Mohon tunggu...
dimas aji
dimas aji Mohon Tunggu... Gubernur Mahasiswa FH Universitas Islam Jember

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Patriarki dan Materialisme: Menelusuri Akar Sosial di Balik Label 'Cewe Matre' dan 'Cowo Mokondo'

13 Oktober 2025   02:35 Diperbarui: 13 Oktober 2025   02:35 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam masyarakat yang masih digenggam erat oleh budaya patriarki, relasi antara laki-laki dan perempuan sering kali dibentuk oleh konstruksi sosial yang timpang. Patriarki tidak hanya menetapkan peran gender yang kaku, tetapi juga menciptakan ekspektasi yang membebani kedua belah pihak. Perempuan dituntut untuk tampil menarik dan "layak dipilih," sementara laki-laki harus menjadi penyedia utama dalam hubungan. Dalam kerangka ini, muncul stereotip seperti "cewe matre" dan "cowo mokondo" yang sesungguhnya merupakan cerminan dari sistem yang lebih besar dan kompleks.

Istilah "cewe matre" sering digunakan untuk merendahkan perempuan yang menginginkan pasangan dengan kestabilan finansial. Padahal, dalam masyarakat yang menempatkan laki-laki sebagai tulang punggung ekonomi, keinginan tersebut bukanlah bentuk keserakahan, melainkan respons terhadap struktur sosial yang ada. Simone de Beauvoir pernah mengatakan, "Perempuan tidak dilahirkan, melainkan dibentuk." Kutipan ini menegaskan bahwa perilaku perempuan, termasuk dalam memilih pasangan, adalah hasil dari konstruksi sosial yang telah lama berlangsung, bukan semata-mata pilihan individual yang bebas dari pengaruh eksternal.

Sebaliknya, laki-laki yang tidak mampu memenuhi ekspektasi sebagai penyedia sering kali dicap sebagai "cowo mokondo," seolah-olah nilai mereka sebagai manusia ditentukan oleh isi dompet. Dalam sistem patriarki yang maskulin, kegagalan ekonomi dianggap sebagai kegagalan eksistensial. Hal ini diperparah oleh budaya materialisme yang mengukur kesuksesan dari kepemilikan barang dan status sosial. Karl Marx pernah mengkritik bahwa dalam masyarakat kapitalis, manusia cenderung dinilai dari komoditas yang mereka miliki, bukan dari nilai kemanusiaannya. Maka, laki-laki yang tidak mampu "menyediakan" dianggap tidak layak, bukan hanya sebagai pasangan, tetapi sebagai pria.

Materialisme dan patriarki saling memperkuat satu sama lain. Ketika cinta menjadi transaksi, relasi berubah menjadi negosiasi antara daya tarik dan daya beli. Perempuan yang menuntut kestabilan finansial dianggap matre, sementara laki-laki yang menuntut kecantikan dianggap wajar. Di sinilah letak ketimpangan: standar ganda yang terus direproduksi oleh media, budaya populer, dan bahkan percakapan sehari-hari. Bell Hooks, seorang pemikir feminis, menulis bahwa "Cinta sejati hanya bisa tumbuh dalam ruang yang bebas dari dominasi." Jika relasi dibangun di atas dominasi ekonomi dan ekspektasi gender, maka cinta yang tumbuh pun cacat sejak awal.

Fenomena "cewe matre" dan "cowo mokondo" bukanlah masalah individu semata, melainkan gejala dari sistem yang lebih besar. Kita sering kali terjebak dalam narasi saling menyalahkan, tanpa menyadari bahwa akar persoalannya adalah struktur sosial yang timpang. Perempuan yang menuntut kestabilan ekonomi bukanlah musuh, dan laki-laki yang belum mapan bukanlah pecundang. Keduanya adalah korban dari sistem yang mengajarkan bahwa nilai manusia ditentukan oleh peran dan harta, bukan oleh karakter dan kemanusiaan.

Untuk keluar dari jerat ini, kita perlu membongkar ulang cara kita memandang relasi. Relasi yang sehat tidak dibangun di atas tuntutan, tetapi di atas kesetaraan dan saling mendukung. Paulo Freire dalam *Pedagogy of the Oppressed* menulis bahwa "Kebebasan bukanlah hadiah, tetapi hasil dari perjuangan bersama." Maka, membebaskan relasi dari belenggu patriarki dan materialisme adalah perjuangan yang harus dilakukan bersama, oleh laki-laki dan perempuan, dalam ruang yang saling menghormati.

Perubahan ini tidak akan terjadi secara instan. Ia membutuhkan kesadaran kolektif, pendidikan kritis, dan keberanian untuk menolak narasi yang sudah mapan. Kita perlu menciptakan ruang-ruang dialog yang jujur, di mana perempuan tidak takut dianggap matre dan laki-laki tidak malu mengakui ketidakmampuannya. Dalam ruang seperti itu, relasi bisa tumbuh sebagai pertemuan dua manusia yang setara, bukan sebagai transaksi antara kebutuhan dan kemampuan.

Pada akhirnya, istilah "cewe matre" dan "cowo mokondo" hanyalah cerminan dari luka sosial yang lebih dalam. Jika kita ingin menyembuhkan luka itu, kita harus berani mengurai benang kusut patriarki dan materialisme yang membelitnya. Karena cinta yang sejati tidak lahir dari dompet, melainkan dari keberanian untuk saling melihat sebagai manusia yang utuh. Seperti yang dikatakan oleh Rumi, "Cinta adalah jembatan antara dirimu dan segalanya." Maka, mari kita bangun jembatan itu di atas fondasi kesetaraan, bukan dominasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun