Mohon tunggu...
didan bintang taruna
didan bintang taruna Mohon Tunggu... TARUNA TINGKAT II POLITEKNIK PENGAYOMAN INDONESIA

Saya adalah seorang mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan di Politeknik Pengayoman Indonesia. Saya memiliki ketertarikan pada isu-isu pemasyarakatan, hukum, dan teknologi forensik modern. Selain aktif dalam kegiatan akademik, saya juga senang menulis dan berbagi pandangan seputar dinamika sistem pemasyarakatan di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menuju Pemasyarakatan yang Berkeadilan: Menimbang Pidana Alternatif dalam UU NO. 1 Tahun 2023 Tentang KUHP

18 Mei 2025   07:55 Diperbarui: 18 Mei 2025   07:55 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Youtube: BPSDM Kemenkum Webinar Sosialisasi UU No. 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Reformasi hukum pidana di Indonesia memasuki babak baru dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Perubahan paradigma dari pendekatan yang menitikberatkan pada kepastian hukum bergeser ke arah pendekatan yang mengedepankan kemanfaatan dan efektivitas dalam penegakan hukum. Dalam konteks ini, meskipun pidana penjara merupakan pidana pokok, KUHP baru tidak lagi menjadikannya sebagai satu-satunya bentuk pidana utama, melainkan mendorong penerapan pidana alternatif sebagai bagian dari sistem pemidanaan.

Pidana alternatif seperti kerja sosial dan pengawasan menjadi angin segar dalam menghadapi masalah klasik pemidanaan, terutama terkait over kapasitas lembaga pemasyarakatan (Lapas) yang selama ini menjadi masalah tahunan. Lebih dari itu, pendekatan ini mencerminkan upaya hukum pidana untuk kembali ke akar filosofinya: bukan semata menghakimi, melainkan memperbaiki.

Gagasan ini membutuhkan kesiapan nyata dalam pelaksanaannya. Aparat penegak hukum, lembaga pemasyarakatan, dan masyarakat dituntut untuk mampu beradaptasi dengan perubahan paradigma tersebut. Ketersediaan petugas pengawas, rancangan kerja sosial yang terstruktur, serta pelibatan korban dalam proses restoratif menjadi faktor penentu agar pidana alternatif tidak hanya menjadi konsep normatif, melainkan dapat berjalan efektif dan bermakna.

Melalui pidana alternatif, negara menggeser paradigma pemidanaan dari pendekatan retributif menuju pendekatan restoratif. Hukuman kerja sosial memberi kesempatan bagi pelaku tindak pidana ringan untuk menebus kesalahan melalui kontribusi nyata kepada masyarakat. Sementara itu, pidana pengawasan memberikan bentuk kontrol yang tidak harus diwujudkan dalam penahanan fisik.

Namun, kebijakan ini tetap memiliki potensi disalah gunakan. Ketidak siapan sistemik dapat membuka ruang praktik transaksional dalam penerapan pidana alternatif. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengawasan yang akuntabel dan transparan untuk memastikan pidana alternatif dijatuhkan secara adil, tanpa campur tangan kekuasaan atau kepentingan ekonomi.

Sebagai bentuk hukum yang terukur, KUHP baru menetapkan batasan terhadap jenis pidana yang dapat dijatuhi pidana alternatif. Hal ini tercantum dalam Pasal 100 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2023, yakni pidana alternatif hanya berlaku bagi pelaku yang diancam pidana penjara maksimal lima tahun. Ketentuan ini merupakan langkah strategis untuk memfokuskan pemidanaan penjara hanya bagi pelaku kejahatan serius dan memberikan penyelesaian yang lebih proporsional terhadap kasus ringan.

Model restoratif ini juga harus mampu mengakomodasi dimensi keadilan bagi korban. Pidana alternatif bukan hanya soal perlakuan terhadap pelaku, melainkan juga menyangkut pemulihan hubungan sosial yang rusak akibat tindak pidana. Keadilan tidak boleh bersifat sepihak, melainkan harus memperhatikan hak, kebutuhan, dan suara korban.

Keberhasilan pidana alternatif tidak hanya diukur dari menurunnya jumlah penghuni lapas, melainkan juga dari dampaknya terhadap perubahan perilaku pelaku, pemulihan korban, dan terciptanya keadilan sosial. Negara-negara seperti Norwegia dan Belanda telah menunjukkan efektivitas pendekatan ini dalam menekan angka residivisme. Indonesia berpeluang menyesuaikan keberhasilan serupa melalui implementasi kebijakan yang konsisten, kontekstual, dan terukur.

Dalam konteks itu, pidana alternatif bukanlah bentuk keringanan, tetapi manifestasi dari pendekatan hukum yang lebih humanis. Tidak semua kesalahan harus dibalas dengan pemenjaraan. Rehabilitasi, pemulihan, dan pengawasan dapat menjadi bentuk hukuman yang jauh lebih bermakna bagi semua pihak yang terlibat.

Oleh karena itu, implementasi kebijakan ini perlu dikawal secara kritis dan konstruktif. Reformasi hukum pidana tidak boleh berhenti pada perubahan norma hukum semata, tetapi harus diikuti dengan perubahan pola pikir, penguatan institusi, dan partisipasi aktif masyarakat. Masa depan hukum pidana Indonesia yang lebih adil, manusiawi, dan efektif sangat mungkin dibangun melalui pijakan baru ini, dengan catatan bahwa komitmen terhadap keadilan substantif tetap menjadi arah utama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun