Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel : KYAI KERAMAT (21)

26 Juni 2014   03:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:53 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1403700062848984686

Seri 21 dari 23 Seri :

KERIS ITU MEMAKAN KORBAN

Wak Wardan dan istrinya kelihatan cerah wajahnya. Keduanya merasakan akan adanya kehidupan baru lagi yang lebih bermakna. Wak Wardan dan istrinya puas akan menyumbangkan kusen untuk pintu masuk pawudon. Laki-laki mantan merbot itupun oleh Sang Kyai diangkat menjadi juru bersih-bersih masjid An Najm mulai besok hari. Keinginan Sang Kyai mengajak Wak Wardan mengaji di Widodarenpun pun disanggupi. Apalagi sejak laki-laki itu minum air pemberian Sang Kyai , seolah merasakan adanya kehidupan baru dalam pikirannya. Istri Wak Wardan Wardan pun sangat gembira ketika ia diperbolehkan berkunjung ke pesantren kapan saja. Bahkan katanya ia sendiri telah bosan mengurus sapi-sapi orang.

Dini hari Sang Kyai duduk bersama Kyai Haji Mukhlis Abas dalam suasana yang jauh dari ketegangan. Teh manis dan kopi tampak menjadi kenikmatan lengkap bagi keduanya.

“Kangmas….. sejak kapan bagian masjid ini direncanakan direhab?”

“Sejak tengah malam tadi.”

“Itulah yang saya kagumi dari kangmas ….. saya tadi heran ketika kangmas mengatakan pada Pak Wardan akan merehab pawudon. Saya berfikir kenapa? Padahal seingat saya seluruh kusen, baik itu pintu, jendela, terbuat dari jati tua.”

“Yaaa…. tak ada yang keropos.”

“Ya itulah.”

“Rayi…. untuk menyelesaikan sesuatu kadang kita perlu pengorbanan. Tadi sewaktu pulang saya sudah katakan pada Kyai Haji Soleh , mulai besok kusen pawudon harus digempur, diganti dengan yang baru. Orang-orang seperti Wak Wardan tak berfikir panjang dan jauh. Yang penting apa yang dulu hilang tergantikan. Cukup baginya. ”

“Terus kangmas yakin dengan terapi pada laki-laki itu.”

“Hmhhh ….mmmm…”

“Akan kembali sedia kala?”

“Insya Allah rayi…. “

“Alhamdulillah….syukur kalau begitu, ngg…. ngomong-ngomong… si Udin dari tadi saya datang tidak kelihatan ke mana ya?” Tanya Kyai Haji Mukhlis Abas pelan.

“Glk! Uhukhkkk….. !” Mendadak Sang Kyai tersedak.

Aso kangmas…. asooo......

“Iya, iya, …tidak apa-apaaa….”

“Ada apa kangmas? Kok seperti kaget?”

“Maafkan … maafkan saya, rayi….. “

“Ada apa?”

“Ini kesalahan… waktu saya nelpon kita kontak ingat nggak? Waktu rayi berikan HP itu ke Bu Narti.”

“Iya.. ingat.”

“Itu aslinya saya mau beri kabar tentang Udin, tapi Bu Narti malah menutup telpon. Rayi juga menutup telpon.”

“Bukan itu masalahnya! Bu Narti sepertinya membuang telepon itu sampai rusak. Saya tidak punya nomor Udin. Yang lain juga tak punya. Jadi inilah saya memaksakan diri ke sini karena kasus Bu Narti itu.”

“Sebentar rayi, saya dulu menelpon rayi karena mau memberi tahu bahwa Udin mengalami musibah.”

“Musibah?”

“Iya, musibah.”

“Kenapa dia?”

“Ditikam orang.”

“Apa?! Udin ditikam orang?”

“Iya. Dia ditikam orang tak dikenal. Tapi keris itu menancap di punggungnya….”

“Terus sekarang?”

“Tenang rayiii….. ia tidak apa-apa. Sekarang ia masih dalam perawatan rumah sakit.”

“Di mana dia?”

“Sumber Waras.”

“Ya Allaaaaah….. terus pelaku penikaman itu?”

“Belum ketemu. Tapi indikasi sudah ada, hanya kita akan selesaikan satu persatu.”

“Terus indikasi itu bagaimana kangmas?”

“Keris itu milik Wak Wardan… “

“Hah?! Keris orang itu?”

“Iya. Tapi dari keterangan dan melihat fakta , wajah Wak Wardan tak mencerminkan bahwa dia pelakunya. Kyai Haji Soleh Darajat telah mengecek ke rumahnya, memang keris itu hilang. Tapi melihat pernyataan tentang keris, laki-laki itu mengatakan tak tahu.”

“Ooo…”

“Lagi pula saya tidak ingin laki-laki ini kembali kecewa karena sebuah perbuatan yang belum tentu dilakukannya. Bahkan kemarin ada satu lagi peristiwa yang membuat kita harus waspada.”

“Apa kangmas?”

“Keris yang sudah disimpan dokter itu hilang.”

“Hah?! Jangan-jangan ada orang yang mau mencelakai Udin.”

“Mungkin.”

“Terus sekarang siapa yang jaga di sana?”

“Tenang, banyak yang jaga. Ada lima santri. Besok pagi kita ke sana.”

“Oooo syukurlah…… “

Mendapat keterangan dari Sang Kyai , Kyai Haji Mukhlis Abas merasa tenang. Ia sangat percaya apa yang dikatakan sahabatnya. Kyai Kedungjati itu sendiri tak bakal mengira bahwa santrinya itu telah mengalami nasib seperti itu. Terlebih lagi yang harus dipertanggungjawabkan adalah terhadap Sunarti. Perempuan ini adalah ibu Abu Najmudin yang sedang menjadi masalah pula di Kedungjati. Sejak tadi pagi, perempuan ini tak kembali ke pesantren.

“Rayi …. ada kabar apalagi di Kedungjati?” Tanya Sang Kyai mencoba mulai pembicaraan lain.

“Tentang Bu Narti ya?”

“Itulah rayi …. “

“Tadinya saya ingin agar kangmas langsungngobrol…. Saya merasa dan membaca bahwa antara kangmas dengan Bu Narti ada masalah… sepertinya kangmas sudah mengenal dia….”

Kring! Kriing!

Sang Kyai kagetdengan HP-nya yang berdering. Malam-malam seperti ini merasa ada sesuatu yang tak wajar. Terlebih lagi dilihat nomernya ia tak hafal. Sang Kyai bingung. Dilihatnya Kyai Haji Mukhlis Abas yang belum selesai bicara.

“Silakan angkat! Barangkali penting.”

“Tapi saya tak kenal nomornya….”

“Tak apalaah….”

“Yaaa…ya hallo…” Akhirnya Sang Kyai menerima telephon itu juga.

“Hallo…hallloooo…”

“Iya halloo… oh … ada ..ini siapa?”

“Udin …hallo….haa.. udiin dibunuh orang!”

“Apa? Dibunuh orang?”

“Hallo…hhhalalooo…”

Suara di telephon itu terputus-putus. Sang Kyai memerah wajahnya. Tegang. Kyai Haji Mukhlis Abas memandang dengan tegang pula.

“Ada apa kangmas?”

“Tii…tidak tahu… tidak jelas. Tapi sayup-sayup dia bicara kalau Udin… Udin dibunuh orang!”

“Hah? Yang benar?”

“Ya kata orang tadi!”

“Keris yang hilang itu?” Kyai Haji Mukhlis Abas cepat bereaksi.

“Berarti bukan Wak Wardan pelakunya. Ia masih ada di sana.”

Tak banyak bicara menggamit lengan Kyai Haji Mukhlis Abas . Bergegas ia menuju ke kamar Iman. Pemuda itu dibangunkan dari tidurnya yang nyenyak. Beberapaa saat pemuda itu bingung. Namun setelah sadar benar-benar, pemuda itu kaget ketika Sang Kyai telah berdiri di depannya.

“Sang Kyai?”

“Maaf Man, kamu segera ke pawudon. Basuh mukamu, minum air panas sedikit, terus, malam ini juga kita kembali ke Sumber Waras.”

“Hah? Ada apa gerangan Sang Kyai ?”

“Udin dibunuh orang!”

“Hah?! Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’uun…… “

Malam itu Sang Kyai kembali lagi ke rumah sakit. Berita lewat HP itubenar-benar membuatnya pusing. Ibaratnya baru beberapa menit satu masalah besar kini datang lagi masalah lain. Yang terbayang dalam pikirannya adalah bagaimana Kyai Haji Mukhlis Abas dan Sunarti. Kedua-duanya adalah orang yang sangat berurusan dengan pemuda itu. Kyai Haji Mukhlis Abas pasti akan menyalahkan dirinya, dan Sunarti tentu akan menyalahkan Kyai Haji Mukhlis Abas.

Tengah malam lewat di rumah sakit Sumber Waras.

Malam itu kelima santri masih berbincang-bincang. Mereka menggelar tikar di dekat ruang ICU. Tadi pagi memang ada laporan bahwa Abu Najmudin akan dipindahkan ke ruang rawat biasa, namun karena sesuatu hal maka penyataan dokter itu dirawat.Salah satu di antaranya memberikan usul untuk giliran tidur. Yang lainnya menyetujui. Akhirnya dua orang tidur, yang tiga masih berjaga.

Beberapa menit berselang yang tidur telah pulas. Tiga yang masih tersisa berbincang-bincang demi membunuh waktu. Malam semakin larut. Koridor rumah sakit sepi. Suara-suara aneh kadang-kadang kedengaran sesekali. Angin semilir dingin datang dari beberapa arah berganti-ganti.

“Antar aku ke WC…” Kata salah satunya.

“Ah nggak mau ….. “

“Aku ingin pipis niiih…. tidak tahan.”

“Huuuhhh….. “

Akhirnya keduanya berjalan bersama-sama menuju WC yang berada di ujung koridor utara. Hingga beberapa saat suasana semakin sepi. Kedua santri yang pergi ke WC belum kembali. Santri yang sendirian tampak gelisah.

“Belum tidur….. “ Tiba-tiba terdengar suara di samping santri yang sendirian. Dia kaget.

“Be…bbbeeeluuumm…..”

“Sendirian?”

“Ya.”

“Tidak takut?”

“Tttt…ttt….”

“Takut?”

“Tiii….”

“Tadi saya lihat dua temanmu ke arah utara.”

“Iii…iya….. “

“Mereka berdua tidur dekat WC….”

“Apa?”

“Mereka tak akan ke sini lagi sampai pagi ….”

“Bapak tahu?”

“Hmhh…. biasanya kalau ke WC utara jam-jam segini, hawa di sana sedang hangat-hangatnya.”

“Maksudnya?”

“Bukankah tadi kamu merasakan ada tiupan angin?”

“Ya …”

“Itulah. Kamu harus hati-hati, apalagi sendirian.”

“Jangan begitu pak, saya jadi takut.”

“Kamu sedang menunggu mayat ya?”

“Pak jangan bicara yang macam-macam dong!”

“Yang kamu tunggu itu calon mayat …. “

“Aaahhh bapak ….”

“Cah bagus…. kau lihat ini?” Kata orang itu sambil mengeluarkan benda tajam.

“Kkkk…ker….”

“Anak pesantren itu belum mati, tapi hampir mati. Kamu mau mati duluan?’

“Aaa.. janga..jangan…”

“Tidurlah …….!”

Kini di depan ruang ICU terdapat tiga santri yang tidur. Laki-laki yang baru mengeluarkan keris itu memasukkan kerisnya ke balik baju. Ia kini berjalan berjingkat-jingkat menuju ruang ICU yang temaram. Namun laki-laki itu berhenti sejenak. Ruangan itu dikunci. Beberapa jenak laki-laki itu diam, namun dibalik sinar lampu koridor, tampak bahwa mulut laki-laki itu komat-kamit.

Beberapa saat kemudian laki-laki itu membuka pintu ruang ICU. Tak ada yang menghalangi. Pintu sangat mudah dibuka. Begitu pintu terbuka, perlahan ia mengendap-endap. Perlahan laki-laki itu mengeluarkan keris. Tangannya kini menggenggam erat keris. Ruangan ICU itu berisi enam orang pasien katagori parah. Abu Najmudin menempati ranjang yang paling ujung. Posisi pemuda itu masih tertelungkup. Pemuda inilah yang dicari. Sambil mengendap-endap laki-laki itu melihat kearah pasien-pasien. Beberapa pasien sepertinya mengetahui kedatangannya, tetapi tak bisa apa-apa, hanya kerdip-kerdip mata. Itupun sangat lemah.

Ketika laki-laki melihat ada pasien yang tertelungkup di kejauhan, ia bergegas mendekat. Keris kecil berwarna hitam yang digenggam semakin mendekat sasaran, manusia yang paling ingin dibunuh. Jengkal demi jengkal, ujung logam warna hitam yang runcing itu semakin mendekat.

Klik! Byar!

Sinar temaram di ruang ICU tiba-tiba menjadi terang benderang. Laki-laki yang memegang keris itu kaget bukan buatan. Secara reflek ia bergerak cepat tak tentu arah. Kaki laki-laki itu terkait salah satu penyangga hidrolik dipan.

Auh! Laki-laki itu oleng. Kemudian jatuh berdebum di lantai.

Aaa….aaacchhhh..kkkk… !

Laki-laki itu jatuh tertelungkup. Perawat yang baru saja menyalakan lampu berteriak minta tolong. Dalam waktu singkat sekitar ruangan ICU ramai. Para perawat berlarian. Beberapa dokter jagapun akhirnya ikut bergabung.

“Heheee! Bangun!” Teriak salah seorang membangunkan tiga santri yang tidur di depan ruang ICU.

“Aaaa…ada apa Pak?”

“Pembunuhan!”

“Di mana?”

“Di dalam ruang.”

“Udiin….”

“Telpon Sang Kyai !”

Akhirnya santri ini menelphon Sang Kyai mengabarkan bahwa Abu Najmudin dibunuh seseorang. Itulah awal mengapa saat ini Sang Kyai dalam perjalanan ke Sumber Waras.

Perjalanan Sang Kyai telah dekat. Ketika gerbang rumah sakit mulai tampak, dada Sang Kyai berdegup keras. Demikian pula Kyai Haji Mukhlis Abas. Wajahnya benar-benar tegang tak terperi. Masuk melalui lorong samping pintu UGD Sang Kyai semakin gelisah. Berbelok ke kanan, jantung Sang Kyai serasa hampir berhenti melihat banyak orang di depan ruang ICU. Laki-laki ini berlari, diikuti Kyai Haji Mukhlis Abas yang juga ikut berlari.

“Sang Kyaiiiiii…… “ Dari depan seorang santri melihat kedatangan Sang Kyai langsung menyambut kedatangannya dengaan mencium tangan.

“Di mana Udin?” Tanya Sang Kyai.

“Masih di dalam…. “

Menyibakkan orang-orang yang berkerumun Sang Kyai bisa masuk ke dalam. Matanya melihat polisi yang sedang melakukan olah TPK. Tak ada mayat di situ. Mata Sang Kyai melihat ke arah ranjang Abu Najmudin. Sang Kyai melolot tak percaya demi melihat Abu Najmudin masih tertelungkup. Ia tak melihat darah bersimbah di tubuhnya.

“Permisi Paak….” Kata Sang Kyai pada polisi yang ada.

“Anda siapa?”

“Ayahnya anak itu!” Kata Sang Kyai sambil menunjuk Abu Najmudin yang tergolek lemah dengan balutan perban di punggung.

“Maaf, bapak jangan masuk dulu. Mengganggu!”

“Tadi itu saya ditelepon oleh siapa itu? Katanya anak saya dibunuh orang.”

“Ah ngaco, siapa yang menelepon.”

“Tidak tahu pak.”

“Anak bapak tidak apa-apa. Aman. Tapi rupanya orang ini kaget pas mau membunuh orang ini. Kedatangan perawat mengagetkan dia. Mungkin kalau perawat itu tidak datang, mungkin pasien satu sudah mati….”

“Terus? Siapa yang membunuhnya?”

“Bukan dibunuh. Ia terjatuh dalam posisi keris menancap di ulu hati.”

“Keris? Oooo…. berarti keris yang hilang dari ruang praktek dokter.”

“Ya, tadi ada dokter yang mengatakan kehilangan barang bukti. Jadi orang ini sepertinya mau melanjutkan membunuh pasien itu.”

“Mayatnya di mana Pak?”

“Di kamar mayat.”

Sang Kyai menoleh ke arah Kyai Haji Mukhlis Abas , kemudian memberi kode dengan matanya. Kyai Haji Mukhlis Abas manggut-manggut. Keduanyakemudian bergegas ke kamar mayat. Di depan kamar mayat juga banyak orang. Sang Kyai mendesak ke depan, kemudian masuk ke dalam.

Mayat yang dimaksud sudah ditutup dengan lawon. Sang Kyai minta ijin ke perawat yang sedang mencatat administrasi status mayat.

“Minta ijin ikut melihat wajahnya Mas…”

“Ooo silakan Pak.”

Dengan hati berdebar-debar , perlahan Sang Kyai mengangkat kain penutup muka mayat itu.

Sarpiiiinnn…..! Teriak Sang Kyai .

“Siapa kangmas?”

“Sarpin. Ini Sarpin. Orang Widodaren…oooo…. Dialah yang berkongsi dengan Wak Wardan mengadakan kuburan keramat waktu itu.”

“Oooo….”

“Dia juga hampir berkelahi dengan Abu Najmudin di pasar tiban depan pesantren.”

“Udin? Pantas, sepertinya ada dendam. Apa kira-kira masalahnya ….”

“Ya biasa sih, katanya dia menjual barang-barang berbau syirik di depan pesantren. Rajah, jimat, dan sebagainya.”

Perawat yang melakukan identifikasi terkejut ikut mendengarkan pembicaraan keduanya.

“Bapak kenal orang ini?”

“Ya, dia orang desa saya. Namanya Sarpin.”

“Oooo….”

“Besok pagi saya coba hubungi perangkat desanya.”

“Keluarganya Pak?”

“Yaaah… nanti biar oleh perangkat desa saja. Setahu saya dia itu hanya sendirian di desa kami, sebatangkara.”

“Terimakasih Pak.”

Setelah semuanya jelas Sang Kyai mengajak Kyai Haji Mukhlis Abas kembali ke ruang ICU. Di sana polisi sudah tidak ada. Urusan apakah kejadian di ruang ICU akan diusut atau tidak, Sang Kyai tidak merasa ada sebuah kewajiban.

Sang Kyai dan Kyai Haji Mukhlis Abas diijinkan untuk mengunjungi anaknya. Apalagi tadi juga diterangkan kepada petugas bahwa sasaran pembunuhan adalah anaknya.

“Udiiin…… siapa yang datang ini!” Kata Sang Kyai pelan.

Kyai Haji Mukhlis Abas menghela nafas panjang demi melihat tubuh Abu Najmudin yang tergolek lemah. Dalam tengkurapnya telinga pemuda itu mendengar bisikan Sang Kyai.

“Ah Sang Kyai , assalamu’alaikum….”

“Wa’alaikumussalaaam….., ini ada tamu satu lagi.”

“Din. Sing kuat, tabah ya!”

“Ooo… suara Eyang Kyai Haji.” Gumam Abu Najmudin.

Kyai Haji Mukhlis Abas mendekat, mepet pada ranjang. Abu Najmudin memeluk tangan gurunya hingga lama. Anak muda itu menangis. Sang Kyai menghela nafas dalam. Dalam benaknya Sang Kyai membayangkan bahwa pemuda itu adalah anaknya. Ia akan sangat bangga jika dalam hidupnya digariskan mempunyai sebuah keluarga yang utuh, dengan istri dan keluarga.

“Sudahlah Diiin…. kami sudah tahu semua. Jangan takut, semua sudah digariskan Allah kejadian seperti ini.”

“Ya Eyang, kemarin waktu kejadian ada orang menikam saya di Widodaren, Allah seakan mengirim malaikat berbentuk manusia untuk menyelamatkan saya. Malam ini juga, seperti itu. Ada malaikat berbentuk perawat yang dikirim Allah untuk menyelamatkan saya….”

“Ya, kamu patut berbangga Din…. bayangkan jika kamu tidak tertolong. Dunia ini akan kehilangan salah satu mutiara….”

“Ah Eyang memuji saya… apa maksudnya?”

“Kamu adalah satu di antara seribu, apalagi di jaman sekarang. Orang yang hafidz adalah barang langka. Kamu adalah sumber motivasi santri lain… “

“Terima kasih sanjungannya Eyang. Tapi Eyang dan Sang Kyai juga hafidz, bahkan sudah sempurna.”

“Iya Din, tapi beda. Umurmu baru 20 tahunan, mungkin lebih sedikit. Ini yang membuat motivasi orang lain untuk belajar. Kalau kami berdua, umur sudah lima puluh tahun lebih, mungkin mereka menganggap itu hal yang wajar, karena sudah tua, banyak waktu yang telah dilewatkan, pimpinan pesantren lagi.”

Abu Najmudin bangga mempunyai guru-guru yang sangat mumpuni. Ia merasa beryukur bisa hidup di tengah-tengah mereka. Apalagi Kyai Haji Mukhlis Abas , yang mendidiknya sejak kecil. Pemuda itu sangat bangga, namun ia selalu ingat pesan gurunya : Kamu tidak boleh sombong sebersitpun. Ilmu, pengetahuan, kepandaian, semua dari Allah.

“Din …. saya mau tanya…” Kata Kyai Haji Mukhlis Abas menghentikan Abu Najmudin dari lamunannya.

“Apa Eyang?”

“Apa kamu punya kontak dengan ibumu?”

“Tidak Eyang. Mungkin Sang Kyai sudah memberi tahu Eyang, kemudian memberitahu ibu di Kedungjati.”

“Itulah masalahnya…. ada sebuah masalah sehingga semuanya terhambat.”

“Apa Eyang?”

“Ibumu pergi dari pesantren tanpa pesan ….”

“Apa? Ibu meninggalkan pesantren?”

“Ya.”

“Kenapa?”

“Ini masalah dengan Sang Kyai. Nanti beliau yang akan menyelesaikan dengan ibumu. Mudah-mudahan ibumu pulang …kee…kee…”

“Purwonegoro.”

“Ya. Ke Purwonegoro. Sang Kyai yang akan menyusul ibumu ke sana.”

“Sang Kyai? Mengapa harus Sang Kyai? Bukankah bisa utusan santri?”

“Sang Kyai juga orang Purwonegoro.”

“Ooo… jadi…jadi…. Sang Kyai dari sana?”

Raut wajah heran terlintas jelas di wajah Abu Najmudin. Sang Kyai yang akan menjemput ibunya. Ia berfikir keras bahwa ada sebuah masalah penting dalam diri Sang Kyai. Pemuda itu memandangi wajah Sang Kyai hingga lama.***

Bersambung ke seri 22

Insya Allah Jumat mendatang ...........................

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun