Beberapa menyebut ancaman barak TNI itu berlebihan, bahkan traumatik. LSM perlindungan anak angkat bicara. Komisioner KPAI mengingatkan bahwa "pendisiplinan dengan rasa takut tidak sesuai dengan prinsip tumbuh kembang anak." Tapi di saat yang sama, ratusan komentar di TikTok berseru: "Kang Dedi, tolong datang ke rumah saya juga!"
Tak hanya soal kebijakannya. Isu keyakinan KDM pun disorot. Ia dianggap terlalu dekat dengan tradisi animisme dan ajaran-ajaran lokal. Ia kerap berdialog dengan alam, menyapa pohon tua, berbicara dengan sungai, atau merenung di makam-makam leluhur. Sebagian netizen menyebutnya "musyrik", sebagian lain menyebutnya sebagai bentuk sinkretisme Sunda Wiwitan yang menolak dikotomi kaku agama formal dan kearifan lokal.
Di titik ini, KDM memperlihatkan wajah lain dari Jawa Barat: yang modern tapi mistik, yang islami tapi spiritual, yang urban tapi sangat kampung. Di sinilah metafora politik KDM berdiri: ia seperti rumah panggung tua di lembah Cianjur: terbuat dari kayu warisan, tapi dilengkapi kamera CCTV.
Kebijakan KDM melarang pesta perpisahan sekolah dan tour luar kota juga menimbulkan debat. Banyak yang menyebutnya terlalu membatasi pengalaman masa muda. Tapi dalam pidatonya, ia mengatakan: "Anak tidak perlu pamer kebahagiaan di atas penderitaan orangtuanya."
Kebijakan-kebijakannya itu menampar realitas ekonomi yang getir. Sebab menurut BPS Provinsi Jawa Barat, hingga Februari 2025, sebanyak 55,89% dari total penduduk bekerja di Jawa Barat berada dalam sektor informal, yaitu sekitar 13,98 juta orang dari total 24,99 juta penduduk bekerja. Artinya, lebih dari separuh rakyat hidup tanpa perlindungan kerja yang layak, tanpa jaminan sosial, dan seringkali tanpa kepastian penghasilan.
Dalam lanskap seperti itu, pesta perpisahan sekolah dan study tour ke luar kota tak lagi terlihat sebagai momen kebahagiaan, melainkan ironi, yang justru menyakiti isi kantong para buruh harian, pedagang kaki lima dan rakyat miskin lainnya. KDM menyentilnya tanpa seminar. Ia langsung melarang.
Sebagaimana halnya ayah yang tegas, KDM tampil bukan untuk disukai, tapi untuk ditaati. Ia tak menjanjikan reward, tapi warning. Ia tidak meninabobokan, tapi membangunkan. Dalam dunia politik yang serba basa-basi, barangkali KDM menjadi alternatif.
Dan ketika ia membongkar bangunan liar di kawasan Puncak, yang selama puluhan tahun menjadi simbol pembiaran negara, KDM seperti menegaskan kembali hakikat kekuasaan yang bergerak, bukan hanya menunggu laporan.
"Pemimpin bukan hanya mereka yang mampu mendengar suara rakyat, tetapi juga yang berani mengatakan hal yang tak ingin didengar," tulis Vclav Havel, mantan Presiden Ceko.
Namun, ada yang perlu dicatat: populisme yang terlalu bergantung pada satu figur mudah rapuh. Apa yang akan terjadi jika esok lusa KDM kalah dalam kontestasi atau kehilangan akses media? Apa yang akan tersisa jika narasi hanya tinggal arsip TikTok dan bukan sistem?
KDM, seperti banyak pemimpin era algoritma, barangkali akan dikenang bukan sebagai pencipta kebijakan yang abadi, tapi sebagai aktor sosial yang menggugah kesadaran. Ia tidak menulis undang-undang, tetapi menanamkan rasa malu pada anak yang lupa mencium tangan ibunya.