Mohon tunggu...
Dila Septiani
Dila Septiani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya menyenangi konten berbau hiburan seperti, Film dan Buku. Selain itu saya juga mempelajari Ilmu Psikologi selagi menempuh Pendidikan di jurusan Film dan Televisi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seseorang yang Sudah Melewati 5 Tahap Berduka Bisa Menjadi Teman Bicara

12 April 2021   23:38 Diperbarui: 12 April 2021   23:46 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ditinggalkan oleh orang tercinta atau kehilangan sesuatu yang berharga bagi diri kita tentunya sangat menyakitkan, karena mau tak mau kita dituntut untuk mampu merelakan pada akhirnya. Ketika seseorang berada di tahap rela (ikhlas) atau lebih acap kali disebut healing ia bisa lebih baik menyampaikan perasaannya pada sekitar. 

Lain halnya jika seseorang masih dalam tahap berduka yang pertama yakni penolakan, tentunya akan sulit mengajaknya sekedar berbincang. Mereka akan lebih sibuk dengan pikiran dan perasaan mereka sendiri, demi menghadapi kondisi yang tiba-tiba terjadi dan tak dapat diterima begitu saja. Pada kasus ini, penulis akan merangkum kisah dari seseorang yang ditinggalkan oleh orang tercintanya. Yang mana dia melewati waktu tahunan untuk bisa di tahap healing, dan kabar baiknya ia menjadi lebih menyenangkan ketika diajak bercerita. Sebenarnya hal ini bisa saja relatif terjadi pada siapapun, namun sebut saja ia si "R" salah satu narasumber yang akan dirangkum kisahnya dalam tulisan ini.

 Sebelum mengulik kisahnya lebih dalam, kita ulas sedikit lagi 5 tahapan berduka yang di rumuskan oleh Kubler-Ross yang sebenarnya sudah diperluasnya menjadi 7. Tetapi kita fokus pada 5 tahapan saja agar lebih ringkas. 1) Penyangkalan (denial), 2) Marah (anger), 3) Menawar (bargaining), 4) Depresi (depression), 5) Penerimaan (accepting). 

Dan inilah salah satu kisah duka yang dialami "R", seorang yang penulis samarkan namanya. "R" (20) ditinggalkan oleh kedua orangtuanya saat masih duduk di bangku SMA kelas 12, yang berusaha hingga dua tahun lamanya berjuang dengan pikiran dan bathinnya menerima takdir akan kepergian kedua orangtuanya. Ia harus mulai melanjutkan hidup tanpa kehadiran orangtuanya lagi, berjuang demi hari yang terus berjalan saat ia pernah ingin berhenti, kesedihan menjadi makanan sehari-harinya kala masih berduka. Tak mampu membuka diri pada siapapun bahkan anggota keluarganya sendiri yang tak lain sanak saudara juga ia menolaknya.

Kedua orangtuanya meninggal karena sakit, dan terlalu terlambat untuk mendapat pengobatan sehingga tak tertolong. Awalnya yang sakit hanya ibunya namun ayahnya juga tak lama ikut menyusul, sehingga akan sangat wajar jika ia terpukul akan keadaan kala itu. Pikirnya "Apa yang bisa saya lakukan setelah orangtua saya tidak ada? Sedangkan sehari-haripun saya masih bergantung pada mereka?", siapa yang takan terkejut saat kamu tiba-tiba harus menjadi tulang punggung keluarga dan menganggung hidup saudara-saudaramu?

"R" mengalami setiap tahapan itu walaupun tak berurutan namun semuanya terasa seperti pengalaman jika dilihat saat ini. Tak mudah memang untuk bisa berada di tahap menerima (accepting), karena Sebagian orang ada yang tak bisa melewatinya sama sekali hanya mampu berada di satu tahapan itu saja. Tahap menerima tak seindah yang terlihat, menerima disini adalah saat kamu sudah mulai pasrah dan tak ingin terus terkungkung pada emosi yang tak pernah usai.

Pada tahap itu kamu sudah lelah melawan dan berontak sehingga semuanya terasa akan percuma, orang yang kamu harapkan untuk kembali tak pernah juga ada hilal kedatangannya. Orang yang berduka karena ditinggalkan pasti menyimpan rasa menyesal yang cukup dalam, dimana ia tak sempat melakukan ini dan itu untuk orang tercintanya, sehingga ia mengharapkan mendapat kesempatan untuk bisa mewujudkannya namun ternyata mustahil yang pada akhirnya ia berhenti dengan sendirinya.

Orang-orang mengatakan bahwa jika kamu sedang "down" penting untukmu selalu berada dekat dengan orang-orang disekelilingmu dan lihat mereka yang sayang dan peduli padamu. Namun nyatanya, jika kamu sulit bahkan menerima keluargamu sendiri, atau bahkan temanmu sendiri bagaimana bisa kamu bergantung pada yang lain. Wajar jika seseorang ingin sendiri, beberapa waktu tenang untuknya harusnya tak mengapa. Sebab ia perlu menjernihkan pikirannya dengan usahanya sendiri, saat ia sudah tak sanggup saat itulah orang-orang di sekelilingnya memberikan dukungan. Ia juga pasti ingin pulih maka berilah ia waktu, dan 2 tahun sepertinya waktu yang bisa dibilang singkat bahkan panjang bagi "R" yang saat ini mulai terbiasa dengan kesehariannya, bahkan beberapa kemajuan ia dapatkan dengan usahanya sendiri. Mengapa sendiri?

Keadaan mungkin menuntut seseorang untuk berada didekat jangkauan agar orang-orang di sekelilingnya bisa dengan mudah merangkulnya, namun ternyata hal tersebut malah menjadi suatu ketergantungan. Maka ia hanya bisa mengandalkan oranglain bukan dirinya, padahal untuk sembuh perlu niat dan itikad dari diri sendiri juga bukan? Dan "R" mampu membuktikannya bahwa kesendirian setelah berduka bukan suatu hal yang buruk, karenanya kamu bisa lebih mempercayai dirimu sendiri dan bukan hanya pada oranglain.

Orang-orang yang sudah melewati masa berduka, mulai damai pada diri mereka sendiri dan juga keadaan. Mereka bisa disebut sudah bangkit, dan tidak lagi terpuruk karena harapannya jika ia mampu maka yang lain juga bisa. 

Seperti halnya "R" ia banyak menceritakan bagaimana hari demi hari, bulan demi bulan ia lewati untuk bisa sekuat ini, mungkin tak bisa penulis uraikan secara rinci namun semangat dan sedikit kisah dari "R" bisa membangkitkan minat dan semangat orang-orang yang masih dalam tahap berduka, sebab walaupun luka kala berdukanya masih ingat namun ia mampu menjadi teman bicara yang menyenangkan. Untuk orang-orang yang masih bersedih, atau berada di tahap penyangkalan dan lainnya, pasti tahap dimanapun itu tetaplah menjadi tahap yang sangat menguji diri bukan? Jangan khawatir semuanya akan baik-baik saja, kapanpun itu semuanya akan lebih membaik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun