Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebangkitan Nasional: Antara Peringatan dan Perjalanan

20 Mei 2025   10:16 Diperbarui: 20 Mei 2025   10:22 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: DALL-E dengan modifikasi.

Kebangkitan Nasional: Antara Peringatan dan Perjalanan

Oleh Dikdik Sadikin

Kami adalah angkatan baru,
Kami bukan pembesar-pembesar,
Tapi suara-suara yang tak bisa dibungkam.

--- Chairil Anwar, "Persetujuan dengan Bung Karno", 1948 

KEBANGKITAN, kata itu seperti mata air. Terdengar jernih, tapi mengalir dari tanah yang tak selalu bersih. Ia bukan kilat yang menyambar tiba-tiba, tapi bara yang pelan-pelan menyala. Kadang hampir padam. Kadang diam-diam menghangatkan sejarah. 

Pada 20 Mei 1908, di ruang kelas STOVIA yang tak luas, Budi Utomo lahir. Bukan dari api kemarahan, melainkan dari percakapan. Dari buku. Dari rasa malu yang menjelma harga diri. Di sinilah letak keindahan kebangkitan pertama: ia tumbuh dari kesadaran, bukan dari kerusuhan.

Kini, 117 tahun kemudian, kita hidup di tengah dunia yang lebih gaduh. Dunia yang lebih cepat, lebih sibuk, lebih terhubung. Namun kadang, lebih sunyi dalam makna. Tapi barangkali benar: kebangkitan bukan peristiwa. Ia adalah ingatan yang terus menyala. Ia tak berulang, tapi terus mengalir.

Indonesia tumbuh 4,87% pada kuartal pertama 2025 (BPS, 2025). Angka ini bukan lagu kemenangan, tapi bukan pula berita duka. Ia adalah denyut ekonomi yang bertahan, meski dunia di luar berguncang oleh perang tarif dan krisis iklim. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan mencatat pertumbuhan 10,52%, sebuah pertanda bahwa desa belum sepenuhnya ditinggalkan oleh masa depan.

Bahkan di tengah proposal tarif 32% dari Amerika Serikat atas ekspor Indonesia (ARMA Law, April 2025), pemerintah tidak diam. Kita merespons, bukan reaktif. Dalam diplomasi, terkadang kekuatan bukan di suara yang lantang, tapi dalam ketenangan yang tak menyerah.

Benar, kita tidak sedang bersih dari luka. Demokrasi Indonesia, menurut The Economist Intelligence Unit (EIU, 2024), mendapat skor 6,44 dan masuk dalam kategori flawed democracy, atau demokrasi yang belum utuh. Kita berada di peringkat ke-59 dari 167 negara. Namun, itu bukan vonis. Itu cermin. Dan seperti setiap cermin, ia menunggu keberanian kita untuk memandang diri, lalu memperbaiki.

Korupsi masih seperti noda yang sulit dihapus. Pertamina dituduh merugikan negara hingga USD 12 miliar sepanjang 2018--2023 (Reuters, 19 Mei 2025). Tapi pada saat yang sama, publik tak lagi diam. Kita mengkritik. Kita menuntut. Dan barangkali, di situ letak harapan: bahwa bangsa ini belum mati rasa. Karena kita tidak lahir untuk menjadi statistik, maka biarkan data menuntun. Biarkan nurani yang memutuskan arah.

Hari ini, kebangkitan tidak datang dalam bentuk parade. Ia datang saat seorang anak desa mendapatkan beasiswa dari negara yang dahulu hanya bisa ia lihat dari peta. Ia datang ketika seorang petani di sebuah daerah bisa menjual hasil panennya lewat ponsel. Ia datang ketika seorang ibu tunggal membuka UMKM daring yang menghidupi tiga anaknya.

Kebangkitan tak selalu punya headline. Ia bisa saja berupa komputer yang dibelikan dari gaji pertama. Atau senyum guru honorer yang akhirnya diangkat menjadi pegawai tetap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun