Mohon tunggu...
Ayudila Arioksa
Ayudila Arioksa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Motto: Lucidity and Courage

Hiduplah seperti air hujan yang lebih memilih tanah, daripada berdiam diri diatas langit. -arioksa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Salah Satu Tukang Kibul di Halte Jakarta, Jadi Harus Waspada

31 Maret 2021   13:56 Diperbarui: 31 Maret 2021   14:21 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta dan Kebohongan di Tengah Keramaian

Rehat sejenak di kursi tunggu halte center di Harmoni. Membuat saya terkesan dengan usaha dan dorongan orang-orang di Jakarta berjuang. Mereka beraktifitas tak jauh beda dengan saya. Berangkat dari jam 6 pagi, sampai ditempat kerja sekitar jam 7 atau 8. Tergantung jarak yang dihadang.

Terik matahari pagi, menyilaukan pandangan, ketika cerita kita awali dari pagi hari.

Saya dan rombongan yang lain berbaris dengan 3 barisan panjang, berdiri dan melihat rute penungguan busway di layar televisi di sebuah halte.Kita tak saling kenal, namun kita saling bekerja keras.

Aku merasa di keramaian transportasi umum. Kita belajar banyak hal. Karena yang berjuang itu, bukan diri kamu sendiri. Dan yang merantau pun bukan kamu seorang. Saya melihat berbagai gaya pakaian yang menggambarkan profesi  kerja. Dari abang-abang kontraktor dengan baju lusuh dan sepatu besarnya berdiri dengan badan lesu, ibu-ibu seumuran mama ku dikampung membawa bingkisan berat, yang isinya jualan berupa gorengan dan sejenis minuman.

Nenek yang dibimbing gadis muda yang tak dia kenal, membantunya berjalan, menapaki jalur busway arah rumahnya . Hingga lelaki tua buta dengan kerupuk udang ditanggannya.

Pemuda dengan teman sebayanya, berbisik dihadapanku. Dan esok aku akan bertemu dengan orang-orang baru lagi. Hingga datang waktunya pulang ke hunian.

Namun aku bukan tipekal orang yang selalu terburu-buru. Meskipun sudah malam, kebiasaanku untuk bersantai dan menikmati wifi di halte adalah hal yang menyenangkan.

Sembari menyeruput jus buah mangga dan gigitan kebab daging sapi yang enak. Membuat hari ini begitu luar biasa. Kelelahan ku seharian ditempat kerja langsung sirna, ketika kita bisa menikmati makanan yang kita sukai.

Di kursi tunggu di halte yang masih ada tanda silangnya merah. Petanda kita harus saling jaga jarak demi kesehatan . Kita duduk dengan berjarak sekitaran 1 meter. Seketika aku menikmati makanan ku, seorang wanita parubaya duduk menghampiri ku. Dia telah menatap ku beberapa menit yang lalu. Namun aku tidak terlalu fokus pada pandangnya itu.  Dia pun mendekat dan duduk disampingku, aku hanya tersenyum kecil padanya.

Dan dia pun mulai bereaksi dengan pendekatan emosional padaku. Ceritanya panjang dari awal corona hingga kondisi hari ini yang dia jalani.
Aku hanya mendengarkan dan memberikan beberapa saran untuk masalah yang dia hadapi.

Dia bercerita dengan mata berlinang dan tangan yang selalu di gengam. Tak khayal seperti orang yang berputus asa. Keingginannya kembali ke Bandung merupakan keputusan dia yang terakhir untuk bisa berkumpul dengan keluarganya disana.

Namun karena kendala, dan beberapa orang yang berhutang padanya. Membuatnya harus bertahan di Jakarta. Dimulai dengan kejahatan anak kandung dan menantunya yang tidak peduli dengan dia dan suaminya. "Katanya" dia punya warung nasi di Blok M tapi karna pandemi wartegnya tutup. Dia baru saja kehilangan suaminya, "katanya".  Semasa suaminya hidup, mereka berdua mengurus warung di warteg.

Tapi ada hal yang disembunyikan suaminya yang hanya dia ketahui setelah melihat catatan buku yang bertulisan data nama karyawan, security yang telah berhutang nasi, dari jumlah puluhan ribu  sampai ratusan ribu. Dan dia pun sekarang ingin meminta haknya sebagai pemilik warteg yang memohon agar hutangnya dibayar.

Selalu saja penolakan yang dia terima. Sekarang dia hidup sebatang kara di sebuah kontrakan di Jakarta "katanya".

Sekitar satu jam lebih aku mendengarkannga berbicara. Hingga aku bersimpati mengajaknya makan. Di sebuah jajanan kaki lima di samping halte. Waktu itu uang ku emang lagi habis. Meskipun sedikit keraguan ingin menolongnya lebih.

Setelah makan kita berpisah, dan dia berjalan ke arah busway menuju kontrakannya. Begitupun dengan ku.

Setelah berganti purnama, eakk..ngak juga sih palingan selang waktu 2/3 bulan. Aku tidak menemui wanita itu di halte Jakarta. Pikirku dia sudah di Bandung, seperti rencananya itu  

Tahu-tahunya malam ini aku menemukannya kembali. Persis dengan baju dan jilbab sorong yang dia pakai pertama kali dengan ku.
Dia berbicara dengan lawan bicaranya, mungkin sebaya denganku.

Aku mencoba menghampiri dengan diam-diam dan mendengarkan dialog mereka berdua. Betapa terkejutnya aku, ketika yang dikeluarkan dari mulut wanita parubaya persis dengan cerita yang dia utarakan padaku.

"Sialan, dia penipu ulung"  aku pun ngebatin.

Langsung aku bergegas pergi dan meninggalkan wanita itu.  Jakarta dan orang-orang yang penuh drama. Sering aku temui. Namun rasa simpatiku mulai berkurang kepada orang-orang yang minta belas kasihan .

Mereka orang-orang yang tak bisa melihat dan mendengar orang lain berjuang keras. Cukup mulut dan gestur tubuh yang dilakoni agar yang lain terhanyut dengan kisah hidupmu.

Siapapun itu, kuharap kalian lebih berhati-hati dimana pun berada. Karena yang ulung lebih handal dari tukang simpul. Yang berkicau merdu belum tentu  suara aslinya. Mana tahu itu hanya tiruan dari lingkungannya.

Semoga orang-orang baik selalu dijauhi dari orang-orang yang salah berlagak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun