Mohon tunggu...
Usman Didi Khamdani
Usman Didi Khamdani Mohon Tunggu... Programmer - Menulislah dengan benar. Namun jika tulisan kita adalah hoaks belaka, lebih baik jangan menulis

Kompasianer Brebes | KBC-43

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Benarkah Kita Boleh Menulis Puisi Semau Kita Sendiri?

14 Mei 2020   02:57 Diperbarui: 14 Mei 2020   21:43 2310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
@SapardiDD | twitter.com

Sejak hari Minggu tanggal 10 Mei kemarin, dunia sastra Indonesia kembali mengalami kegemparan. 

Hal ini dipicu dari pernyataan penyair senior Sapardi Djoko Damono (SDD) melalui akun twitternya, @SapardiDD, seperti yang dapat dilihat di atas, menanggapi pertanyaan dari Seno, pemilik akun @fs_goro tentang apakah menulis puisi itu harus mengikuti kaidah atau tidak. Dalam twitternya SDD menjawab bahwa sastra itu tanpa kaidah. 

Spontan, pernyataan penyair yang terkenal dengan sajak Hujan di Bulan Juni tersebut, menjadi perbincangan dan polemik di kalangan sastrawan dan pemerhati sastra. 

Ada yang mengiyakan, dan banyak juga yang mempertanyakannya. Bahkan, mempertanyakan keprofesoran Guru Besar Sastra Universitas Indonesia tersebut.

Namun, agaknya memang tidak begitu saja SDD mengeluarkan pernyataan tersebut. Dari rekam jejak kreatifitasnya yang dapat ditemukan di Youtube, SDD jauh hari telah mengisyaratkan hal tersebut saat diwawancarai Najwa Shihab berkenaan dengan proses kreatif penulisan puisi-puisinya terutama puisi Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana, seperti dapat kita lihat pada video di bawah ini.

Dalam video di atas, dapat kita lihat SDD beberapa kali menyatakan bahwa puisinya ditulis secara spontan, sekali jadi. Atau, dibuat setulis-tulisnya.

Tidak butuh waktu lama bagi SDD untuk membuat puisinya tersebut. Bahkan tidak sampai butuh waktu sehari atau satu jam. Hanya hitungan menit. Spontan. Yang dapat menimbulkan tanda tanya bagi kita apakah ia memang tidak memikirkan macam-macam kaidah saat membuat puisi (tersebut). Atau, jangan-jangan dia memang telah mengabaikan semua kaidah yang ada.

Demi Memberi Semangat Kaum Muda

Lalu, benarkah puisi atau sastra secara umum, itu tidak berkaidah? Takaran apa yang akan digunakan untuk dapat mensahihkan sebuah karya menjadi sebuah karya sastra atau puisi, untuk membedakannya dari karya-karya non sastra atau non puisi? 

Bukankah takaran itu pun sebuah kaidah? Kaidah tanpa kaidah bukankah merupakan sebuah kaidah juga? Seperti memilih untuk tidak memilih yang pada akhirnya itu pun adalah sebuah pilihan.

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang berkelindan di sosial media, sebagai tanggapan terhadap pernyataan SDD.

Beberapa mengkritik pernyataan SDD tersebut sebagai sebuah bentuk kerancuan, bahkan pengingkaran terhadap puisi-puisinya sendiri.

"Akibat membangun tembok tanpa tahu kaidah. Temboknya selesai dibangun dan memang menjadi tembok (berfungsi sebagai pembatas), tetapi hasilnya jelek sekali," tulis Holly Adib, seorang jurnalis sekaligus pengamat bahasa melalui akun twitternya, @HolyAdib, ikut membalas postingan SDD.

Sementara di tempat lain, melalui akun Facebook-nya, penyair kuburan Binhad Nurrohmat juga menimpali postingan SDD. "Sapardi Djoko Damono dikenal lewat puisi yang liris dan imajis misalnya dalam buku puisinya Mata Pisau. 

Kekuatan bunyi kata dan imaji dominan dalam puisinya. Bahkan Sapardi meyakini bahwa puisi adalah bunyi. Kaidah puisi dalam puisi Sapardi sangat formal ternyata. Sapardi tekun dan taat terhadap konvensi kaidah puisi. Puisinya merupakan buktinya."

Setali tiga uang, penyair Joshua Igho Purnomo juga ikut membalas postingan SDD. Melalui akun twitternya, @JoshuaIgho, ia menulis, "Puisi tanpa kaidah adalah kaidah itu sendiri. Karena kaidah berpuisi tidak semata mengacu pada disiplin bentuk seperti arsitektur."

Adapun mereka yang mencoba menerima pernyataan SDD, kebanyakan memakluminya jika maksud sebenarnya dari pernyataan SDD tersebut sekedar untuk memberi semangat kepada generasi muda agar tidak patah arang. 

Toh, seperti disebutkan Binhad Nurrohmat di atas, penyair-penyair lain menganggap bahwa SDD sendiri sebenarnya memegang teguh kaidah dalam menulis puisi.

Jika memang benar bahwa pernyataan SDD lebih mengarah untuk memberikan semangat kepada generasi muda agar tidak gentar ataupun bingung untuk (mulai) menulis puisi, justru apa yang disampaikan SDD sangat berpotensi untuk disalahtafsirkan dan bahkan menyesatkan. 

Terlebih pernyataan SDD disampaikan di ruang terbuka yang memungkinkan siapapun dan terutama yang tanpa bekal pengetahuan sastra sama sekali dapat menyimak dan menginterpretasikannya, dengan semau gue tentunya. Menelannya mentah-mentah.

Sebagaimana yang ditulis oleh seorang pemerhati sastra, Heru Joni Putra dalam sebuah postingan Facebook-nya. "Memberi semangat dan bicara soal kaidah adalah dua hal yang beda. Ketika seorang Guru Besar sastra mengatakan sastra tanpa kaidah (konon kabarnya demi memberi semangat anak milenial agar menulis!) tentu itu adalah pernyataan yang jelas-jelas menyesatkan, sama menyesatkannya ketika mengatakan hanya ada satu kaidah dalam menulis. 

Pernyataan itu patut direspon karena yang bicara adalah sastrawan yang dianggap penting sekaligus Guru Besar sastra yang selama ini bertungkus-lumus dengan kaidah sastra. Hanya agar diterima oleh generasi milenial mengapa ia mau menyepelekan seperti itu. Ini gejala di mana-mana: hanya agar dipuja-puji oleh generasi milenial yang konon kabarnya tidak suka kerumitan, mengapa orang banyak yang beralih profesi menjadi penjual pepesan kosong?"

Kebebasan dalam Berpuisi

Ada yang menarik dari perdebatan para sastrawan terkait pernyataan SDD. Di antara mereka yang mengamini pernyataan SDD, menganggap bahwa apa yang dimaksud SDD dalam pernyataannya adalah sudah sesuai konteksnya. 

Bahwa kita sebagai penulis puisi memang dibebaskan dari kaidah apapun. Justeru dari pengkajian terhadap karya puisi yang dihasilkan akan dapat tercipta atau ditemukan kaidah-kaidah baru.

Mengutip Atik Bintoro, seorang penyair yang juga teknokrat di bidang aerospace, dalam sebuah postingan di laman Facebook-nya, bahwa dalam dunia tulis-menulis, termasuk fiksi semacam sastra, terdapat 2 unsur yang membedakan antara satu tulisan dengan tulisan lain, yaitu substansi dan kaidah. 

Substansi berisi kandungan pokok yang berada di dalam tulisan, semisal tulisan cerita harus mengandung ruang, waktu dan peristiwa sedangkan tulisan puisi mempunyai bahasanya sendiri. Kaidah adalah semacam SOP (Standard Operating Procedure) yang harus dilakukan dalam giat tertentu. 

Namun dalam giat sastra memang tidak perlu SOP alias tidak perlu kaidah. Sebab dari sastra akan lahir kaidah, lahir pikiran-pikiran baru, dan lahir inovasi baru sesuai minat pembaca sastra. 

Jadi sastra memang tidak perlu kaidah. Justru kaidah bisa dilahirkan oleh sastra. Sehingga di antara peran serta sastrawan adalah melahirkan kaidahnya sendiri, bukan mengikuti SOP yang sudah ada.

Jika demikian, lalu bagaimanakah semestinya kita (mulai) menulis puisi? Benarkah kita boleh menulis puisi semau kita sendiri, atau kita tetap harus mengikuti kaidah-kaidah yang (sudah) ada?

Bagi saya pribadi, puisi atau sastra sama seperti bidang seni lainnya seperti seni lukis, musik. Atau bahkan bidang-bidang umum lainnya. 

Belajar cara menulis puisi, sama seperti bagaimana kita belajar cara menulis huruf dan angka, sama seperti kita belajar melukis, sama seperti kita belajar memasak, bersepeda. 

Selalu terbuka dua metode yang dilakukan oleh guru terhadap kita atau apa yang dapat kita lakukan. Mengurai (teori-teori)nya terlebih dahulu atau langsung praktek terlebih dahulu. 

Seperti saat kita belajar memasak. Tanpa guru masak dan tanpa satu pun resep masakan yang kita miliki, kita bisa mulai belajar memasak melalui proses trial and error dengan memperhatikan dan merasakan cita rasa masakan yang ada. 

Demikian halnya kita belajar melukis. Ada guru lukis yang memaparkan teori-teori lukis terlebih dulu kepada kita: mengenalkan tentang warna-warna, bagaimana teori perpaduan warna, bagaimana teori menggunakan kuas, dan sebagainya. 

Ada juga guru lukis yang langsung mengenalkan berbagai lukisan pada kita, tanpa menceramahi kita dengan satu pun teori dan langsung membiarkan kita bermain-main dengan cat dan kanvas, membebaskan kita bereksplorasi berdasarkan pemahaman kita terhadap lukisan-lukisan yang telah kita kenal.

Dalam belajar menulis puisi, bagi kita yang telah terbiasa menjalani sesuatunya berdasarkan SOP atau kaidah, mungkin akan lebih mudah bagi kita jika kita mempelajari kaidah-kaidah puisi terlebih dahulu. 

Namun, bagi kita yang tidak ingin terlalu pusing dengan teori-teori, kita bisa langsung belajar menulis puisi berdasarkan pengalaman membaca kita terhadap puisi-puisi lainnya. 

Satu hal yang pasti, bahwa kaidah dalam berpuisi adalah suatu keniscayaan, meski kemudian akhirnya kita memilih untuk membuat kaidah kita sendiri. 

Ketika kita kemudian benar-benar meneguhkan diri untuk menjadi penyair, tentu, dengan sendirinya, kita  akan mengasah diri terus menerus agar puisi-puisi yang kita tulis dapat mempunyai nilai dan arti bagi pembacanya. 

Kita tentu akan memperkaya diri dengan berbagai kaidah yang telah ada, meski, sekali lagi, pada akhirnya kita tidak menggunakan satu pun kaidah yang ada, namun bahkan kita mencipta kaidah kita sendiri. Jika tidak ada keinginan, semangat dan usaha untuk itu, berarti kita hanya sedang bermain-main dengan puisi. 

Semua orang dapat menulis puisi. Benar. Namun tidak semua orang dapat menulis puisi dengan baik dan benar.

Simak tulisan-tulisan KBC-43 menarik lainnya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun