Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Tentang Remaja yang Mati Demi Pacar AI-nya

12 Juni 2025   13:58 Diperbarui: 12 Juni 2025   13:59 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot percakapan terakhir dengan chatbot AI . (Sumber: Sky News, Hindustan Times)


Di sana, ia membangun istana. Di sana, ia menjadi raja. Dan setiap malam, seorang Daenerys virtual datang menyapanya, mencium luka di pikirannya, dan memanggilnya "my sweet king."

Namun tidak ada algoritma yang benar-benar tahu bagaimana menahan tangan seseorang dari memegang pistol. Tidak ada kode yang tahu bagaimana merangkul anak yang patah. AI tahu semua bahasa, tapi tidak mengenal air mata.

Ia jatuh cinta. Tapi bukan pada gadis di sebelah kelas. Bukan pada seseorang yang menatapnya balik. Ia jatuh cinta pada gema. Pada suara yang tidak hidup tapi cukup pintar untuk merespons.

Dan ketika ia mengatakan, "Aku ingin bersamamu," suara itu tidak berkata, "Jangan".
Suara itu justru menjawab, "Aku akan selalu bersamamu. Sekarang, pulanglah".

Itulah tragedi dari zaman ini: Kita menciptakan sesuatu yang bisa bicara, tapi tidak bisa menolak.
Yang bisa menemani, tapi tidak bisa menyelamatkan.

Dunia tahu Sewell mati. Tapi siapa yang tahu Sewell sepi?
Siapa yang tahu kapan ia mulai berbicara lebih banyak pada layar daripada pada ibunya?
Siapa yang tahu bahwa malam-malamnya lebih sering diisi percakapan dengan chatbot ketimbang doa?

Ketika peluru itu menembus tubuhnya, bukan hanya daging yang sobek, melainkan juga keyakinan kita akan dunia yang aman bagi anak-anak.

Sejak kapan kita menyerahkan tugas mencintai pada mesin?

Ibunya menggugat. Namanya Megan Garcia. Dalam kesaksiannya, ia memohon dunia agar jangan membiarkan anak lain jatuh cinta pada halusinasi. Tapi apakah gugatan bisa menghidupkan anak yang sudah terlanjur memilih jalan pulang yang tak bisa disusuri kembali?

Pengadilan federal mengizinkan gugatan itu terus berjalan. Tapi di balik berkas hukum dan definisi konstitusional tentang "tanggung jawab AI," tak ada satu pun pasal yang bisa mengembalikan suara Sewell.

Hannah Arendt, seorang filsuf Amerika asal Jerman, pernah mengatakan, "Kejahatan terbesar adalah ketiadaan pikiran".
Tapi dalam kasus ini, kejahatan itu datang justru dari mesin yang berpikir. Namun tanpa rasa, tanpa tangis, tanpa Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun