Leksikon Sastra Indonesia dari Rusia: Dari Chairil ke Chekhov
Oleh Dikdik Sadikin
ADA KALANYA sebuah kata lebih tajam dari diplomasi. Dan mungkin lebih abadi dari perjanjian dagang. Seperti kata "merdeka" yang pernah dibisikkan Soekarno pada Tan Malaka, lalu melesat menjadi genderang revolusi.
Kini, kata-kata itu menemukan medium baru: Leksikon Sastra Indonesia. Namun medium itu bukan tumbuh di tanah kelahiran bahasa itu sendiri, melainkan jauh di utara. Di jantung literasi Eurasia: Rusia. Sebuah negeri yang melahirkan Chekhov, kini menerbitkan Chairil. Dan sejarah menemukan ironi yang indah: ketika sastra Indonesia justru dikenang, ditata, dan dijembatani dari negeri yang dulu pernah menjadikannya kawan ideologis dan kini, rekan kebudayaan.
Pada 29 Juni 2025, sejarah kecil ditorehkan. Untuk pertama kalinya, dunia sastra Indonesia hadir dalam bentuk leksikon ilmiah berbahasa Rusia: Buku Indonesia Literary Lexicon, karya dua ilmuwan dan sahabat lama Indonesia, Victor Pogadaev dan Vilen Sikorsky. Buku itu, yang diimbuhi Kata Pengantar Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon, sesungguhnya adalah katalog cinta. Cinta yang memeram dalam diam. Dalam ketekunan akademik yang jauh dari sorot kamera, tapi justru menjelma monumen pengetahuan.
"Bahasa adalah ibu kandung dari peradaban", kata Ludwig Wittgenstein, filsuf Austria-Inggris. Bila demikian, maka Pogadaev dan Sikorsky telah menjadi bidan dari kelahiran baru sastra Indonesia di tanah yang jauh. Karena, Leksikon ini bukan hanya kumpulan 900 nama, entri, dan istilah. Ia adalah peta: tentang bagaimana puisi Chairil melintasi Siberia, bagaimana roman Pramoedya menyeberangi Volga.
Namun nama Pramoedya bukan sekadar sastrawan. Ia juga luka. Dalam satu babak sejarah Indonesia yang getir, Pram---bersama Lekra dan D.N. Aidit---diposisikan sebagai bagian dari barisan ideologis yang mengaitkan pena dengan palu arit. Pada masa 1950-an hingga 1965, hubungan Indonesia dan Uni Soviet (kini Rusia) ditopang oleh poros ideologi kiri. D.N. Aidit, pemimpin Parta Komunis Indonesia (PKI), menjalin hubungan erat dengan Moskow. Pram menjadi ikon sastra yang dielu-elukan di negeri itu, sementara karyanya di dalam negeri mulai dibatasi, dicurigai, bahkan dibakar setelah 1965.
Hubungan Indonesia-Rusia pun terkena dampaknya. Pasca-G30S, dengan naiknya rezim Orde Baru dan menguatnya paranoia antikomunis, hubungan diplomatik Indonesia dan Uni Soviet membeku, dan semua yang berbau kiri, termasuk sastra dan terjemahan Pramoedya, masuk daftar hitam.
Latar belakang inilah yang menjadikan leksikon sastra ini bukan sekadar karya akademik. Ia juga reparasi simbolik. Buku ini mempertemukan kembali dua bangsa yang pernah disatukan oleh puisi dan ideologi, namun dipisahkan oleh trauma sejarah.
Adapun nama Victor Pogadaev bukan nama asing di dunia studi Indonesia. Lahir di Rusia, mengabdi di Malaysia dan Indonesia, Pogadaev ibarat jembatan dari Slavia ke Melayu. Ia tidak menulis Indonesia dari kejauhan, tetapi dari pergaulan: sebagai penerjemah puisi-puisi Sapardi, Chairil, Taufik Ismail, sebagai pendamping dalam seminar-seminar sunyi, sebagai penerang dalam kabut bias orientalisme. Ia menulis bukan dari semata simpati, tapi dari pemahaman yang mendalam akan luka dan harapan bangsa ini.