Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kang Dedi Mulyadi (KDM)

16 Mei 2025   20:41 Diperbarui: 16 Mei 2025   20:41 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kang Dedi Mulyadi (KDM)

Oleh Dikdik Sadikin

Kang Dedi Mulyadi, atau lebih akrab disebut "KDM", bukan sekadar politisi. Sebagai Gubernur Jawa Barat, ia performatif. Ia tak datang dari kasta langit kekuasaan. Ia bukan teknokrat dari kampus asing, bukan pula politisi turunan dengan silsilah bak pohon keluarga bangsawan. Ia muncul dari riuh pasar rakyat, dari jalan-jalan kampung. Dan seperti banyak hal yang muncul dari bawah, ia mendobrak dari sisi yang tak terduga: media sosial.

Aksi KDM adalah fragmen narasi. Ia memanggil anak-anak yang bandel untuk dibina di barak tentara. Ia melarang study tour agar orangtua tak perlu menjual motor atau menggadaikan surat tanah. Ia membongkar bangunan liar di daerah Puncak Bogor dan Cianjur yang sudah dianggap sebagai "warisan ekonomi", tetapi justru menjadi beban ekologis.

Mungkin karena itu, KDM menjadi semacam reality show yang tak pernah selesai tayang. Di TikTok, di YouTube, di reels Instagram, ia muncul seperti tokoh dalam epos rakyat: keras, blak-blakan, tetapi akrab. Ia menegur sambil tertawa, mengancam sambil menggendong anak kecil, memeluk sambil membongkar rumah. Tapi inilah zaman di mana politik tak hanya ditonton. Ia juga dibagikan.

Sejak awal, terpilihnya KDM menjadi Gubernur Jawa Barat memang bukan didasarkan sekadar rekam jejaknya sebagai Bupati Purwakarta dan anggota DPR, tetapi juga dari pendekatannya yang akrab melalui media sosial. Ia menyebutnya sebagai kebiasaan lama yang membuatnya bahagia: mendatangi rakyat kecil, menyapa anak-anak, bahkan memarahi remaja yang keluyuran saat jam belajar.

Barangkali, inilah gaya baru kekuasaan di era algoritma: berpolitik sambil bertindak, dan bertindak sambil ditonton. Ia melakukan sesuatu yang nyata, tapi juga sengaja menampilkannya kepada publik sebagai pesan. Namun KDM bukan hanya performatif dalam arti teatrikal. Dalam banyak hal, ia juga walks the talk: tidak sekadar berkata-kata, tetapi benar-benar turun tangan: menjemput, menegur, dan mendengar.

Dalam dunia politik yang sering menjauh dari kehidupan sehari-hari, ia hadir dengan bahasa yang dipahami banyak orang: bukan pidato, tapi teguran; bukan baliho, tapi video. Dari hal itu, KDM dan pasangannya terpilih dengan dukungan publik sebesar 65%, jauh mengungguli calon lainnya (Data Litbang Kompas, November 2024).

Sebagian menyebut ini populisme baru. Yang lain menyebutnya mediatainment birokrasi. Tapi barangkali yang sedang kita saksikan adalah transformasi kekuasaan: dari yang berbicara di podium menjadi yang masuk ke ruang makan, bahkan ke tempat tidur anak-anak. 

Seorang bocah berkata pada ibunya, "Aku mau makan, kalo nggak nanti dijemput Pak Dedi." Bukankah ini semacam "mata yang tak pernah tidur". Sebuah pengawasan yang tak kasatmata, tapi selalu terasa hadir? Bukan dari polisi atau guru, melainkan dari layar gawai yang merekam KDM menasehati sekaligus "mengancam". Bahwa kalau tidak menurut orangtua, KDM sebagai "Pak Dedi" akan menjemput anak-anak itu.

Tentu, tidak semua setuju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun