga, aset kosong bernilai besar, dan properti non-produktif---bukan rumah tunggal yang dihuni keluarga pekerja.
(5) Transparansi NJOP: buka metodologi penilaian, peta zonasi, dan data pembanding secara open data; sediakan mekanisme keberatan yang cepat dan nirkorupsi---ini bukan sekadar good governance, tetapi hak warga.
(6) PAD dari ekstensifikasi, bukan sekadar intensifikasi: kejar kebocoran (objek tak terdaftar, basis data asalan), integrasikan NIK-NPWP, dan optimalkan pajak hiburan/parkir/retribusi jasa yang incidencenya lebih tinggi pada konsumsi menengah atas.