"Time is the longest distance between two places."-- Tennessee Williams
Ada janji yang kita ikatkan pada langit, tapi lupa kita panjatkan dengan doa.
Ada nama yang ingin kita sebut lebih sering, tapi justru tenggelam dalam diam kita sendiri.
Kita hidup dalam semesta yang tak memberi isyarat ulang. Tak ada aba-aba kedua. Tak ada "sebentar lagi."Â
Karena waktu: ia tidak menunggu. Ia hanya berjalan, seperti bayangan yang mengulur panjang, diam-diam menjauh tanpa berpamitan.
Beberapa tahun silam, seorang teman masa kecil, yang dulu berbagi sepiring mie rebus di Dukuh Atas dan main gundu di halaman gang sempit, tiba-tiba datang ke rumah saya di Bogor. Wajahnya sedikit menua, tapi matanya tetap menyimpan cahaya masa kanak-kanak: bening, polos, dan barangkali sedikit rindu.
Kami duduk dan bercerita. Tentang hujan di Jakarta yang selalu datang sebelum kita sempat berteduh. Tentang sepatu yang hilang di masjid.Â
Tentang ibu-ibu yang berteriak memanggil pulang saat adzan magrib. Dan saya, seperti kebanyakan manusia yang merasa hari esok itu pasti, berjanji: suatu hari saya akan ke rumahnya di Tangerang. Atau setidaknya, duduk bersamanya di kafe kecil yang tenang, mengingat masa lalu sambil menyeruput waktu yang tersisa.
Tapi janji itu saya gantung pada paku yang tak pernah saya pasang. Hari-hari datang dengan urusan dan kelelahan. Hidup berisik. Kantor menunggu. Rumah tak selesai. Maka saya tunda.Â
Lagi dan lagi. Hingga hari itu datang, bukan kabar undangan. Tapi berita kematian. Ia pergi. Dihantam gelombang pandemi. Tanpa sempat saya peluk. Tanpa sempat saya bisikkan "maaf, aku terlambat."
Penyesalan, seperti senja, tak pernah datang tiba-tiba. Ia mengendap. Ia tumbuh dari bayangan kecil yang kita abaikan. Dan suatu saat, ia menelan seluruh langit hati kita.