Kisah selanjutnya yang membuatku menikmati hari ini adalah bertemu dan berbincang-bincang dengan penjual angkringan dan pengemis. Aku merasakan betapa bedanya alam pikiran dan dunia hidup yang dimiliki mereka berdua.
Pertama, penjual angkringan. Aku bertemu dengannya karena memang aku sengaja makan diwarungnya. Letaknya di sekitar Stadion Kridosono, Yogya. Aku makan diangkringan itu sekitar pukul 8-an malam. Aku mampir keangkirang ini karena memang aku belum makan. Selain itu aku juga sekalian lewat setelah aku berkunjung, menikmati dan melihat-lihat buku-buku di toko buku Gramedia, Sudirman Yogya. Karena jaraknya yang tak cukup jauh, aku pun mampir ke angkringan ini.
Aku makan 2 nasi kucing, 2 gorengan dan 2 keripik emping. Harga semuanya 4 ribu rupiah. Disela-sela aku makan, aku coba menghilangkan suasan sepi (kebetulan waktu itu hanya ada 4 orang. aku, penjual angkringan dan 2 sejoli pembeli yang duduk di alas terpal yang disediakan tak jauh dari bangku tempat dudukku). Aku coba tanya-tanya, basa-basi, ngalor-ngidul seputar angkirang dan kisah jualan dan penjual angkringan.
Setelah aku berbincang-bincang dengannya ada beberapa hal yang aku dapatkan. Pertama, ternyata dia baru pindah dan berjualan disini (sekitar Kridosono) setelah sebelumnya dia berjualan di depan MIPA UGM. Aku tanya perihal apa yang menyebabkannya pindah. Dia menjawab, “saya pindah mas karena disana lahannya dipakai tempat menanam pohon-pohon, jadi mau gak mau saya pindah mas. Walaupun saya sudah berdagang disana mulai tahun 1989”. Waw, waktu yang lama. Bahkan aku pun belum lahir.
Kedua, aku tanya juga mengenai pendapatannya. “Pendapatanya per hari ya gak tentu mas, kadang dapat 400 (ribu), kadang juga nyampe 500 (ribu)”. Banyak juga ya, “tapi itu masih kotor mas, belum dibagi sama yang lain”…
Ketiga, aku juga tahu ternyata penghasilannya lumayan lebih baik daripada jika ketika ia masih berdagang di depan MIPA UGM. “Emangnya kenapa pak” tanyaku antusias. “kalau di sana (depan MIPA UGM) selain karena ada pesaing yang letaknya tak jauh darinya, disana juga banyak yang hutang mas. Kebanyakan yang ngamen atau pengemis. Jadi, bukanya yang nambah uangnya, tapi bonnya (catatan hutang) yang nambah”, kenangnya. Dia juga mengatakan, jika disini (sekitar Kridosono) penghasilannya bisa sampai 400 (ribu), sedangkan di depan MIPA UGM dulu boro-boro nyampe, malah sering kurang.
Keempat, aku juga mendapatkan informasi bahwa gerobak angkringannya ternyata bukan miliknya tapi milik juragannya. Jadi bapak penjual angkringan ini, sistem kontrak gerobak. Setiap bulan atau bisa juga setiap tahun dia membayar uang kontrakan gerobak angkringanya, kepada juragan yang tak lain pemilik asli gerobaknya. (bersambung)
Yogyakarta, Kamis, 21 April 2011, Pukul 22:25 WIB
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI