Mohon tunggu...
Usman Didi Khamdani
Usman Didi Khamdani Mohon Tunggu... Programmer - Menulislah dengan benar. Namun jika tulisan kita adalah hoaks belaka, lebih baik jangan menulis

Kompasianer Brebes | KBC-43

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cara Seniman Mendobrak Kezaliman: Dari Srimulat, Wiji Thukul, Benny & Mice, Ki Enthus hingga Pandji

15 Juni 2020   18:01 Diperbarui: 15 Juni 2020   18:00 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: instagram @micecartoon.co.id

When power leads men towards arrogance, poetry reminds him of his limitations. When power narrows the areas of man's concern, poetry reminds him of the richness and diversity of existence. When power corrupts, poetry cleanses. 

Kesenian pada akhirnya tidak berhenti hanya sekedar hiburan semata. Ia pun berpotensi menjadikan dirinya sebagai elan yang menyulut emosi audiennya. Dan, seniman, sebagai satu-satunya yang berwenang akan kesenian yang tersajikan, menjadi satu-satunya penentu, apakah kesenian yang tersaji akan mengambil peranan itu atau hanya selesai sebagai sebuah hiburan.

Di jagad kesenian kita, peran kritik sosial dan politik tidak jarang diambil kesenian. Dari kesenian panggung atau teater hingga sastra. Banyak seniman panggung kita yang selain tampil di atas panggung untuk menghibur para audiennya, juga kerapkali mereka menyisipkan kritik-kritik di dalam pementasannya. Sebut saja misalnya kelompok Srimulat, dan Warkop DKI (yang kemudian lebih populer tampil dalam film layar lebar).

Demikian halnya dalam kesusastraan. Banyak sastrawan kita yang menulis karyanya dengan tujuan untuk melakukan kritik. Kita mengenal Pramoedya Ananta Toer dengan tetralogi Bumi Manusia. Atau Ahmad Tohari dengan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Juga Widji Thukul dan Rendra, yang begitu piawai menulis puisi-puisi dan sekaligus membacakannya kepada publik. Puisi-puisi yang sarat dengan kritik sosial dan kritik politik.

Di jalur kesenian yang lain, kita mengenal musisi Iwan Fals dan Doel Sumbang yang juga kerap membawakan kiritik dalam lagu-lagunya.

Bagi yang suka menonton wayang, terutama wayang kulit, nama Ki Enthus Susmono tentu juga tidak dapat dilupakan. Mengusung tokoh Lupit dalam pementasan wayangnya, Ki Enthus senantiasa menyisipkan kritik-kritik sosial dan politik, selain pesan-pesan moral.

Lewat komik dan karikatur kita juga akrab dengan nama-nama seperti Benny & Mice serta GM Sudarta. 

Terakhir, lewat stand up comedy, kita mengenal komika-komika yang juga kerap membawakan kritik yang cukup pedas, misalnya Pandji Pragiwaksono, Sammy Notaslimboy juga Kiki Saputri. 

Represi dan Nyali

Tentu, berkesenian dengan juga mengusung tendensi untuk melakukan kritik, baik kritik sosial maupun terutama kritik politik, tidaklah senyaman dengan berkesenian untuk menyajikan hiburan semata. Butuh nyali yang tinggi bagi seniman untuk melakukannya. Terlebih, di bawah kungkungan tiran dengan segala represi dan intimidasinya. 

Pram dan Thukul adalah dua sosok seniman yang bisa kita jadikan contoh betapa menyuarakan kritik lewat seni membutuhkan nyali dan juga pengorbanan yang sangat tinggi. 

Pram bahkan hampir menghabiskan seluruh masa produktif hidupnya di penjara karena pandangan politiknya berseberangan dengan penguasa. Sementara Thukul bahkan hingga hari ini tidak juga ketahuan nasib dan rimbanya, setelah pada 1998 dikabarkan hilang, diculik penguasa.

Apa yang terjadi pada nasib Pram dan Thukul, sedikit banyak tentu membuat ketar-ketir seniman-seniman lainnya. Bukan tidak mempunyai nyali, namun, represi dan intimidasi yang dilakukan, seringkali tidak hanya menyasar pada dirinya sendiri, namun juga keluarga dan orang-orang di lingkarannya. Ketika Thukul masih menjadi buron penguasa, tidak jarang Sipon, istrinya, juga mengalami intimidasi dan represi.

Hingga banyak seniman pun mencoba menyisipkan kritikan-kritikannya melalui simbol-simbol dalam karya-karyanya. Meski, banyak pula yang memilih jalan aman, tiarap, berkesenian hanya sekedar memberikan hiburan. Toh, tentu saja, ini menjadi beban moral tersendiri bagi mereka, menjadi mimpi buruk yang terus menghantui. 

Humor: Sebuah Alternatif

Beruntung bagi mereka yang mempunyai bakat humor dalam menuangkan karyanya. Dalam berkesenian, mereka masih bisa dengan leluasa menyisipkan kritik-kritik yang disajikan sebagai humor.

Humor sebenarnya dapat menyelisip dalam kesenian apa saja. Baik pada teks (sastra), gambar (komik, poster, karikatur, mural) ataupun pertunjukan. Namun demikian, seni pertunjukan agaknya menjadi ruang yang lebih banyak memberikan kebebasan.  

Dalam seni pertunjukan, biasanya kritik yang disampaikan melalui humor dapat lebih mengena. Audien, bahkan pihak yang dikritik itu sendiri, dapat menikmatinya, meski sadar dirinya sedang berada pada pihak yang diserang. Bahkan yang diserang seperti tidak punya keberdayaan untuk menangkis serangan.

Demikianlah. Namun bagaimanapun, kritik dalam karya seni, bagi seniman adalah sesuatu yang tidak asing lagi. Bahkan dapat menjadi suatu kewajiban bagi seniman untuk menyisipkan kritik dalam setiap karya seninya.

Hal ini senada dengan apa yang pernah disampaikan oleh seorang presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy dalam sebuah pidatonya bahwa (salah satu) fungsi puisi (atau kesenian secara umum) adalah untuk mengingatkan keterbatasan dan tanggung jawab manusia terhadap kekuasaan yang diembannya. Kennedy yang sayangnya juga berakhir tragis dalam hidupnya.

Salam.

Simak juga artikel-artikel KBC-43 menarik lainnya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun