Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 kerap dipuji sebagai salah satu tonggak dalam demokrasi lokal di Indonesia. Namun, jika dibandingkan dengan Pemilihan Umum (Pemilu) 1997, khususnya dari segi kualitas demokrasi, representasi politik, dan integritas proses pemilihan, perbedaan antara keduanya sangat mencolok. Meskipun Pemilu 1997 dilangsungkan pada masa Orde Baru yang terkenal dengan otoritariannya, beberapa aspek yang mendasari proses politik pada masa itu, ironisnya, tampak lebih tertata dibandingkan dengan Pilkada 2017.
1. Stabilitas Politik vs Polarisasi yang Mendalam
Salah satu keunggulan utama Pemilu 1997 adalah stabilitas politik yang dihasilkan oleh sistem yang dikontrol ketat oleh pemerintah pusat. Meskipun rezim Suharto melakukan berbagai manipulasi dalam pemilu, kondisi sosial-politik relatif lebih stabil, tidak terjadi ketegangan yang mengancam kohesi sosial masyarakat secara langsung. Di sisi lain, Pilkada 2017, terutama di Jakarta, menunjukkan fenomena polarisasi yang sangat kuat di masyarakat. Isu agama menjadi senjata politik, dan ini menyebabkan perpecahan tajam antara kelompok-kelompok masyarakat yang berpotensi memecah persatuan bangsa.
Menurut survei dari LSI (Lembaga Survei Indonesia), pasca-Pilkada 2017, polarisasi antara pemilih berdasarkan agama dan identitas etnis meningkat tajam. Isu agama dalam kampanye menjadi alat mobilisasi politik yang sangat efektif, namun berdampak buruk terhadap kohesi sosial. Konflik ini memunculkan ketidakstabilan sosial-politik yang jauh lebih buruk dibandingkan Pemilu 1997, yang meskipun otoriter, tidak memanfaatkan perbedaan identitas untuk memecah masyarakat.
2. Kualitas Kandidat: Profesionalisme Vs. Populisme
Pemilu 1997 walaupun berlangsung dalam atmosfer politik yang dikendalikan oleh Golkar dan dibayang-bayangi oleh pemerintah, tetap menghasilkan figur-figur politik dengan latar belakang yang lebih profesional dan berpengalaman. Kaderisasi di tubuh partai, meski terpusat pada Golkar, menghasilkan politisi yang memiliki kompetensi teknis dan pengalaman dalam mengelola pemerintahan, terutama pada tingkat nasional.
Sebaliknya, Pilkada 2017 memunculkan tren populisme yang lebih kental. Calon-calon kepala daerah, khususnya di Pilkada DKI Jakarta, lebih banyak mengandalkan narasi populis untuk meraih suara, dibandingkan menawarkan solusi yang nyata bagi permasalahan perkotaan. Salah satu contohnya adalah penggunaan isu-isu sektarian dan penguatan retorika populis oleh sejumlah kandidat untuk menarik perhatian pemilih yang tidak kritis.
3. Manipulasi yang Lebih Terbuka di Pilkada 2017
Jika kita menganggap Pemilu 1997 sebagai proses yang penuh manipulasi terselubung di bawah kendali negara, Pilkada 2017 justru membuka celah bagi manipulasi yang lebih subtil tetapi sistematis. Pemanfaatan media sosial, berita bohong (hoaks), dan penggunaan akun anonim untuk mendiskreditkan lawan politik adalah bukti bahwa manipulasi politik yang terjadi di Pilkada 2017 lebih canggih namun lebih berbahaya dalam jangka panjang.
Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan bahwa pada masa Pilkada 2017, terjadi lonjakan tajam penyebaran berita hoaks, terutama yang berkaitan dengan isu politik. Manipulasi opini publik melalui media sosial ini tidak hanya membahayakan integritas proses pemilihan, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.
4. Sentralisasi Vs. Desentralisasi yang Bermasalah
Pemilu 1997 berlangsung dalam kerangka pemerintahan yang sangat tersentralisasi, di mana semua keputusan besar diambil di Jakarta, dengan kontrol penuh dari pemerintah pusat. Walaupun ini mengurangi kebebasan politik lokal, sistem ini mencegah adanya konflik kepentingan yang berlebihan di daerah, yang seringkali terjadi pada Pilkada era desentralisasi.
Sebaliknya, Pilkada 2017 menunjukkan bahwa desentralisasi, meskipun memberikan otonomi lebih besar bagi daerah, juga membawa berbagai masalah baru. Misalnya, Pilkada DKI Jakarta memperlihatkan bagaimana elit-elit politik lokal dan nasional memanfaatkan konflik di daerah untuk mencapai kepentingan politik masing-masing. Desentralisasi politik yang tidak diimbangi dengan penguatan institusi-institusi penegak hukum mengakibatkan maraknya korupsi dan manipulasi kekuasaan di tingkat daerah.
5. Pengawasan Pemilu: Kualitas Berbeda
Meskipun Pemilu 1997 dikritik karena minimnya pengawasan dan kontrol, pada era itu, masih terdapat mekanisme formal yang relatif lebih stabil dalam penyelenggaraan pemilu. Panitia Pemilu didominasi oleh aparat pemerintah, tetapi struktur pengawasannya lebih terpusat dan tidak terjadi ketimpangan besar antar daerah. Pengawasan internal, meski terbatas, tetap efektif dalam menjaga proses secara formal.
Pilkada 2017, di sisi lain, memperlihatkan lemahnya pengawasan oleh institusi seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Banyaknya laporan pelanggaran dalam Pilkada 2017 menunjukkan betapa proses pemilihan kepala daerah jauh dari sempurna. Data dari Bawaslu mencatat bahwa selama masa Pilkada 2017, terdapat lebih dari 1.300 laporan pelanggaran yang meliputi politik uang, intimidasi, dan manipulasi suara. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan laporan-laporan pelanggaran pada Pemilu 1997 yang lebih tersentralisasi.
6. Dana Kampanye: Mengkhawatirkan di Pilkada 2017
Pemilu 1997 dikuasai oleh negara yang menyediakan dana operasional bagi peserta pemilu seperti Golkar, PPP, dan PDI. Meskipun terdapat kendala transparansi, dana kampanye relatif dikontrol. Di Pilkada 2017, masalah dana kampanye jauh lebih kompleks. Kandidat bergantung pada sumbangan dari pihak swasta yang sering kali tidak transparan. Akibatnya, politik uang menjadi hal yang lumrah, dan potensi korupsi meningkat ketika kandidat terpilih harus "membalas budi" kepada donatur mereka.
Menurut laporan ICW (Indonesia Corruption Watch), dana kampanye di Pilkada 2017 tidak diaudit secara transparan, dan terdapat indikasi bahwa banyak kandidat menerima dana dari sumber-sumber yang tidak jelas. Ini menciptakan ketergantungan pada oligarki yang membahayakan kemandirian calon terpilih dalam menjalankan tugas pemerintahan.
Kesimpulan
Meskipun Pemilu 1997 dijalankan di bawah rezim otoriter, ada beberapa aspek yang membuatnya lebih baik dibandingkan Pilkada 2017. Polarisasi sosial, lemahnya pengawasan, manipulasi melalui media sosial, serta ketergantungan pada dana kampanye swasta yang tidak transparan membuat Pilkada 2017 memiliki banyak kekurangan. Demokrasi Indonesia membutuhkan perbaikan mendasar dalam hal pengelolaan pemilu, pengawasan, dan penguatan institusi hukum agar dapat menghasilkan pemimpin yang lebih kredibel dan mampu menjaga persatuan bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI