Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Author, BNSP Certified Screenwriter, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hanya Jejak yang Tertinggal

13 Februari 2025   13:55 Diperbarui: 13 Februari 2025   13:55 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hanya Jejak yang Tertinggal, Foto: Tatiana Syrikova: https:pexels.com

Hari ini anakku pertama kali belajar naik sepeda. Ia jatuh berkali-kali, dan aku harus menahan diri untuk tidak langsung menolongnya. Aku ingin ia belajar bangkit sendiri. Tapi saat ia menangis, aku merasa seperti ayah terburuk di dunia.

Raka menahan napas. Dia terus membaca halaman demi halaman. Catatan ayahnya bukan hanya berisi tentang kehidupannya, tapi juga tentang dirinya. Tentang bagaimana pria itu ingin sekali memeluknya saat dia menangis karena patah hati pertama, tapi ia takut anaknya malah membencinya karena dianggap lemah. Tentang betapa ia bangga saat Raka lulus universitas, tapi ia tidak ingin menangis di depan anaknya karena ia tahu Raka tak suka melihatnya emosional.

Di halaman terakhir, ada catatan yang ditulis beberapa minggu sebelum ia meninggal:

Anakku, aku tahu aku bukan ayah yang baik. Aku mungkin telah gagal membuatmu merasa dicintai, tapi percayalah, aku mencintaimu lebih dari apapun di dunia ini. Jika aku bisa mengulang waktu, aku akan mencoba lebih baik. Aku harap suatu hari nanti kau akan mengerti bahwa semua yang kulakukan adalah demi kebaikanmu. Maafkan aku.

Tangan Raka gemetar. Dia menutup buku itu dan menekan wajahnya ke telapak tangan. Dia ingin menangis sepuasnya, tapi apa gunanya sekarang? Semuanya sudah terlambat.

Malam itu, Raka duduk sendirian di ruang tamu. Ibu menghampirinya dengan secangkir teh.

"Ayahmu sering duduk di sini, menunggumu pulang," kata ibunya pelan. "Setiap malam, dia selalu menyiapkan satu cangkir teh untukmu. Dia tidak pernah menyalahkanmu, Nak. Dia hanya berharap suatu hari kamu mengerti."

Air mata yang Raka tahan akhirnya jatuh. Ia menggenggam cangkir itu erat, merasakan hangatnya yang menembus telapak tangannya. Ayahnya mungkin tidak pernah berkata 'Aku mencintaimu' secara langsung, tetapi semua yang dilakukan pria itu adalah bentuk cinta yang tak pernah ia pahami sebelumnya.

Dia berjanji pada dirinya sendiri, dia tak akan membiarkan warisan ini berakhir dengan kesedihan. Dia akan menjalani hidup dengan lebih memahami bahwa cinta datang dalam banyak bentuk, bahkan dalam bentuk yang mungkin sulit diterima. Dia akan menjadi ayah yang lebih baik jika kelak dia memiliki anak. Dia akan mencintai mereka dengan lebih hangat, tapi juga akan berusaha memahami bahwa kadang, cinta juga hadir dalam bentuk ketegasan.

Raka mengusap nisan itu dengan lembut. "Terima kasih, Ayah. Aku akhirnya mengerti. Maaf aku terlambat."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun