Ledakan sepeda motor yang menyemut dan membuat semrawut lalu lintas di Jabotabek jadi potret kekacauan urban kita. Di mana hukum diabaikan, dan jalanan menjadi arena saling salip, saling tikung, saling klakson, dan saling panas.
SETIAP PAGI, jutaan sepeda motor menyemuti jalan-jalan ibukota dan sekitarnya. Deru knalpot motor menguar seperti mantra zaman modern: cepat, bebas, dan entah ke mana. Mereka seperti kawanan lebah yang tak sempat membuat sarang, hanya tahu mengejar bunga yang selalu berpindah.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2024, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 152 juta unit---dan 83% di antaranya adalah sepeda motor. Di Jabodetabek saja, lebih dari 15 juta sepeda motor hilir mudik setiap hari. Mereka menyusup, meliuk, membelah, menyalip, dan memotong dengan keyakinan nyaris mistis bahwa kendaraan lain, terutama mobil, akan berhenti, mengalah, dan memberi jalan.
Ini bukan sekadar pelanggaran lalu lintas; ini adalah filosofi lalu lintas. Sebuah kepercayaan sosial yang tak tertulis: bahwa pengendara sepeda motor punya hak prerogatif atas ruang sempit dan waktu singkat. Di tengah kemacetan, mereka menjelma menjadi manifestasi Nietzschean: "si kehendak atas kuasa". Yang bergerak bukan karena hukum, tapi karena hasrat. Jika mobil adalah birokrat taat sistem, maka sepeda motor adalah pemberontak urban yang tak sabar mengantri.
Tetapi kebebasan tanpa kesadaran adalah tirani yang lain. Menurut data Korlantas Polri, 71% dari total kecelakaan lalu lintas pada 2023 melibatkan sepeda motor. Dan lebih dari 60% korban meninggal adalah pengendara atau penumpang sepeda motor. Ironisnya, banyak kecelakaan bukan karena tabrakan dengan mobil, tetapi antar motor sendiri, yang beradu cepat, saling salip tanpa perhitungan, seperti ikan-ikan kecil yang tak sadar tengah berenang di kolam piranha.
Tentu, kekacauan ini tidak tumbuh dari ruang hampa. Ia disemai dari kemudahan yang menjelma budaya.
Dalam waktu kurang dari satu jam, siapa pun bisa membawa pulang sepeda motor dari dealer hanya dengan uang muka Rp 500.000. Bahkan pada masa promosi, tanpa DP pun bisa. Kredit sepeda motor kini lebih mudah diakses dibanding pinjaman pendidikan.Â
Dalam survei Bank Indonesia 2023, sekitar 64% pembelian sepeda motor dilakukan secara kredit, dan rata-rata cicilan hanya Rp 800 ribuan per bulan, setara harga dua kali makan di restoran waralaba.
Bank dan leasing bersaing menawarkan bunga rendah, tenor panjang, dan syarat minimal. Tak perlu NPWP, cukup KTP dan slip gaji seadanya. Hasilnya: lonjakan kepemilikan motor dalam dua dekade terakhir meningkat hingga 400%. Dari 35 juta unit pada tahun 2000, menjadi lebih dari 125 juta unit pada 2024. Seolah negeri ini punya lebih banyak pengendara sepeda motor daripada pekerja formal.
Fenomena ini tak lepas dari absennya transportasi publik yang andal. Jakarta boleh berbangga dengan MRT, LRT, dan Transjakarta---tapi di Bogor, Bekasi, dan Depok, orang masih mengandalkan motor untuk menembus waktu dan jarak yang menipu.
Lalu lintas kita pun berubah menjadi perang semesta mikro: semua lawan semua, semua lawan waktu. Menjadi arena kekacauan kolektif, tanpa kesepakatan bersama, di mana semua bisa saling berebut ruang dan waktu dalam skala kecil yang terjadi di mana-mana, terus-menerus.
Seorang sopir taksi daring pernah mengeluh, "Kalau di depan saya ada tiga motor, saya harus jaga rem terus. Mereka yakin saya yang akan berhenti. Mereka bergerak, menyalip seenak mereka, seolah mereka selalu selamat." Ini bukan sekadar kebiasaan, ini ilusi. Ilusi tentang ruang yang bisa dimanipulasi, waktu yang bisa dipercepat, dan keselamatan yang bisa dinegosiasikan.