Bab 30 - Hari ini, Takdirku dan Kisah Cintaku Baru Dimulai.
Dua hari menjelang hari pernikahan.
Semua persiapan nyaris rampung.
Surat-surat administrasi telah selesai diurus, mas kawin dan seserahan tersusun rapi dalam kotak-kotak berbalut kain beludru. Di ruang tamu, suara keluarga besar bercampur tawa, canda, dan obrolan khas silaturahmi lebaran. Paman-paman dari luar kota mulai berdatangan, sepupu-sepupu ikut membantu, bahkan beberapa tetangga turut meramaikan rumah yang kini terasa lebih hidup dari biasanya.
Namun di tengah keramaian itu, ponselku bergetar beberapa kali.
Pesan demi pesan masuk. Ucapan selamat, doa, dan ungkapan bahagia dari teman-teman lama. Grup alumni SMA pun ikut meramaikan---ada yang mengirim meme lucu, ada yang bertanya siapa saja yang diundang, bahkan ada yang berharap bisa datang.
Tapi satu nama muncul di notifikasi pribadi yang membuat jantungku terasa berat: Diana.
Bukan ucapan selamat.
Hanya satu pertanyaan sederhana yang muncul di layar:
"Apa kabar? Selamat ya."
Sesaat aku terpaku menatap pesan itu. Jari-jariku kaku.
Aku ingin mengabaikannya. Tapi sekuat apa pun aku berusaha tidak terguncang, ingatan itu seperti kabut yang datang diam-diam---menyelimuti kepala, menekan dada.
Aku tak menjawab.
Hanya membacanya, lalu meletakkan ponsel kembali ke meja.
Ini bukan saatnya lagi.
Siang itu aku masuk ke kamar, mengambil sebuah kardus kosong, dan mulai membereskan sesuatu yang sejak lama tak pernah benar-benar kusentuh. Di sudut lemari tua, ada tumpukan barang-barang masa lalu: foto, surat, kenang-kenangan, hingga  seragam putih  dengan corat-coret penuh tawa masa remaja. Tertulis jelas namaku dan Diana, bahkan gambar hati merah itu seakan aku merasakan suara yang sudah samar dalam ingatan.
Semua tentang Diana.
Dan aku tahu... ini harus berakhir di sini.
Saat Ibu masuk dan bertanya aku sedang apa, aku menjawab santai,
"Beresin kamar aja, Bu. Takut nanti nggak sempat kalau Indri sudah di sini."
Ibu mengangguk sambil tersenyum. Ia ikut membantu, tak banyak bertanya.
Mungkin ia tahu... mungkin juga tidak. Tapi yang jelas, ia membiarkanku menyusun rapi masa lalu ke dalam sebuah dus.