Bab 29 - Semakin Dekat Dua Keluarga Duduk Dengan Khidmat.
"Jadi jadi gak tuh berangkatnya? Takutnya keburu sore," tanya ayah Indri santai.
Di momen itu, dengan nada yang penuh pertimbangan, aku angkat bicara, "Pak, Bu... Saya dan Indri sudah sepakat untuk saling berkomitmen. Kalau diizinkan, kami ingin melangkah lebih serius."
Mereka saling pandang, lalu ayahnya memanggil istrinya ke dapur untuk berdiskusi sebentar. Tak lama kemudian, mereka kembali ke ruang tamu sambil tersenyum.
"Kami ini udah tua," kata ayah Indri. "Kakaknya Indri aja udah punya anak. Sekarang tinggal Indri yang kami harapkan buat ngasih cucu. Hahaha."
Ibu Indri menimpali, "Kami gak mau lama-lama. Kalau kalian memang serius, bagaimana kalau sebelum Lebaran?"
Aku sempat terdiam. Lebaran tinggal tiga bulan lagi. "Pak... Bu... Kalau boleh, saya minta waktu satu tahun. Saya mau diskusi dulu dengan orang tua saya. Atau... bulan ini tunangan dulu," jawabku hati-hati.
Tapi ayah Indri terlihat keberatan. "Setahun tuh kelamaan. Mau ngapain aja selama itu?"
"Saya ingin mempersiapkan biaya, Pak. Untuk pesta dan pernikahan," jawabku sejujur mungkin.
Namun mereka hanya tertawa kecil. "Kami gak minta muluk-muluk, Mas. Nikah sah aja, udah seneng, yang terpenting sah secara Agama dan Negara."
Aku menjelaskan soal aturan satgas COVID yang masih melarang keramaian. Jadi kalaupun dinikahkan bulan ini, mungkin belum bisa ada pesta.
"Yaudah," kata ayahnya tegas, "nikah dulu aja. Nanti kalau udah kondusif, baru pesta. Indri juga kan bisa bantu urusan biaya."
Perasaanku tiba-tiba lega. Aku mengangguk mantap. "Kalau begitu, saya akan segera bicara dengan keluarga saya, Pak, Bu."
Setelah obrolan itu selesai, aku pamit untuk mengantar Indri ke tempat kopi itu. Di perjalanan, justru kami lebih banyak membicarakan masa depan.
Tentang seperti apa pernikahan nanti. Tentang masa lalu yang perlu kami tahu masing-masing. Tentang karakter kami, kesukaan dan ketidaksukaan, serta harapan hidup yang sederhana tapi membahagiakan.
Entah kenapa, perjalanan pulang malam itu terasa seperti titik balik. Mungkin... inilah bab baru yang selama ini aku tunggu.
Malam itu, setelah mengantar Indri pulang dari tempat kopi di Ciawi, aku langsung pamit kepada ayahnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan suasana rumah mulai senyap. Ibunya sudah tidur.
"Pak, saya pamit ya."
"Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Besok kalau ada waktu luang, mampir lagi aja ya ke sini," ujar ayahnya dengan ramah.
"Siap, Pak," balasku sambil tersenyum.
Di depan pintu, aku menoleh ke Indri yang berdiri di dekat ayahnya. "Indri, aku pamit ya... jangan rindu," ucapku setengah menggoda.
Indri tersipu malu. Wajahnya memerah. Sosok yang dulu kukenal sangat cuek, kini berubah menjadi perempuan yang begitu menghargai kehadiranku.
Sesampainya di rumah, ibu sudah tertidur. Namun, kegelisahan di dadaku tak bisa kutahan. Aku ingin segera menyampaikan hasil pembicaraanku dengan ayah Indri.
"Bu..." panggilku pelan dari luar kamar.
"Sudah tidur," sahut bapak, keluar kamar dengan kaus tipis.
"Pak, bangunin ibu sebentar ya. Ada yang penting banget."
Bapak masuk ke kamar, dan beberapa saat kemudian ibu muncul dengan wajah setengah kaget. "Ada apa, Nak?" tanyanya heran.
Aku menarik napas panjang. "Bu, terima kasih ya... atas doa-doanya. Soal Indri tadi... aku sudah ngobrol dengan ayahnya. Dan... mereka ingin sebelum Lebaran aku menikahi Indri."
Mata ibu membelalak. "Hah? Pacaran sudah lama?"
"Belum, Bu. Tapi kami sudah saling kenal sejak lama. Keluarga Indri nggak mau lama-lama. Nggak perlu resepsi dulu, yang penting sah secara agama dan negara. Resepsi bisa nanti kalau pandemi sudah reda."
Ibu menatap ayah. Lalu tersenyum. "Alhamdulillah... yaudah besok Ibu mau ngobrol sama nenek, kakak, dan keluarga besar."
Sore itu, rumah mendadak ramai. Kakakku datang bersama suami dan anak-anaknya. Ada juga bibi, uwa, bahkan nenek dan kakek. Semuanya ingin tahu siapa calon istriku. Rasa penasaran membuncah.
"Mana fotonya?" tanya adikku.
Aku membuka galeri dan menunjukkan selfie kami saat di tempat kopi.
Nenek paling antusias. "Besok ajak ke sini, ya. Nenek pengen kenal."
"Iya, Nek. Kalau dia nggak sibuk, aku ajak," jawabku.
"Harus dikenalin dong sama keluarga. Biar kita semua kenal," timpal kakakku.
Malam harinya, aku mengabari Indri.
"Bei...," panggilku menggunakan nama sayangku padanya.
"Iya, yang?" jawabnya cepat.
"Nenek pengen kenal kamu. Bisa ke rumah besok siang? Aku jemput."
"Aku malu, yang... belum pernah ke rumah cowok."
"Ini beda. Ini rumah calon suamimu, dan keluarga kamu juga nantinya. Mau nggak mau, siap nggak siap, harus siap."
Diam sejenak. Lalu ia membalas, "Oke deh yang, aku mau. Siang ya?"
Keesokan harinya, aku menjemput Indri. Sesampainya di rumahnya, aku menjelaskan pada ayah dan ibunya.
"Pak, Bu... kemarin obrolan tentang pernikahan sudah saya sampaikan ke orang tua saya. Alhamdulillah, mereka menyambut baik. Dan... hari ini keluarga saya ingin mengenal Indri. Apakah Bapak dan Ibu mengizinkan?"
Mereka saling pandang, lalu ibunya berkata, "Silakan. Tapi jangan pakai pakaian begitu. Ganti yang lebih sopan."
Indri masuk kamar dan keluar dengan busana yang lebih rapi. Kami pun berangkat. Saat sampai di rumah, suasana terasa berbeda. Keluarga besar sudah berkumpul menunggu di teras.
Indri enggan membuka helm.
"Rame banget... maluuu," bisiknya sambil menarik pinggangku.
"Nggak apa-apa, ayo pelan-pelan."
Ia turun dari motor. Semua mata menatap. Nenek berdiri paling depan. Dengan senyum penuh kehangatan, Indri berjalan menghampiri satu per satu---menyalami, mengenalkan diri, dan meraih simpati keluarga dalam waktu singkat.
Hari itu menjadi titik balik. Bukan hanya bagiku yang pernah patah, tapi juga bagi keluarga kami yang akhirnya menyambut seorang perempuan baik hati---yang datang saat tak kuduga.
Suasana hangat menyelimuti ruang tengah rumah kami. Satu per satu anggota keluarga datang menghampiri, berebut ingin berkenalan dengan Indri, yang hari itu tampak anggun dalam kesederhanaannya. Beberapa sepupu bahkan langsung akrab, tanpa basa-basi, seolah Indri sudah menjadi bagian dari keluarga sejak lama. Kamera ponsel bergantian mengabadikan momen, semua ingin menyimpan potongan kenangan yang langka ini---perkenalan keluarga dengan calon istriku.
Di tengah keriuhan dan kehangatan itu, satu sosok terlihat berbeda. Ayah. Duduk diam di sudut ruangan, wajahnya tak menunjukkan banyak ekspresi. Bukan karena tidak senang, aku tahu itu. Mungkin ayah sedang memikirkan banyak hal: seserahan, biaya nikah, atau hanya terlalu larut dalam rasa haru yang tak bisa dia ungkapkan. Ayah memang begitu, tak banyak bicara, tapi perasaannya dalam.
Sore mulai merambat perlahan. Setelah salat Ashar, aku bersiap mengantarkan Indri pulang. Cuaca di Bogor memang tak bisa ditebak; jika terlalu sore, hujan bisa turun tiba-tiba dan membuat perjalanan tak nyaman. Sebelum beranjak, nenek memeluk Indri dengan erat, seperti melepas cucu perempuannya sendiri. Ibu pun tak kalah hangat, memeluk Indri dengan tatapan bangga dan haru.
Pandemi yang masih menyisakan ketakutan seakan tidak lagi menjadi soal hari itu. Rasa rindu dan harapan akan masa depan lebih kuat dari rasa takut. Semua ingin menyambut Indri seutuhnya, dan hari itu menjadi awal dari semua kehangatan itu.
Saat hendak keluar rumah, ibu membisikkan sesuatu padaku, dengan nada serius namun lembut.
"Jangan lama-lama ya, keluarga mau ngobrol. Nanti ini enggak bubar-bubar, soalnya mau ada obrolan penting."
Aku mengangguk sambil mencium tangannya. "Iya bu, sebentar aja," jawabku.
Di rumah Indri, aku hanya sebentar. Menemui kedua orang tuanya, menyampaikan bahwa keluarga di rumah masih menunggu. Aku jelaskan bahwa ada uwa yang datang jauh-jauh hanya untuk bertemu Indri. Mereka mengerti, termasuk Indri. Aku pamit dan segera kembali.
Sesampainya di rumah, benar saja, keluarga besar masih berkumpul. Obrolan sudah berlangsung saat aku tiba. Aku duduk di tengah-tengah mereka, dan tanpa basa-basi, pertanyaan serius langsung dilontarkan.
"Kalau kamu memang serius sama Indri," tanya kakak ayahku, "kamu udah punya simpanan buat biaya nikah, seserahan, resepsi?"
Pertanyaan itu sebenarnya ingin ditanyakan ayah, tapi mungkin ayah belum menemukan cara atau waktu yang pas. Kakaknya yang akhirnya mewakili.
Aku menarik napas, lalu menjawab dengan tenang.
"InsyaAllah wa, untuk nikah dan resepsi cukup. Tapi saya belum tahu berapa nominal seserahan yang diminta, soalnya sejak saya ngobrol serius dengan keluarga Indri, mereka enggak pernah nyebut angka."
Ibuku yang sejak tadi diam, akhirnya angkat suara.
"Ya mungkin tradisinya beda ya, coba kamu tanya Indri baik-baik. Kita di sini sudah ngumpulin buat bantu kamu, bantu bapak sama ibu juga. Ini ada catatannya, sebagian buat kue, ada juga saudara yang siapin sayur-sayuran buat nanti dibawa pas seserahan."
Aku melihat daftar catatan itu---tulisan tangan sederhana di atas kertas, tapi penuh makna. Saudara-saudara yang bahkan jarang bertemu, ikut menyumbang. Ada yang menyumbang sembako, ada yang menitipkan uang, semua dengan niat membantu.
Itulah keluarga kami. Tradisi gotong royong seperti ini masih hidup dan nyata. Di tengah zaman yang serba individualis, keluarga kami masih percaya bahwa pernikahan adalah urusan bersama. Hari itu aku benar-benar merasakan bagaimana hangatnya rumah, bukan hanya secara fisik, tapi secara batin.
Aku yang dulu dianggap "setengah bujang tua", kini sedang dalam perjalanan menuju lembaran baru hidupku. Mereka semua ingin aku segera menikah, bukan hanya agar ada pesta, tapi agar ada penerus, agar ada harapan baru di tengah keluarga besar kami.
Dan aku tahu, langkahku ke depan tak lagi sendiri.
Seminggu setelah kunjungan keluarga besarku ke rumah, aku kembali ke kediaman Indri. Sore itu cuaca Bogor sejuk seperti biasa, dan aku datang dengan satu maksud yang selama ini belum sempat kutanyakan secara langsung: besaran uang seserahan.
Obrolan dimulai santai, ditemani secangkir kopi kreteg dan camilan hangat. Aku menyampaikan pertanyaan itu langsung pada ayah Indri.
“Pak, kalau boleh tahu… soal uang seserahan, kira-kira bagaimana baiknya menurut bapak?”
Ayah Indri tidak tampak kaget, malah menjawab sambil tersenyum.
“Wah, karena belum ada pesta juga, ya enggak usah besar-besar. Yang penting cukup untuk Indri. Bukan besar kecilnya, tapi niatnya yang serius.”
Aku mengangguk pelan, lalu berpaling ke Indri.
“Kamu mau apa, Bei?” tanyaku pelan.
Indri tersenyum dan menjawab dengan polos tapi mantap.
“Aku cuma minta cincin yang sama… mukena putih, dan koko warna senada, biar kita matching pas hari H nanti.”
Permintaan yang sederhana, tapi justru bikin hatiku menghangat. Dari percakapan itu, aku tahu: bukan besaran seserahan yang penting bagi mereka, tapi kejelasan dan niat baik untuk hidup bersama.
Kami melanjutkan obrolan panjang malam itu. Seperti biasa, dengan ayah Indri aku malah jauh lebih intens ngobrol. Mungkin karena aku terbiasa menggali cerita sebagai jurnalis, sementara ayah Indri adalah pencerita alami yang senang bernostalgia tentang masa mudanya—zaman kuliah, motor tua, hingga cerita kenakalan khas anak muda Bogor di era 80-an.
Larut malam aku pamit. Keesokan harinya, aku langsung menyampaikan pada ibu bahwa ayah Indri bertanya soal rencana kedatangan keluarga besar ke rumah mereka.
“Kata ayahnya, nanti kalau keluarga mau datang, biar bisa disiapkan. Dia juga mau panggil keluarga besar dan ustaz setempat,” jelasku.
Ibu hanya mengangguk, lalu berkata:
“Nanti malam abis Isya kita ke rumah Pak Ustaz, katanya mau dicariin hari baik buat seserahan dan akadnya.”
Aku sempat bingung.
“Lho, bukan cuma tanggal seserahan ya bu?”
“Bukan, itu juga buat nikah. Kata Pak Ustaz enggak bisa sembarangan, harus disesuaikan dengan weton kelahiran kalian, biar barokah.”
Malam itu kami mendatangi rumah Pak Ustaz, yang sudah menjadi guru ngajiku sejak aku SD. Seperti biasa, beliau menyambut hangat dan bercanda terus selama proses “konsultasi” berlangsung. Dengan caranya yang khas, Pak Ustaz menyelipkan nasihat lewat tawa dan candaan.
“Tulis nama lengkap dan tanggal lahir kalian berdua dulu ya,” pintanya.
Setelah itu, beliau menghitung menggunakan cara keilmuannya. Beberapa menit kemudian, beliau berkata:
“Tanggal 15 ini bagus. Hari Rabu, tapi kalau menurut penanggalan Jawa, Rabu malam itu sudah masuk hari Kamis. Kamisnya itu pertengahan bulan—baik untuk keberkahan rumah tangga, terutama keturunan. Jadi kalu bulan depan menikah pun bagus masuknya bulan Rajab.”
Aku kaget.
“Tiga hari lagi, Pak?”
“Iya, kalau bisa segera. Mumpung masih jauh dari bulan Ramadhan, dan waktunya bagus.”
Sepulang dari rumah Pak Ustaz, aku langsung menghubungi Indri. Di luar dugaan, ia langsung bicara pada orang tuanya, dan mereka sepakat. Tak ada penolakan, tak ada penundaan.
“Yang, kata ayah boleh. Rabu malam keluarga kamu datang ya, aku siapin semuanya.”
Keesokan harinya kami pergi berdua belanja perlengkapan seserahan. Indri memilih sendiri barang-barang yang ia butuhkan—mukena, baju koko, parfum, hingga pernak-pernik kecil yang ia sukai. Kami juga mampir ke toko emas untuk membeli cincin yang akan ia pakai saat akad. Setelah itu kami merapikan semua seserahan bersama di rumahku, menatanya dalam kotak-kotak cantik agar enak dipandang dan siap difoto.
Saat hendak pulang, Indri berkata:
“Dua minggu ke depan setelah seserahan aku enggak boleh ketemu kamu dulu, katanya dipingit.”
Kami berdua tertawa. Tradisi tetap tradisi, meski zaman sudah berganti.
Hari yang ditentukan pun tiba.
Sore itu selepas Magrib, keluarga besarku berangkat. Ibu dan keluarga, ditemani oleh uwa, mamang, dan saudara laki-laki lainnya. Pak Ustaz ikut serta sebagai pemimpin rombongan dan juru bicara.
Sesampainya di rumah Indri, suasananya sudah ramai. Keluarga Indri menyambut hangat. Tetangga berdatangan, sebagian hanya ingin menyaksikan momen bahagia ini. Bagi mereka, ini lebih dari sekadar acara seserahan—ini momen pertemuan dua keluarga besar.
Pak Ustaz memimpin dengan tenang dan hangat. Kalimat-kalimat beliau selalu diselingi senyum dan doa. Ayah Indri menerima seserahan dengan penuh hormat, dan langsung menyampaikan:
“Kami sepakat, insya Allah menikah di hari yang disarankan. Semoga ini jadi awal yang baik.”
Azan Isya berkumandang. Semua berhenti sejenak untuk salat berjamaah di Masjid yang dekat dengan rumah Indri. Setelah itu, kami makan bersama, duduk lesehan dengan hidangan khas Bogor. Obrolan mengalir santai, tidak lagi soal pernikahan, tapi tentang harapan dan masa depan.
Malam itu aku tidak merasa sedang menyerahkan Indri kepada keluarga. Justru aku merasa sedang menerima satu dunia baru, satu keluarga yang kini menjadi bagian dari hidupku.
Dan aku tahu, semuanya baru akan dimulai.
Bab 30 - Hari ini, Takdirku dan Kisah Cintaku Baru Dimulai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI