Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) sudah lama menjadi wajah buram bangsa ini dan terus saja menjadi kisah ironi.
Ironisnya, praktik KKN yang awalnya lekat dengan pejabat dan elite kini makin terasa membudaya di masyarakat. Bukan hanya di gedung parlemen atau kantor pemerintahan, tapi juga di level RT/RW, bahkan dalam interaksi sosial sehari-hari.
Pernyataan ini sempat disuarakan dengan lantang oleh mantan Bupati Purwakarta yang kini telah menjadi Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.Â
Ia menyinggung bahwa budaya koruptif di Indonesia bukan hanya terjadi di lingkaran kekuasaan, tapi juga di masyarakat kecil.Â
Pernyataan ini menuai protes keras dari sebagian pihak, karena dianggap menstigma rakyat. Namun, jika ditelisik lebih jauh, ucapan itu tidak sepenuhnya keliru.
KKN Sudah Membudaya
Lihat saja fenomena di sekitar kita. Mulai dari pungutan liar untuk pengurusan surat di tingkat desa, "uang rokok" untuk mempercepat layanan publik, hingga mentalitas mencari jalan pintas melalui kedekatan dan koneksi.Â
Semua ini adalah bagian dari perilaku koruptif yang tanpa sadar dianggap wajar.
Jika budaya ini terus dibiarkan, maka pemberantasan KKN hanya akan jadi mimpi kosong. Sebab, bagaimana mungkin pejabat bisa bersih jika masyarakat di akar rumput sudah terbiasa dengan perilaku serupa?
Data Kasus Korupsi yang Menggunung
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sepanjang 2023 saja ada lebih dari 100 kasus korupsi yang ditangani, dengan kerugian negara mencapai triliunan rupiah.Â