Ibu menghela nafas panjang.
"Dulu, ketika kau hendak pergi ke Jepang, kau sendiri yang bersikeras untuk mengakhiri 'hubungan' dengan Tirta. Saat Ibu bilang apakah itu tidak akan menganggumu, kau malah bilang itu demi ketenangan dan keleluasaan kalian. Karena kau tak ingin membelenggu Tirta dan juga dirimu dengan `kepastian` hubungan. Belum tentu lima, sepuluh tahun kau bakal kembali, begitu ujarmu. Dan kau tak ingin selama itu, Tirta dan juga dirimu terbebani pikiran saling menunggu.
"Ketika kau juga tak pernah menyinggung dan mengeluh tentang Tirta pada tahun-tahun kemudian, Ibupun berpikir mungkin keputusanmu itu memang benar. Ibu pun merasa lega.
"Namun, sekarang, ketika ternyata kau masih memendam perasaan itu, ...
"Ibu tidak mengerti, Asih. Terus terang Ibu tidak mengerti kenapa kamu tega membebani diri dengan persoalan, dengan pikiran yang sebenarnya bisa kamu bagi dengan orang lain, dengan Ibu?!"
"Bu, pada mulanya Asih memang berpikir semuanya akan baik-baik saja. Dengan jarak yang tidak lagi dekat, Asih pikir itu suatu kesempatan untuk saling menata diri. Mengevaluasi diri. Mengevaluasi ..."
"Tapi akhirnya, kau tak mampu melupakannya?"
Lama aku terdiam. Ibu benar. Aku memang tak pernah bisa melupakan Tirta. Semakin aku menghindar, semakin bayang Tirta lekat menguntitiku.
"Bu, besok Asih mau ke Brebes. Menemui Eno. Sudah lama sejak kepergian Asih ke Jepang, Asih tak lagi bertemu dengan Eno."
"Menemui Tirta?"
"Entahlah. Tapi yang jelas, Asih tidak ingin terus larut dalam kubang ketidakpastian."