Mohon tunggu...
didit budi ernanto
didit budi ernanto Mohon Tunggu... Freelancer - menulis kala membutuhkan

(ex) jurnalispreneur...(ex) kolumnispreneur....warungpreneur

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Harbolnas dan Perlindungan Konsumen Daring

12 Desember 2019   09:22 Diperbarui: 12 Desember 2019   13:19 1388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 12 Desember merupakan hari istimewa yang sangat dinantikan oleh para penyuka belanja. Dengan tajuk Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas), iming-iming diskon ditawarkan marketplace tentu saja menjadi momentum bagi para penyuka belanja berbelanja online (daring).

Belanja daring saat ini sudah menjadi habit bagi masyarakat di Indonesia. Perubahan revolusioner kebiasaan masyarakat dalam berbelanja dari konvensional (offline) menjadi berbelanja secara daring (online) tak bisa terelakkan seiring kian masifnya penggunaan gawai.

Kini, cukup berselencar memanfaatkan gawai dalam mencari barang kebutuhan yang harus dibeli. Kelebihan belanja daring adalah konsumen bisa melakukannya di mana saja, termasuk di rumah. Konsumen bisa berbelanja lebih efisien dan efektif dari segi waktu dan biaya.

Konsumen tidak perlu lagi bermacet-macet ria datang ke pusat perbelanjaan. Barang yang dibeli cukup ditunggu di rumah konsumen.

Kelebihan lain adalah soal harga jual produknya yang kompetitif. Belum lagi, konsumen tidak perlu mengeluarkan biaya ekstra karena kebanyakan marketplace membebaskan ongkos kirim (ongkir).

Ada kelebihan, tentunya ada kekurangan. Proses transaksi daring yang tidak dilakukan secara tatap muka membuat konsumen daring rentan menjadi korban penipuan. Konsumen tidak bisa melihat langsung barang yang dijual melalui daring.

Hanya mengandalkan foto produk yang dipajang di media sosial maupun platform marketplace. Padahal, bisa saja foto produk yang dijual dipercantik dengan berbagai aplikasi foto yang saat ini mudah diunduh. Konsumen daring pun bak membeli kucing dalam karung.

Kasus penipuan dengan beragam modus maupun kecurangan penjual banyak dialami konsumen belanja daring. Seperti produk yang dijual tidak sesuai dengan yang dipajang, ukuran serta warna produk berbeda dengan yang dipesan, serta mutunya jelek. Lantas, produk yang dijual ternyata bukan orisinil alias KW.

Yang paling mengenaskan adalah konsumen belanja daring sudah membayar, namun ternyata barang yang dijual tidak ada. Walhasil, uang konsumen melayang begitu saja. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ada sekitar 19.000 aduan soal belanja daring ini.

Ada proyeksi dari pemerintah bahwa e-commerce di tahun 2020 nanti transaksinya bisa mencapai Rp 1.775 triliun. Tentu, target tersebut realistisnya tercapai mengingat terus bertumbuhnya belanja daring.

Di tengah upaya mencapai target tersebut, hendaknya perlindungan konsumen daring harus menjadi komponen terpenting dalam pertumbuhan e-commerce di Indonesia. Tanpa konsumen, e-commerce tentunya tidak akan mengalami pertumbuhan signifikan.

Memang UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan rujukan hukum melindungi konsumen daring.

Dalam pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, misalnya, jelas disebutkan bahwa konsumen berhak memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi mengenai jaminan barang dan/atau jasa. Selain itu, semua konsumen berhak memperoleh perlakuan dan pelayanan yang benar, jujur dan tidak diskriminatif. 

Di bagian lain dijabarkan keharusan pelaku usaha memenuhi janji saat promosi penjualan barang dan/atau jasa. Itu tercantum dalam pasal 8 UU Perlindungan Konsumen. Ada hak kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian manakala barang dan/atau jasa tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Hal sama dipaparkan dalam pasal 48 ayat (3) maupun pasal 49 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Aturan yang wajib ditaati oleh konsumen dan penjual dalam bertransaksi daring, termasuk belanja daring.

Penipuan maupun kecurangan yang dilakukan penjual dalam transaksi belanja daring sebenarnya bisa dikatagorikan sebagai kejahatan siber. Kejahatan siber yang bisa dijerat hukum melalui pasal 28 ayat (2) UU ITE dengan hukuman maksimal 6 tahun penjara serta denda maksimal Rp 1 miliar.

Pun jerat hukum KUHP pasal 378 bisa dikenakan bagi penjual daring yang wanprestasi. Adapun ancaman hukumannya pidana penjara maksimal 4 tahun.

Pasal dalam UU Perlindungan Konsumen, UU ITE, maupun PP PSTE hingga KUHP sebenarnya telah ideal dalam memberi perlindungan bagi konsumen daring. Tinggal mengedukasi para pelaku e-commerce supaya mengimplementasikan semua aturan tersebut.

Ruang gerak "oknum" penjual curang dalam e-commerce pun bisa dipersempit dengan Peratutan Pemerintah (PP) No 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Dalam pasal 15 ayat 1 PP No 80 Tahun 2019 itu mengharuskan semua e-commerce memiliki izin usaha yang diberlakukan pada 2020 nanti. 

PP ini sebenarnya merupakan langkah tepat bagi kepentingan perlindungan konsumen. Dengan adanya izin itu, pelaku e-commerce yang beritikad tidak baik bisa dilacak sehingga mempermudah upaya konsumen yang dirugikan menempuh jalur hukum.

Pemerintah bisa langsung menindak tegas penjual daring yang curang. Tak sekadar mencabut izinnya, tetapi juga melakukan tindakan hukum.

Hal serupa bisa diberlakukan pemerintah terhadap pengelola marketplace yang tetap wajib bertanggung jawab bilamana ada penjual di bawah naungannya yang telah merugikan konsumen.

Memang sudah ada platform marketplace yang memblokir dan menutup penjual e-commerce yang melakukan kecurangan. Penjual daring di marketplace memang lebih mudah diawasi sehingga ketika melakukan kecurangan bisa diberi sanksi. Lain halnya bila penjualan dilakukan melalui akun sosial media milik perseorangan.

Ada satu upaya yang bisa dilakukan yaitu melapor ke OJK serta ke bank. Pelaporan yang disertai bukti-bukti kuat membuat perbankan bisa melakukan pemblokiran rekening penjual daring yang curang.

Satu hal terpenting dalam perlindungan konsumen daring adalah perilaku konsumen itu sendiri. Konsumen sebagai komponen terpenting harus terus diedukasi supaya tidak lagi menjadi konsumen pasif. Harus ditumbuhkan kesadaran sebagai konsumen proaktif yang bilamana dirugikan, berani mengadu ke institusi terkait.

Upaya perlindungan konsumen tidak berarti apa-apa bilamana konsumen hanya bersikap pasif. Hanya pasrah, tanpa daya upaya sebagai pihak yang dirugikan. Konsumen harus menjadi konsumen cerdas di era digital ini. Konsumen cerdas dalam artian konsumen yang berani dan mau memperjuangkan hak-haknya sebagai konsumen terpenuhi.

Kurangnya perlindungan terhadap konsumen daring dikhawatirkan menjadi hambatan bagi pertumbuhnya e-commerce. Bilamana kondisi itu dibiarkan, bukan mustahil suatu saat konsumen kembali beralih ke belanja konvensional yang dianggap lebih fair dan tidak merugikan haknya sebagai konsumen.

Selamat berbelanja dengan cermat dan teliti di Harbolnas.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun