Kebangkitan Nasional: Antara Peringatan dan Perjalanan
Oleh Dikdik Sadikin
Kami adalah angkatan baru,
Kami bukan pembesar-pembesar,
Tapi suara-suara yang tak bisa dibungkam.--- Chairil Anwar, "Persetujuan dengan Bung Karno", 1948Â
KEBANGKITAN, kata itu seperti mata air. Terdengar jernih, tapi mengalir dari tanah yang tak selalu bersih. Ia bukan kilat yang menyambar tiba-tiba, tapi bara yang pelan-pelan menyala. Kadang hampir padam. Kadang diam-diam menghangatkan sejarah.Â
Pada 20 Mei 1908, di ruang kelas STOVIA yang tak luas, Budi Utomo lahir. Bukan dari api kemarahan, melainkan dari percakapan. Dari buku. Dari rasa malu yang menjelma harga diri. Di sinilah letak keindahan kebangkitan pertama: ia tumbuh dari kesadaran, bukan dari kerusuhan.
Kini, 117 tahun kemudian, kita hidup di tengah dunia yang lebih gaduh. Dunia yang lebih cepat, lebih sibuk, lebih terhubung. Namun kadang, lebih sunyi dalam makna. Tapi barangkali benar: kebangkitan bukan peristiwa. Ia adalah ingatan yang terus menyala. Ia tak berulang, tapi terus mengalir.
Indonesia tumbuh 4,87% pada kuartal pertama 2025 (BPS, 2025). Angka ini bukan lagu kemenangan, tapi bukan pula berita duka. Ia adalah denyut ekonomi yang bertahan, meski dunia di luar berguncang oleh perang tarif dan krisis iklim. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan mencatat pertumbuhan 10,52%, sebuah pertanda bahwa desa belum sepenuhnya ditinggalkan oleh masa depan.
Bahkan di tengah proposal tarif 32% dari Amerika Serikat atas ekspor Indonesia (ARMA Law, April 2025), pemerintah tidak diam. Kita merespons, bukan reaktif. Dalam diplomasi, terkadang kekuatan bukan di suara yang lantang, tapi dalam ketenangan yang tak menyerah.
Benar, kita tidak sedang bersih dari luka. Demokrasi Indonesia, menurut The Economist Intelligence Unit (EIU, 2024), mendapat skor 6,44 dan masuk dalam kategori flawed democracy, atau demokrasi yang belum utuh. Kita berada di peringkat ke-59 dari 167 negara. Namun, itu bukan vonis. Itu cermin. Dan seperti setiap cermin, ia menunggu keberanian kita untuk memandang diri, lalu memperbaiki.
Korupsi masih seperti noda yang sulit dihapus. Pertamina dituduh merugikan negara hingga USD 12 miliar sepanjang 2018--2023 (Reuters, 19 Mei 2025). Tapi pada saat yang sama, publik tak lagi diam. Kita mengkritik. Kita menuntut. Dan barangkali, di situ letak harapan: bahwa bangsa ini belum mati rasa. Karena kita tidak lahir untuk menjadi statistik, maka biarkan data menuntun. Biarkan nurani yang memutuskan arah.
Hari ini, kebangkitan tidak datang dalam bentuk parade. Ia datang saat seorang anak desa mendapatkan beasiswa dari negara yang dahulu hanya bisa ia lihat dari peta. Ia datang ketika seorang petani di sebuah daerah bisa menjual hasil panennya lewat ponsel. Ia datang ketika seorang ibu tunggal membuka UMKM daring yang menghidupi tiga anaknya.
Kebangkitan tak selalu punya headline. Ia bisa saja berupa komputer yang dibelikan dari gaji pertama. Atau senyum guru honorer yang akhirnya diangkat menjadi pegawai tetap.