"Tapi..." suara Kyai Hasan bergetar, "...beberapa tahun terakhir, kita melupakan janji itu. Kita menebangi pohon di sekitar kebun, menjual ular-ular sanca ke bandar untuk uang cepat. Dan itulah yang membangunkan mereka kembali."
Mbak Rasti menutup mulutnya, hampir menangis.
"Jadi... ular-ular itu bukan ular biasa, tapi penjaga perjanjian?"
Kyai Hasan mengangguk pelan.
"Betul. Mereka bukan hewan. Mereka adalah jelmaan roh penunggu yang disatukan dengan tubuh ular. Karena itu disebut ular jadi jadian."
Tiba-tiba, ular raksasa dengan wajah manusia bermahkota itu kembali bersuara, kali ini lebih jelas dan menusuk:
"Kalian mengkhianati janji. Leluhur kalian tahu akibatnya. Kini giliran kalian membayar."
Setelah suara itu bergema, desis puluhan ular terdengar semakin dekat. Bayangan hitam melata di antara pohon-pohon, seolah mengepung warga dari segala arah.
Beberapa orang menjerit, ada yang memeluk anaknya erat-erat, ada pula yang hanya bisa bersujud di tanah, pasrah pada nasib.
Kyai Hasan menatap pohon randu keramat dengan mata berkaca-kaca.
"Kita harus menebus perjanjian itu... kalau tidak, kampung ini akan lenyap."
Namun tak seorang pun tahu, tebusan macam apa yang diminta oleh para penjaga gaib itu.
Pesan moral dari cerita ini adalah bagaimana warga memperlakukan alam, menyayangi hewan sekalipun hanya seekor ular. Dengan cara bercerita seperti ini diharapkan lingkungan hidup bisa dapat selalu diperbarui.
(Bersambung)