Mohon tunggu...
Diana Afifah
Diana Afifah Mohon Tunggu... Suka-suka kalo nulis

Hai kompasiner.. selamat datang di platform orang yang kadang suka nulis. Senang bisa sharing hal-hal random, renyah sampai berat, kalau lagi mikir aja, sisanya lupa ditulis. Dari background psikologi, nulis hanya biar ngga stress aja, tetap terbuka untuk belajar ilmu baru. Selalu ada hal-hal yang seru diluar diri kita, teruslah belajar dan mencari sesuatu yang menakjubkan dihidupmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menanggalkan Haru Biru

28 Mei 2025   10:06 Diperbarui: 28 Mei 2025   10:06 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu cukup ribut, marah dan kecewa. Situasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, bahkan tak ingin ku bayangkan sepenuhnya. Lekat ku perhatikan wajah-wajah merana dan merah padam, seperti enggan berkata atau malah bisu membatu. Semua terkesan tiba-tiba, tanpa pernah mengirim tanda. Anehnya pagi itu aku tampak biasa, tak kurasa marah, jengkel, atau ingin menangis. Mungkin karena terbiasa aku jadi enggan menampakkan emosi, terkesan cuek tapi memang itu yang aku inginkan. 

Sejak saat itu emosiku telah hilang, semua terasa datar dan biasa. Mungkin wajahku seperti batu, karena engga menampakkan ekspresi yang berlebih. Mulai hari itu semua berjalan lambat. Lucunya tak sering mendengar teriakan, pembelaan, atau unek-unek yang ingin diledakan. Mungkin semua lelah, tak terkecuali aku. 

Hidup kadang mulai absurd, tak mengerti apa yang diinginkan atau menginginkan apa dari orang lain.  Padahal kita tahu akan kecewa hasilnya. Namun hidup bersama kadang juga menjengkelkan, tapi hidup sendiri juga kesepian. huh.. memang seabsurd itu manusia. 

Aku memutuskan untuk menanggalkan luka, tak ada lagi haru biru yang menyelimuti hatiku. Semua menjadi seperti robot, bangun untuk menyelesaikan tugas wajib, selepasnya aku akan memilih tidur untuk waktu yang lama. Mungkin ketika tahu ini, sebagian orang menganggapku depresi, tapi aku enggan mati. Ku rasa ini hanya lelah, lelah dengan segala keadaan yang terkadang butuh kemanusiaan. Aku tak peduli derita orang lain, apa lagi mulut-mulut sok tahu yang menganggap ini tak ada apa-apanya. Ku hargai ke-sok-tahuanmu itu, karena bagiku derita tak memandang siapa yang ingin dia ikuti, semua telah ambil porsi, lantas apa ? mau kau kembalikan ? tak mungkin. Pilihanmu hanya akan memakannya atau membuangnya. 

Dan aku memilih memakannya, meski secara perlahan namun seperti enggan menelannya. Hanya butuh rasanya bukan ampasnya. Situasi memilihku untuk berjalan, dia lebih tahu tujuan mana yang akan ku jemput, meski aku sendiri masih enggan. Melihat hatiku membatu terkadang lebih menyenangkan daripada melihatnya mengharu.

Diakhir malam itu, ku putuskan untuk memejamkan mata. Lebih jauh terseret bahkan tenggelam, sampai aku tersadar dan memutuskan untuk menahan napas dan berenang.   

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun