Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: KYAI KERAMAT (5)

5 Mei 2014   17:31 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:51 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1399260418409759457


Seri 5 :KYAI SENDANG KAWI

Kyai Haji Soleh Darajat menelan ludah. Mukanya terasa panas. Laki-laki itu takut sekali. Jangan-jangan Kyai Ahmad Hong mendengar pembicaraan dengan istrinya. Sepuluh menit di teras mustahil jika tidak mendengar pembicaraan dengan istrinya.

“Sang Kyai belum naik haji kan ustadz?” Tanya Kyai Haji Soleh Darajat reflek. Istrinya kaget mendengar pertanyaan suaminya.

“Apa Pak Kyai?” Kyai Ahmad Hong heran.

Pemuda itu diam sejenak. Sebenarnya Kyai Ahmad Hong datang ke rumah Kyai Haji Soleh Darajat untuk sebuah keperluan, akan tetapi justru ia mendadak ditanya dengan pertanyaan yang menurutnya sangat aneh. Sebenarnya Kyai Ahmad Hong memang tidak tahu apa yang dibicarakan Kyai Haji Soleh Darajat dengan istrinya. Ketikaterdengar sayup-sayup ada pembicaraan di dalam rumah kebetulan ada SMS masuk, sehingga telinga pemuda itu hanya mendengar, tetapi tidak mendengarkan. Sementara itu Kyai Haji Soleh Darajat yang begitu bebas berkata-kata sama sekali tak menyangka bahwa Kyai Ahmad Hong ada di teras rumahnya. Wajar jika pengasuh pesantren yang paling berumur ini kaget hingga membuat kalimat-kalimatnya tidak terkontrol.

“Oo…. Anu… tadi saya ngomong apa. Bu…. Tadi saya ngomong apa ya?” Kyai Haji Soleh Darajat sendiri tergagap , kemudian bertanya ke istrinya.

“Apakah Sang Kyai belum naik haji?” Kata istri Kyai Haji Soleh Darajat jelas.

“Oooo…. itu…. “ Kata Kyai Ahmad Hong sambil tersenyum, “… beberapa orang memang permah bertanya hal ini. Hari Pak Kyai Haji Soleh.”

“Ya, ya…. “

“Sang Kyai memang pernah naik haji.” Terang Kyai Ahmad Hong.

“Pernah?” Kyai Haji Soleh Darajat kaget.

“Ya, pernah Pak.”

“Kapan? Saya tidak pernah mendengar….”

“Dulu, lama sebelum beliau membangun pesantren ini.” Kyai Ahmad Hong menjawab dengan tersenyum.

“Oooooo…..“ Kyai Haji Soleh Darajat kaget.

“Ya. Kenapa memangnya Pak Kyai?”

“Kenapa gelarnya tidak dipakai?”

“Kata Sang Kyai, haji itu yang diambil adalah keridloan Allah SWT. Makanya Sang Kyai tak mau memakai gelar itu.”

“Tapi kan tidak afdlol.”

“Ya menurut saya tergantung yang menilai. Buktinya sekarang pesantren kita banyak dikunjungi orang, walaupun orang tak pernah mengenal Sang Kyai sebagai haji. Bukankah begitu Bu Kyai?”

“Iya benar.”

“Ngggg…. Jangan-jangan ustadz Hong sudah haji juga?” Tanya Kyai Haji Soleh Darajat menebak-nebak.

“Waduuuhh….. Pak Kyai ini bagaimana? Kan Pak Kyai tahu ketika saya diangkat putra oleh Sang Kyai , ketika itu saya masih kecil. Pak Kyai dan saya selalu bersama-sama di pesantren ini, kalau saya naik haji, pasti Pak Kyai tahu. Iya kan?” Kata Kyai Ahmad Hong sambil tersenyum. Wajah Kyai Haji Soleh Darajat memerah. Kyai Ahmad Hong menjadi heran melihat Kyai Haji Soleh Darajat seperti sedang bingung.

“Berarti belum haji?”

“Saya memang belum haji Pak Kyai, maaf Pak Kyai ….. saya… tidak…”

“Saya yang harus minta maaf. Saya telah tidak sopan dengan mengungkit-ungkit gelar Sang Kyai dan Ustadz Hong sendiri.”

“Oh tidak apa-apa.”

“Apa tadi Ustadz Hong mendengar pembicaraan saya ketika di teras?”

“Oh yang mana ya?”

“Emm..tent… tentang Ustadz sendiri.”

“Tidak. Ya mohon maaf jika saya punya kesalahan atau kejelekan sehingga menjadi pembicaraan orang lain. ”

“O bukan kejelekan kok. Sungguh bukan kejelekan. Saya dan istri saya justru membicarakan hubungan Ustadz dengan Zaniar.” Kata-kata ini meluncur begitu saja dari mulut Kyai Haji Soleh Darajat. Sementara itu sang istri menginjak kaki suaminya tanpa diketahui Kyai Ahmad Hong, maksudnya untuk memberi kode agar tidak bicara ngelantur. Namun beda pikiran Kyai Haji Soleh Darajat, memang ia merasa harus membayar mahal untuk menutupi kekhawatirannya.

“Oh syukurlah jika Bapak dan Ibu membicarakannya.”

“Ooo pasti.. pasti.”

“Saya hanya mohon doa restu Bapak Ibu.”

“Tentu….. tentu kami merestui.”

“Alhamdulillah.”

“Yaaa… tapi sekarang Niar tidak di rumah.”

“Oh maaf Pak Kyai, kedatangan saya bukan untuk mencari Mbak Niar. Cukuplah saya melalui Bapak dan Ibu saja.”

“Tapi barangkali ingin mengenal lebih jauh anak saya …. “

“Bagi saya cukup mengenal orang tuanya. Saya mengenal Bapak dan Ibu sebagai salah satu panutan saya, baik dalam kehidupan beragama, dalam berkeluarga atau yang lain. Bapak dan Ibu adalah orang berikutnya setelah Sang Kyai. Jadi saya yakin bahwa Mbak Niar-pun sama seperti orang tuanya. Anak yang baik, anak yang sholihah … bagi saya itu lebih dari segalanya Pak Kyai…” Kata Kyai Ahmad Hong dengan tersipu. Tanpa sengaja ia telah menyanjung orang yang telah menjelekkan dirinya.

Disanjung demikian Kyai Haji Soleh Darajat menjadi kikuk. Ada sebuah penilaian kebaikan terhadap dirinya, namun ada perasaan menggerutu bahwa ia kembali terjebak dalam sebuah jerat. Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Sekarang yang diinginkannya adalah Kyai Ahmad Hong segera pergi.

“Nggggg…. Tadi katanya Ustadz tidak untuk bertemu Niar. Terus ada keperluan apa ya?”

“Maaf Pak Kyai, Sang Kyai ingin bertemu Pak Kyai.”

“Sekarang?”

“Kalau bisa sekarang, kalau tidak bisa katanya ba’da ‘asyar saja.”

“Ada masalah apa ya?”

“Tidak tahu Pak Kyai.”

“Ya sudah, setengah jam lagi saya ke pesantren.”

“Kalau begitu saya permisi Pak Kyai. Assalaamu’alaikum!”

“Wa’alaikumussalam.” Jawab Kyai Haji Soleh Darajat dan istrinya bersamaan.

Sepeninggal Kyai Ahmad Hong , Kyai Haji Soleh Darajat menghela nafas panjang, kemudian mengehembuskannya.

“Huuuuuhhh….. hari ini benar-benar musibah.”

“Bapak bicara apa sih?”

“Ya bayangkan saja, Wak Wardan cari gara-gara sampai menyebut kotak amal dobel, tadi ustadz Hong pas kita ngobrol, ketiga malah saya terjerat omonganku sendiri tentang hubungan Niar dengan dia.”

“Hihihi….. itu artinya Niar berjodoh. Kyai Haji Soleh Darajat punya menantu Cina hihihhiiii…. “ Kata istrinya meledek. Kyai Haji Soleh Darajat hanya bisa menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Sudahlah Bu….. saya mau temui si Wardan itu. Akan saya damprat dia. Jangan sampai saya hilang rejeki tapi dia masih dapat rejeki. Kalaupun ada makam, jangan dikatakan keramat…. Ngaco saja orang tua itu!”

“Kan Bapak dipanggil Sang Kyai.”

“Saya janji setengah jam lagi kan?”

“Terserah Bapak. Saya mau ke pesantren lagi.”

Mengejar waktu setengah jam diperhitungkan dapat membawa penyelesaian satu masalah, Kyai Haji Soleh Darajat bergegas menuju makam keramat dengan motornya. Sampai di tempat Kyai Haji Soleh Darajat menggeleng-gelengkan kepala. Benar-benar ia tidak tahu sebelumnya jika di tempat itu ada sebuah pemandangan baru. Kyai Haji Soleh Darajat tak punya waktu banyak, laki-laki itu mendatangi penjaga kotak amal.

“Wak Wardan mana?” Tanya Kyai Haji Soleh Darajat berbisik.

“Kan tadi dipanggil Sang Kyai , Pak Haji.”

“Sudah disuruh pulang.”

“Mungkin ke rumah dulu.”

Kehilangan waktu beberapa menit Kyai Haji Soleh Darajat menggerutu. Sesampai di rumah kecil berdinding anyaman barulah Kyai Haji Soleh Darajat bernafas lega. Laki-laki tua yang dicarinya sedang duduk termenung di depan rumahnya.

“Wak…. Masuk.” Ajak Kyai Haji Soleh Darajat sambil menggandeng lengan Wak Wardan. Yang diajak menatap Kyai Haji Soleh Darajat dengan ketakutan.

“Batas waktu dari Sang Kyai tiga hari! Bukan sekarang pak Haji!”

“Bukan soal itu! Ini soal makam!”

“Sang Kyai mau jadi mengganti penjaga makam?”

“Bukan!"

"Lalu?"

"Ini makam Kyai Sendang Kawi.”

“Oooo…. Kenapa Pak Haji?”

“Kamu dengar ancaman Sang Kyai nggak?”

“Tidak.”

“Bodoh! Tentang laknat itu!”

“A…aaa…. Iya… ingat.” Diingatkan tentang Laknat, Wak Wardan bergetar tubuhnya.

“Kalau kamu bohong, laknat akan turun kepadamu! Kepada istrimu! Kepada anak-anakmu! Mau?!”

“Jangan Pak Haji!”

“Makanya kamu jangan berbohong!”

“Ti…ti..tidak!”

“Apakah itu makam Kyai Solehuddin?”

“Buu…iyaa…oohh.. buk…bukan.”

“Lalu makam siapa?!”

“Kuuu….”

“Ku siapa?”

Belum Wak Wardan menjawab, dari luar masuk istri Wak Wardan membawa belanjaan sayur-sayuran. Demi melihat Kyai Haji Soleh Darajat sedang berhadapan dengan suaminya, perempuan tua itu tergopoh-gopoh meletakkan bawaannya, kemudian mendekat seraya mencium tangan Kyai Haji Soleh Darajat. Yang dicium tangannya merasa sangat bangga. Ia merasa begitu besar penghormatan perempan ini pada dirinya. Hingga pikirannya sekilas membayangkan bahwa dirinya adalah Sang Kyai, yang setiap hari ratusan orang datang kemudian mencium tangannya.

“Aki ini bagaimana, Pak Kyai Haji Soleh datang kok dibiarkan! Ambilkan minum!” Seru perempuan itu kepada suaminya.

“Aaah… sudahlah Ni Wak. Saya tak lama kok!”

“Lho?!”

“Ada perlu apa to Pak Kyai Haji sampai mau-maunya menginjakkan kaki di gubug saya yang kotor.”

“Oooo… hanya perlu sedikit dengan si Uwak.”

“Biasanya kirim utusan kalau perlu urusan makam.”

“Karena ini masalah gawat, ya jadi saya sendiri yang ke sini.”

“Gawat?! Kena apa to Aki?”

“Disuruh ngaji di pesantren!”

“Ooooo ya bagus sekali. Syukuuuur!" Istri Wak Wrgan berteriak kegirangan.

"Kok begitu Ni?"

"Nganu pak Kyai Haji, si Aki ini orangnya malas sekali. Dari waktu muda hingga sekarang orangnya ndableg. Tak pernah mau sholat!” Kata Ni Wak Wardan mengadu. Kyai Haji Soleh Darajat tersenyum.

“Hei Ni, yang namanya sholat itu nanti saja, kalau sudah tua!” Timpal Wak Wardan.

“E-e-e-eeee , memangnya kamu ini merasa masih muda?” Kyai Haji Soleh Darajat bertanya.

“Ya …. Perasaan masih.” Kata Wak Wardan sekenanya.

“Jangan perasaan, lihat anakmu, cucumu! Itu ukurannya.”

“Benar pak Kyai…. Si Aki memang ndableg. Bawa saja dia ke pesantren, biar kapok!” Kata Ni Wak Wardan merasa puas, “….. omongan saya tak pernah digubrisnya Pak Kyai Haji.”

“Lhooo…. Kamu juga salah Ni!”

“Salahnya dimana?” Ni Wak Wardan heran.

“Ke pesantren itu bukan biar kapok! Tapi biar mengerti tatacara agama dalam menjalankan ibadah….. mumpung kita masih ada umur Wak”

“Dengarkan Kiiii!” Teriak Ni Wak Wardan puas.

“Iya, nanti di pesantren dipelajari pula cara mempelajari kitabnya orang Islam. Jangan sampai jadi orang Islam itu tidak pernah shalat, tidak puasa, tidak berzakat ….. “

“Yaaaaahhh Pak Kyai kaya tidak tahu saja! Mana mungkin orang seperti kami berzakat! Harta tidak punya. Mau zakat apa?” Timpal Ni Wak Wardan kecewa.

“Lhoooo….. kan kata suamimu itu, tadi pagi di pesantren, penghasilan dari kotak amal di Makam Kyai Sendang Kawi sehari sekitar lima puluh ribu.” Kata Kyai Haji Soleh Darajat sambil menunjuk laki-laki tua yang wajahnya tiba-tiba memerah.

“Hah? Lima puluh ribu sehari?” Ni Wak Wardan terbelalak kaget.

“Tanya saja sendiri ke suami kamu Ni!” Saran Kyai Haji Soleh Darajat sambil tertawa. Dengan melihat Ni Wak yang kaget, ia merasa bahwa ada yang tidak beres.

“Benar Ki? Pendapatan dari Makam Sendang Kawi sampai lima puluh ribu sehari?”

“Oooo..tiii…. tiiii… wah siapa yang ngomong.”

“Kalau benar kata Pak Kyai Haji ini, maka kau akan dilaknat Ki!” Kata Ni Wak Wardan ketus.

“Jangan! Jangaaan…..! Masa sepagi ini ada dua orang yang mengancam saya akan terkena laknat.” Wak Wardan ketakutan.

“Ya makanya, kamu bohong apa tidak?"

"Biasanya saya hanya diberi sepuluh ribu dari makam itu!"

"Waktu di pesantren, kamu bilang limapuluh ribu….”Kata Kyai Soleh.

“Aaa…yaaa…yaaaa…. Mungkin, kadang-kadang.”

“Kadang-kadang apa? Selalu sepuluh ribu kok! Mana yang empat puluh ribu tiap hari? Sudah berapa hari sampai sekarang?”

“Aaa… nganu….nganu….aaaa…”

“A-u a-u! Kau mau dilaknat Ki?” Kata Ni Wak Wardan menakut-nakuti suaminya.

“Jangan Ni…. “

“Mana uangnya? Apa kurang saksi? Nanti akan saya tanyakan ke Naryo!” Ancam Ni Wak menyebut nama penjaga kotak amal di dekat makam.

“Jangan…. Uangnya …uangnya…. Dipinjam orang.”

“Siapa?”

“Ah… siapa ya?”

“Sarpin.”

“Sarpin? Bukannya Sarpin itu justru yang suka minjamin kamu uang Ki?”

“Gantian, gantiaaaan….”

“Saya ke Sarpin sekarang! Pak Kyai, kalau si Aki bohong, suruh kerja paksa di pesantren sampai mati saja!” Kata Ni Wak Wardan meninggalkan suaminya dan Kyai Haji Soleh Darajat.

“Jangaaan…..! Dia itu hanya bagi hasil….. “ Teriak Wak Wardan. Namun istrinya tidak peduli dengan teriakan suaminya.

“Sudahlah Waaaak…. Biarkan si Nini ke Sarpin. Biar dia puas.” Kata Kyai Haji Soleh Darajat sambil tertawa.

“Puas apaan? Dia akan makin marah. Sarpin itu yang memberi ide agar kami bagi hasil saja.”

“Bagi hasil apa?”

“Dia yang punya ide mengubur kucing.”

“Mengubur kucing?” Kyai Haji Soleh Darajat kaget.

“Makam itu sebenarnya makam kucing.”

“Makam kucing? Kuburan kucing maksudnya?”

“Iya!”

“Astaghfirullah…..hal ‘adziiim. Jadi yang Wak beri nama Makam Kyai Sendang Kawi itu kuburan kucing?”

“Maafkan saya Pak Kyai Haji ….”

Setelah berkata demikian Wak Wardan tampak lunglai. Demikian pula Kyai Haji Soleh Darajat duduk bersandar. Pengasuh pesantren itu tak habis pikir dengan kelakuan laki-laki itu. Berapa puluh orang berarti telah menjadi korban penipuan Wak Wardan, dan tentu saja penipuan Sarpin. Setahu Kyai Haji Soleh Darajat, Sarpin merantau di kota. Jika tiba-tiba ia ikut andil dalam pembohongan Makam Kyai Sendang Kawi, berarti ia ada di Widodaren.

Beberapa jenak Kyai Haji Soleh Darajat bersandar di kursi kayu, laki-laki itu tersentak kaget. Ia melihat jam tangan. Ternyata pembicaraan dengan Wak dan Ni Wak wardan telah mendekat dua puluh lima menit, padahal ia berjanji akan ke pesantren setengah jam lagi kepada Kyai Ahmad Hong.

“Hari ini juga kuburan kucing harus ditutup! Papan nama harus dicabut! Si Uwak telah membohongi banyak orang. Bayangkan sakit hatinya mereka jika mereka tahu yang didoakan itu hanya kucing mati. “

“Iya. Tapi saya minta pesangon….”

“Pesangon apa?”

“Kan Pak Kyai yang menyuruh saya menutup makam Kyai Sendang.”

“Iya, tapi kan itu makam buatanmu!”

“Terus saya dapat uang dari mana?”

“Ya dari mana? Dagang di depan pesantren sana, yang halal. Wak juga dari desa kan sudah digaji tujuh puluh lima ribu sebulan.”

“Kurang Pak Kyai….”

“Terserah …. ! Pokoknya nanti malam, Wak dan Sarpin datang ke pesantren!”

“Sarpin pergi ke kota.”

“Kapan?”

“Setelah minta jatah bagian makam kucing kemarin. Minggu depan ke sini lagi katanya Pak Kyai…..” Kyai Haji Soleh Darajat tak banyak berkata-kata lagi. Ia meninggalkan Wak Wardan yang masih duduk dengan lemas.

Sepeninggal Kyai Haji Soleh Darajat , laki-laki tua itu duduk termenung. Ia membayangkan mulai hari ini tidak ada uang yang mengalir lagi. Ia menggerutu, kemudian menyumpah-nyumpah sambil menendang kursi kayu tua. Ia sangat benci kepada orang yang telah melaporkan perihal makam keramat ke Sang Kyai. Ingat hal demikian, Wak Wardan bergegas ke lokasi makam Kyai Sendang Kawi.

“Naryo! Sini!” Kata Wak Wardan memanggil penjaga kotak amal.

“Aduuuhhhh….. tadi si Nini Wak, sekarang Uwak! Ada apa lagi? Sarpin tidak ada. Nini marah-marah!”

“Bukan itu! Ini lebih penting, dan yang pasti gawat. Ini menyangkut uang kita.”

“Uang apa Wak?”

“Goblogmu itu!”

“Goblog apa sih? Saya ndak tahu apa malah digoblog-goblogin!”

“Hari ini papan penunjuk di depan harus dicopot!”

“Hah?! Waaahhh…. Ya tidak bisa Wak, nanti orang-orang nyasar!”

“Dicopot!”

“Uwak serius?”

“Kyai Haji Soleh Darajat yang menyuruh.”

“Oalaaahhh… Pak Kyai Haji, kenapa gerangan? Di tengah-tengah orang sulit mencari pekerjaan dan uang, ini malah mau menutup usaha. Apa alasannya?”

“Kamu ini memang goblog Yo! Ini gara-gara makam keramat itu ketahuan kalau itu kuburan kucing!”

“Kuburan kucing?!” Naryo terperanjat.

“Iya! Makanya Kyai Haji Soleh Darajat menyuruh menutup proyek ini!”

“Jadi ini kuburan kucing?”

“Iya!”

“Astaghfirullaaaaaahal ‘adziiiimmmmm….. kuburan kucing? Jadi selama ini Uwak berbohong padaku Wak?”

“Belum lama! Paling juga sepuluh harian.”

“Iya, tetapi tetap saja si Uwak berbohong.”

“Bohong sedikit. Yang bohong besar itu Sarpin, dia memanfaatkan saya sipenjaga kuburan, untuk menjaga kuburan baru. Jadi orang-orang percaya kan?”

“Aduuuhhh…. Malu saya Wak… maluuuu….. “ Kata Naryo dengan wajah gelap. Wajar ia berkata demikian, sebab jika kasus ini tersebar sudah barang tentu ia disangka sekongkol dengan Wak Wardan, padahal ia sama sekali tidak tahu.Niatnya memang hanya satu, Wak Wardan membayar seperempat dari hasil sedekah.

“Kalau malu nanti papan itu turunkan! Gubug di kuburan kucing bongkar! Gundukan tanah ratakan. Habis perkara.”

“Belum habis perkaranya! Saya malu Wak, saya disangka sekongkol dengan Wak dalam membohongi peziarah.”

“Kenapa disangka? Memang kamu sekongkol kok!”

“Aduuuh Waaak…..”

“Ini gara-gara ada orang yang lapor ke Sang Kyai.”

“Siapa Wak?”

“Justru saya yang mau bertanya, siapa saja yang suka bertanya tentang sejarah makam Kyai Sendang?”

“Aduuuhhhh…. Ya hampir setiap orang yang ke sini.”

“Yang terakhir bertanya siapa? Coba kau ingat-ingat Yo.”

“Nggg….. siapa ya? Ada, ada….”

“Siapa? Orang pesantren ya?”

“Bukan. Dia orang mBanjar.”

“Waaaaduuuhhh…. Orang tuakah?”

“Pemuda. Ganteng, putih…. Matanya mirip Sang Kyai.”

“Kacau kamu! Masa mata saja jadi ukuran.”

“Memang matanya tajam. Tidak sengaja sih , tapi benar-benar matanya mirip mata Sang Kyai.”

“Ada ciri lain?”

“Nggg…. Tahi lalat di pipi kiri.”

“Benar dia bukan orang pesantren?”

“Sepertinya bukan.”

“Tapi mengapa kabar tentang makam ini sampai di telinga Sang Kyai. Buntutnya saya dipanggil sidang, tadi subuh. Baru saja malah Kyai Haji Soleh Darajat yang , hingga saya terjebak mengatakan yang sesungguhnya.”

Beberapa jenak Wak Wardan diam. Naryo ikutan diam. Sementara itu beberapa orang tampak mulai menyusuri jalan kecil menuju kompleks makam keramat. Melihat itu buru-buru Naryo berlari menghadang yang baru datang dan mengatakan bahwa makam ini telah ditutup. Pemuda itu tidak peduli dengan keheranan calon peziarah. Setelah itu pemuda itu berlari-lari ke arah pohon cangkring di dekat pertigaan, tempat papan penunjuk makam keramat dipasang. Papan yang ada dicabut dengan kuat dan penuh rasa marah. Naryo bekerja dengan dilihat beberapa orang yang keharanan. Namun ia tidak peduli. Setelah membersihkan papan, ia melanjutkan merobohkan gubuk dan meratakan tanah.

Sementara itu sepeninggal Naryo, Wak Wardan kembali ke rumahnya. Ia mengambil sesuatu dari kotak simpanan di salah satu sudut rumah yang gelap. Beberapa jenak kemudian, tangannya telah menggenggam sebuah keris kecil berwarna hitam kusam.

“Kau Kyai Sendang Kawi yang sesungguhnya ….. ada pekerjaan untukmu Kyaiiii……” Kata Wak Wardan sambil mengangkat keris itu di atas dahinya.

Sejenak laki-laki itu keluar. Dari depan rumahnya matanya di arahkan ke puncak kubah masjid An Najm yang menyembul di kejauhan , di antara rerimbunan pepohonan. Matanya merah, memancarkan kebencian. ***

Bersambung ke Seri 6

Insya Allah Kamis mendatang …………..



Keterangan :

Ndableg = kepala batu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun