Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Waktu dan Penyesalan: Kisah yang Selalu Terlambat

22 Mei 2025   23:33 Diperbarui: 28 Mei 2025   14:18 6245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Ibu dan anak perempuannya. ((SHUTTERSTOCK via kompas.com)

"Time is the longest distance between two places."-- Tennessee Williams

Ada janji yang kita ikatkan pada langit, tapi lupa kita panjatkan dengan doa.
Ada nama yang ingin kita sebut lebih sering, tapi justru tenggelam dalam diam kita sendiri.

Kita hidup dalam semesta yang tak memberi isyarat ulang. Tak ada aba-aba kedua. Tak ada "sebentar lagi." 

Karena waktu: ia tidak menunggu. Ia hanya berjalan, seperti bayangan yang mengulur panjang, diam-diam menjauh tanpa berpamitan.

Beberapa tahun silam, seorang teman masa kecil, yang dulu berbagi sepiring mie rebus di Dukuh Atas dan main gundu di halaman gang sempit, tiba-tiba datang ke rumah saya di Bogor. Wajahnya sedikit menua, tapi matanya tetap menyimpan cahaya masa kanak-kanak: bening, polos, dan barangkali sedikit rindu.

Kami duduk dan bercerita. Tentang hujan di Jakarta yang selalu datang sebelum kita sempat berteduh. Tentang sepatu yang hilang di masjid. 

Tentang ibu-ibu yang berteriak memanggil pulang saat adzan magrib. Dan saya, seperti kebanyakan manusia yang merasa hari esok itu pasti, berjanji: suatu hari saya akan ke rumahnya di Tangerang. Atau setidaknya, duduk bersamanya di kafe kecil yang tenang, mengingat masa lalu sambil menyeruput waktu yang tersisa.

Tapi janji itu saya gantung pada paku yang tak pernah saya pasang. Hari-hari datang dengan urusan dan kelelahan. Hidup berisik. Kantor menunggu. Rumah tak selesai. Maka saya tunda. 

Lagi dan lagi. Hingga hari itu datang, bukan kabar undangan. Tapi berita kematian. Ia pergi. Dihantam gelombang pandemi. Tanpa sempat saya peluk. Tanpa sempat saya bisikkan "maaf, aku terlambat."

Ilustrasi: DALL-E, Remaker AI, Photoshop/Dikdik
Ilustrasi: DALL-E, Remaker AI, Photoshop/Dikdik

Penyesalan, seperti senja, tak pernah datang tiba-tiba. Ia mengendap. Ia tumbuh dari bayangan kecil yang kita abaikan. Dan suatu saat, ia menelan seluruh langit hati kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun