Mohon tunggu...
Didik Agus Suwarsono
Didik Agus Suwarsono Mohon Tunggu... Cah Angon -

"Khoirunnas anfa'uhum linnas"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa Kabar (De)centralisasi Perikanan?

10 September 2017   09:01 Diperbarui: 10 September 2017   11:06 1345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto (Sumber: Kompas)

Dua tahun masa transisi Undang-Undang 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah berlalu. Hal tersebut berarti bahwa secara de jure semua ketentuan dan klausul hukum yang diatur dalam Undang-undang tersebut seyogyanya sudah bisa diimplementasikan dalam tataran praktis. Sebagai sebuah produk hukum, undang-undang pemerintah daerah selalu menarik untuk didiskusikan, apalagi yang terkait dengan pembagian kewenangan Pusat-Daerah dan mekanisme desentralisasi. 

Undang-undang ini memang berpotensi merekonstruksi pakem decentralisasi perikanan yang telah berjalan. Perubahan yang paling signfikan tentu adalah tata kelola perizinan di tingkat Kabupaten/Kota yang saat ini telah diserahkan ke tingkat provinsi dan beberapa fungsi manajemen lainnya. Artikel ini sebenarnya tidak fokus pada produk hukum dan UU Pemerintahan Daerah semata, namun lebih melihat dua hal penting. Pertama, sejauh mana desentralisasi perikanan telah berdampak baik positif maupun negatif bagi tata kelola perikanan di Indonesia. Kedua, bagaimana masa depan desentralisasi perikanan pasca UU Pemerintahan Daerah berlaku secara penuh.

Desentralisasi: Dua Sisi Mata Pisau

Desentralisasi itu seperti dua sisi mata pisau. Dia bisa memberikan manfaat yang besar tapi pada waktu yang sama juga punya potensi untuk memberikan dampak merusak. Proudhomme (1995) dalam tulisannya berjudul "the danger of decentralisation" telah mengingatkan potensi mudlarat dari sistem desentralisasi tersebut. Ada isu-isu yang perlu diantisipasi dalam kebijakan desentralisasi, seperti bagaimana agar desentralisasi tidak membuat ruang disparitas semakin melebar dan kesenjangan antar daerah justru tidak semakin besar. Juga pentingnya menjaga stabilitas di tengah spektrum kepentingan tiap daerah yang begitu beragam. Serta bagaimana mencegah agar program desentralisasi tidak malah membuka ruang baru bagi penyimpangan seperti korupsi. Secara khusus Proudhomme juga menekankan pentingnya peran institutional capacity sebagai salah satu driving force yang akan berpengaruh besar dalam menentukan ke arah mana desentralisasi itu akan dibawa, manfaat atau mudlarat.

Pada sisi yang lain,  begitu banyak perubahan besar dalam tata kelola pemerintahan justru dimulai dari gagasan desentralisasi. Grvingholt et al.(2006) menekankan dua argumentasi penting agar  desentralisasi dapat menjadi solusi dan perbaikan bagi sistem. Pertama, desentrasalisasi membuka ruang yang besar bagi publik untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Desentralisasi memberikan kesempatan untuk diadopsinya nilai-nilai lokal yang semula mungkin tidak tersentuh dalam sebuah sistem sentralistik. Desentralisasi juga memberikan pendekatan yang lebih bersifat bottom up. Kedua, desentralisasi dapat menjadi salah satu shortcut dalam meningkatkan fungsi pelayanan kepada publik. Sekat-sekat birokrasi dapat dipangkas  sehingga fungsi pelayanan kepada masyarakat dapat berjalan secara efektif dan efisien. Namun, hal tersebut tentu perlu ditopang oleh institusional capacity yang memadai baik yang bersifat formal maupun informal.

Desentralisasi Perikanan di Indonesia: sebuah refleksi

Desentralisasi perikanan di Indonesia mengalami periode perkembangan yang pesat pasca era reformasi dengan disahkannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah serta dengan diberikannya kewenangan yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan di wilayahnya (Satria and Matsuda 2004). Perjalanan desentralisasi perikanan dalam satu dasawarsa terakhir ini tidak selalu mulus memang dan banyak dinamika yang terjadi. Namun demikian, kita tentu tidak boleh melupakan bahwa ada niat mulia dibalik penyerahan kewenangan tata kelola perikanan kepada Pemerintah Daerah. Nawaitu (niat) desentralisasi adalah untuk membuka ruang keberpihakan dan keadilan yang tidak diperoleh dari sistem sentralistik dengan mengurangi bahkan menghilangkan sekat-sekat penghalang bagi distribusi kesejahteraan dan kemajuan. Cukupkah dengan niat itu saja? Tentu niat yang baik saja tidaklah cukup. Lantas bagaimana kita mengukur dampak desentralisasi perikanan terhadap tata kelola perikanan?. Sejauh mana desentralisasi perikanan mampu menjadi instumen mewujudkan tujuan bersama, keberlanjutan sumber daya perikanan, keadilan pemanfaatan sumber daya dan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan?.

Kualitas desentralisasi dapat dilihat dengan menggunakan beberapa instrumen penilai. Vengroff-Ben Salem Model merupakan salah satu model yang banyak digunakan untuk menilai kualitas desentralisasi di suatu negara (John & Chathukulam 2003). Model ini menilai desentralisasi berdasarkan tiga aspek dasar yaitu scope, intensity dan commitment. Scope menggambarkan seberapa luas coverage area penerapan program desentralisasi baik dari aspek geografis, populasi maupun fungsi kewilayah. Pendek kata, semakin besar scope yang dimiliki, semakin significantlah program desentralisasi. Adapun intensity merujuk pada seberapa kuat level, intensitas dan bentuk desentralisasi diimplementasikan dalam tata kelola pemerintahan baik yang berkaitan dengan komposisi personalia, perimbangan keuangan pusat dan daerah, maupun level kontrol pemerintah pusat yang masih dipertahankan. Ketiga hal tersebut merupakan daya dorong yang kuat bagi program desentralisasi. Sedangkan commitmen merupakan manifestasi dukungan dari pemerintah pusat dalam pelaksanaan desentralisasi, wujudnya dapat berbentuk legal structure, dukungan finansial dan personil maupun dukungan lainnya. Lantas dimana posisi desentralisasi perikanan kita saat ini?

Jika kita melihat semua indikator di atas, maka sejatinya kita melihat optimisme yang cukup besar pada sistem desentralisasi perikanan di Indonesia. Ada banyak hal positif baik yang berkaitan dengan scope, intensity maupun commitmentterhadap desentralisasi perikanan. Peran yang semakin besar dari pemerintah daerah dalam manajemen perikanan di wilayah masing-masing adalah salah satu manifestasi kemajuan desentralisasi perikanan yang akan sulit kita bantah. Namun demikian, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa sistem desentralisasi perikanan juga menjadi salah satu muara dalam carut marut tata kelola perikanan di Indonesia. Tidak terkontrolnya perizinan kapal perikanan, overfishing di beberapa wilayah pengelolaan perikanan akibat tekanan yang besar terhadap sumber daya perikanan dan eskalasi konflik horisontal menjadi bumbu-bumbu lain dari desentralisasi perikanan di Indonesia. Fauzi (2012) menggambarkan konflik di perairan Pantai Utara Jawa antara Nelayan Jawa dan Kalimantan yang berebut dan saling mengklaim fishing ground sebagai salah satu buah pahit dari desentralisasi perikanan yang masih belum berjalan maksimal. Wilayah laut tak lagi menjadi perekat namun telah terkotak-kotak dan menjadi sumber konflik. Masih segar dalam ingat kita, bagaimana tarik ulur yang panjang terjadi dalam pelarangan trawldan seine netantara pemerintah pusat dan daerah. Tidak terkontrolnya jumlah alat tangkap ini menjadikan pelarangan sangat sulit dilaksanakan akibat dampak sosial-ekonomi sedemikian besar. Sukar rasanya untuk mengatakan bahwa desentralisasi tidak punya andil dalam hal lemahnya kontrol terhadap perizinan. Semua itu seakan menjadi nada minor di tengah pemujaan terhadap sistem desentralisasi perikanan.

Undang-undang 23 tahun 2014: Nuansa (de)centralisasi perikanan

Di tengah ikhtiar untuk memperbaiki desentralisasi perikanan, Undang-undang 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sejatinya menjadi antitesa bagi desentralisasi itu sendiri. Undang-undang ini memang tidak menghilangkan desentrasalisasi, namun dia membangun ruang centralisasi baru dengan meletakkan kewenangan yang besar kepada Provinsi. Dalam bidang penangkapan ikan misalnya, kewenangan pengelolaan perikanan dibawah 12 mil termasuk perizinan kapal perikanan 5 GT-30 GT diambil alih oleh Provinsi. Pemerintah Kabupaten/Kota 'hanya' dilibatkan dalam  pemberdayaan nelayan kecil dan pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Apakah ini akan menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh sistem desentralisasi perikanan sebelumnya?. Secara pribadi, saya juga tidak bisa menjawab. Namun paling tidak kita bisa melihat bahwa kebijakan baru ini memiliki implikasi terhadap tata kelola perikanan saat ini.

Kemampuan Pemerintah Provinsi untuk mengelola perizinan ratusan ribu kapal perikanan di wilayahnya menjadi salah satu isu yang sangat serius. Dari perspektif pelayanan publik, tentu ini akan berdampak sangat besar terhadap pelayanan perizinan kapal perikanan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana nelayan-nelayan di tempat terpencil harus mengurus izinnya ke Kantor Provinsi, betapa jauh jarak yang harus ditempuh, biaya yang harus dikeluarkan serta waktu yang dibutuhkan untuk mendapat izin penangkapan ikan. Hal ini tentu berlawanan dengan prinsip-prinsip pelayanan publik yang baik dan tidak mencerminkan tujuan desentralisasi, sebab salah satu tujuan utama dalam pelaksanaan desentralisasi adalah memberikan publik akses yang lebih mudah terhadap pelayanan yang dibutuhkan (Robinson 2007). Dalam perspektif ini, saya tidak melihat bahwa Undang-undang 23 tahun 2014 ini mempertimbangkan aspek kemudahan dalam public service delivery. Hal itu terlihat dengan tidak dipertimbangkannya aspek geografis, akses, dan ragam stakeholder yang membutuhkan pelayanan yang terkait dengan perizinan kapal perikanan. Kecuali, jika Provinsi didukung oleh jumlah Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang cukup untuk menyelanggarakan pelayanan di masing-masing Kabupaten/Kota.

Masalah lainnya tentu bagaimana melaksanakan tata kelola Monitoring, Controlling dan Surveillance(MCS) yang memadai sementara Provinsi masih harus berkutat dengan isu-isu teknis dan administratif seperti jumlah dan kapasitas SDM, jumlah UPT Provinsi di wilayah Kabupaten/Kota serta terbatasnya sarana prasarana. Sementara pada sisi yang lain, wilayah pengelolaan perikanan menjadi lebih besar. Formulasi terhadap tata kelola perikanan dibawah rezim undang-undang Pemerintahan Daerah ini sebaiknya segera dirumuskan. Apakah Kabupaten/Kota akan 'benar-benar' absen dalam tata kelola perikanan atau ada formulasi lain yang memberikan ruang bagi Pemerintah Kabupaten/Kota untuk terlibat dalam pengelolaan perikanan di wilayah masing-masing? Peraturan turunan  baik Peraturan Pemerintah maupun regulasi teknis lainnya mutlak diperlukan untuk memberikan kejelasan 'masa depan' desentralisasi perikanan di Indonesia saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun