Bang Mus menggertakkan giginya.
"Kalau harus ada yang dipilih... siapa yang akan rela?"
Tidak ada yang menjawab. Semua saling pandang dengan ketakutan.
Tiba-tiba, Kyai Hasan melangkah maju ke tengah lingkaran. Dengan suara tegas meski tubuhnya rapuh, ia berkata:
"Biarkan aku. Aku yang akan menebus dosa kampung ini. Aku sudah tua, biar hidupku jadi bayaran."
Warga menjerit menahan tangis.
"Jangan, Kyai!"
"Kami masih butuh panjenengan!"
Namun ular itu mendesis panjang, seolah menerima tawaran tersebut. Matanya menyala lebih terang, tubuhnya menggeliat mendekati Kyai Hasan.
Kyai Hasan memejamkan mata, mulutnya berkomat-kamit membaca doa terakhir.
"Semoga dengan ini kampung kita selamat..."
Ketika ular itu membuka mulutnya lebar-lebar, udara seolah menghisap seluruh suara. Obor yang tersisa padam serentak. Gelap total menyelimuti.
Dan di dalam kegelapan itu, terdengar satu jeritan panjang... lalu hening.
Saat obor dinyalakan kembali, Kyai Hasan sudah tak ada. Hanya tersisa tongkatnya yang patah dua di tanah, basah oleh bercak darah.
Ular raksasa itu perlahan mundur, lalu lenyap ke balik pohon keramat bersama desis yang menjauh.
Warga terdiam, sebagian menangis, sebagian masih terguncang. Namun satu hal pasti: penebusan telah diambil.