Kasus Silfester jadi cermin betapa kacaunya penegakan hukum di negeri ini.
Dan terkuaknnya kasus Silfester ini semuanya karena perdebatan di Kompas TV, sehingga kini masyarakat memahami adanya ketidakberesan di sana.
Nama Silfester Matutina, seorang relawan Jokowi yang divonis bersalah karena menghina Jusuf Kalla, tetap melenggang bebas hingga kini.Â
Padahal Mahkamah Agung telah memperkuat putusan bersalah terhadapnya. Publik pun bertanya-tanya: bagaimana bisa seseorang yang sudah divonis tak juga dieksekusi?
Ini bukan sekadar kelalaian administratif. Ini soal keadilan yang diabaikan. Mahfud MD pun buka suara, menyebut bahwa ini adalah bentuk kelalaian sistem hukum.Â
Tapi di balik "lalai", tersirat sinyal bahwa sistem ini bukan hanya rapuh, tapi sudah terbiasa tunduk pada relasi kuasa.
Kita tidak sedang bicara satu orang. Kita bicara soal penyakit sistemik bernama KKN: Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Dalam konteks ini, yang paling nyata adalah kolusi---hubungan gelap antara kekuasaan dan pelanggaran hukum, dibungkus kepentingan politik dan loyalitas kelompok.
Apa itu KKN?
Meskipun sudah banyak orang yang tahu kepanjangan dari KKN, untuk sekadar mengingatkan kembali, ini saya berikan definis jelas serta pemaknaannya.
Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Bisa berupa uang, jabatan, atau fasilitas yang mestinya tidak dia dapatkan.
Kolusi adalah kerja sama rahasia antara pihak-pihak berkepentingan, demi keuntungan pribadi, merugikan pihak lain atau publik.
Nepotisme adalah pemberian jabatan atau fasilitas kepada kerabat/teman, bukan karena kapabilitas, tapi karena kedekatan personal.
Dan dalam kasus Silfester, aroma kolusi begitu terasa.
Relasi kuasa antara pelaku dan elite politik membuat hukum seolah lumpuh. Seorang rakyat biasa takkan pernah punya kemewahan seperti ini---dinyatakan bersalah tapi tetap bebas.
Ini bukan rahasia umum lagi. Di warung kopi, kantor desa, hingga ruang keluarga, banyak orang sudah lama tahu: hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Tapi ketika pembiaran ini menjadi rutinitas, maka rasa keadilan masyarakat pun perlahan mati.
Dan itu jauh lebih berbahaya dari sekadar satu kasus.
Opini dan Keresahan Saya
Saya tidak kenal pribadi Silfester, tidak pula terlibat dalam partai atau kekuasaan. Tapi saya warga negara.
Saya kecewa dan marah. Karena ketika hukum gagal, yang rusak bukan hanya sistem, tapi harapan rakyat untuk hidup di negeri yang adil.
Berapa banyak orang biasa yang dipenjara karena kesalahan kecil? Sementara mereka yang dekat dengan kekuasaan bisa lolos begitu saja?
Apakah ini bentuk Indonesia yang ingin diwariskan ke generasi berikutnya?
Jika benar kita ingin melawan KKN, maka keteladanan harus datang dari atas. Kasus ini harus jadi cambuk, bukan ditutupi.
Kasus Silfester bukan sekadar soal hukum, tapi alarm keras bahwa budaya KKN masih mengakar. Jika ini dibiarkan, keadilan hanyalah ilusi dan rakyatlah yang akan selalu kalah.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI