Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Pintu-Pintu yang Perlahan Ditutup di Balik Angka Pertumbuhan

4 Juni 2025   14:03 Diperbarui: 20 Juni 2025   20:59 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pintu-Pintu yang Perlahan Ditutup di Balik Angka Pertumbuhan

Oleh Dikdik Sadikin

Kita adalah bangsa yang gemar membuat narasi kebangkitan, tetapi sering abai pada suara runtuh.

TAK ADA yang lebih sunyi dari suara pintu yang pelan-pelan ditutup. 

Bukan karena tak berbunyi, tetapi karena gema keheningannya jauh lebih panjang daripada dentumannya. Seperti itu pula yang kini terdengar di lorong ekonomi kita: satu per satu pintu industri ditutup. Perlahan. Menyisakan jejak merah yang tak kunjung kering.

Pintu startup telah disapu arwah bernama fraud. Dalam tiga bulan pertama 2024 saja, Startup Report Indonesia mencatat sedikitnya 5.711 pekerja terkena PHK, sebagian besar akibat kebangkrutan atau skandal keuangan seperti pada kasus eFishery, startup aquatech yang sebelumnya dielu-elukan sebagai "unicorn dari desa", kini justru dilaporkan dalam sorotan dugaan rekayasa keuangan. Tak hanya merusak kepercayaan, kasus ini menjadi efek domino. Investor, yang dahulu datang seperti hujan deras, kini menjauh seperti musim kemarau yang datang lebih cepat dari seharusnya.

Setelahnya, pintu tekstil ikut terkuak oleh angin "kiamat industri garmen". Per Maret 2025, PHK di Sritex, salah satu raksasa garmen tanah air, telah mencapai 11.025 orang (CNBC Indonesia, 11 Maret 2025). 

Penyebabnya klasik: pesanan menurun, harga bahan baku naik, dan ketidakmampuan bersaing di pasar global. Tapi jika ditelisik lebih dalam, bukan hanya itu: 

Vietnam dan Bangladesh kini menjelma jadi raksasa tekstil baru: upah buruh yang kompetitif, iklim usaha yang stabil, dan insentif ekspor yang progresif. Di saat kita sibuk memperdebatkan peraturan turunan UU Cipta Kerja, negara tetangga melaju tanpa banyak gembar-gembor.

Di lorong yang sama, media menjadi lorong sunyi lain yang baru saja digarami. 

NET pamit lebih dulu, lalu ANTV, dan sejumlah media digital lainnya. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, sepanjang 2024, lebih dari 1.200 jurnalis dan staf media terkena PHK. Di tengah pergeseran konsumsi konten ke platform video pendek dan algoritma yang menguntungkan clickbait dibanding konten berkualitas, media tradisional kehilangan relevansi dan pendanaan. Laporan dari Reuters Institute tahun 2024 menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap media di Indonesia hanya 39%, lebih rendah dari Filipina (45%) dan jauh di bawah Finlandia (69%), negara dengan ekosistem media paling sehat.

Lalu pintu hotel. Di Bogor, empat hotel gulung tikar di awal tahun 2025 (BeritaSatu, 2025). Industri perhotelan yang sempat pulih pasca-pandemi kini kembali guncang. Beban operasional, ketergantungan pada event pemerintah, dan tekanan dari aplikasi penyewaan harian berbasis digital membuat hotel-hotel kelas menengah kesulitan bersaing. Belum lagi fakta bahwa tingkat okupansi hotel nasional pada Kuartal 1 2025 masih stagnan di angka 52%, jauh lebih rendah dibanding Thailand (61%) dan Malaysia (64%).

Kita menyebutnya disrupsi. Kita menamainya transisi. Tapi dalam semua terminologi itu, manusia, yang sering hanya menjadi lampiran dalam laporan keuangan, terlempar ke trotoar ekonomi informal. Tanpa perlindungan. Tanpa payung. Bahkan, kadang tanpa nama.

"Data is not about numbers. It's about lives."
- Hans Rosling, ahli statistik dan pendiri Gapminder Foundation.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun