Memasuki tahun ajaran baru menjadi momentum dilaksanakannya sekolah rakyat yang digagas pemerintah melalui Kementerian Sosial. Sekolah rakyat diselenggarakan untuk memutus rantai kemiskinan di sektor pendidikan, sehingga program ini hanya diperuntukkan untuk anak dari keluarga miskin supaya tetap memperoleh layanan pendidikan yang baik. Melihat dari website sekolah rakyat, gambaran prototipe fasilitas yang disediakan sudah seperti kelas modern, terlebih adanya asrama dan tempat ibadah diharapkan mampu meningkatkan kualitas belajar siswa. Tenaga pendidik juga telah disiapkan dengan merekrut ASN dan PPPK penuh/paruh waktu serta bersertifikasi pendidik. Tapi masih menjadi pertanyaan besar apakah sekolah rakyat ini akan berjalan secara maksimal dan kosisten atau kedepannya akan dihapus lagi?, terlebih budaya ganti kepemimpinan mempengaruhi tata kelola pendidikan seperti menjadi hal yang lumrah di negeri ini.
Mungkin tujuan pemerintah menggagas sekolah rakyat memiliki arah yang lebih baik dalam hal pendidikan, hanya saja implementasinya yang perlu dikaji ulang supaya lebih efektif. Pertama, sekolah rakyat belum memiliki filosofi pendidikan secara jelas. Merujuk kembali didalam websitenya, sekolah rakyat mendukung pembelajaran akademik yang tersistematis sesuai regulasi nasional dari Kemendikdasmen, Kemendiktiristek, Kemenag, dan Kemensos. Pertanyaannya, kenapa tidak dialihkan ke sekolah dalam naungan Kemendikdasmen atau Kemenag saja jika memiliki kesesuaian kurikulum, sehingga tinggal mengoptimalkan capaian pembelajaran dan tidak perlu membuat sekolah baru. Hal ini masih menjadi tanda tanya besar dan menimbulkan persepsi bila sekolah rakyat seperti dilaksanakan tanpa pertimbangan matang.
Kedua, melihat dari sisi postur anggaran pendidikan Indonesia saat ini masih sangat kurang untuk membiayai semua program pendidikan. Pembangunan asrama sebagai bagian fasilitas sekolah rakyat sudah kelihatan akan menelan biaya, belum lagi kebutuhan penunjang/fasilitas lainnya. Penyelenggaraan sekolah rakyat sendiri menjadi paradoks dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menginginkan pemerintah membuat kebijakan untuk menggratiskan pendidikan di sekolah negeri dan swasta yang notabene seharusnya bisa dimanfaatkan oleh keluarga miskin. Walaupun keputusan ini dicanangkan mulai berlaku tahun 2026, setidaknya pemerintah mulai mempersiapkan rancangan implementasinya di periode mendatang dan tidak gegabah menyelenggarakan sekolah rakyat yang sebenarnya sejalan dengan keinginan MK dalam memberikan akses pendidikan terjangkau bagi seluruh masyarakat.
Ketiga, diprediksi terjadi persaingan untuk mencari murid baru antara sekolah rakyat dengan sekolah negeri dan swasta. Tidak dapat dipungkiri, sampai dengan tahun ajaran baru sekarang masih terdapat sekolah yang menyelenggarakan MPLS dengan jumlah siswa sangat sedikit. Hal ini diproyeksi akan terus terjadi dan mulai menggeser eksistensi sekolah negeri atau swasta. Terlebih Mensos mengatakan bila fasilitas yang ditawarkan setara sekolah unggulan seperti asrama, laptop untuk tiap siswa, dan papan tulis digital. Dikhawatirkan pernyataan tersebut menimbulkan kecemburuan sosial atau justru orang tua berbondong -- bondong menyekolahkan anaknya ke sekolah rakyat karena tergiur fasilitasnya. Pernyataan ini wajar muncul karena sampai saat ini tidak sedikit fasilitas sekolah belum memenuhi kelayakannya. Laporan BPS bertajuk Statistika Pendidikan 2024 menyebut bahwa masih banyak kondisi sekolah mengalami kerusakan, terlebih jenjang SD mengalami rusak berat sebesar 10,52%. Kontan saja akan terjadi kesenjangan jika fasilitas sekolah rakyat ternyata tidak setara dengan sekolah lainnya yang faktanya lebih membutuhkan perhatian.
Antusiasme meningkatkan kompetensi SDM dan pemerataan pendidikan harus diperhatikan secara serius oleh pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan. Kebijakan pemerintah kali ini bisa dikatakan terburu -- buru dalam menjalankan konsep sekolah rakyat karena belum ada urgensi untuk melaksanakannya. Hal ini seharusnya disadari oleh pemerintah sedari awal bahwa bidang pendidikan sesungguhnya bukan tupoksi Kementerian Sosial. Logika sederhana tersebut menjadi landasan pemerintah untuk berpikir ulang dalam menyelenggarakan sekolah rakyat. Kedepannya akan lebih baik bila program tersebut dikelola menjadi satu melalui Kemdikdasmen atau Kemenag yang memiliki tupoksi lebih baik soal pendidikan, selanjutnya anggaran yang dibutuhkan dapat dialihkan kepada peningkatan kualitas aspek pembelajaran lainnya, dan bisa difokuskan di daerah 3T yang jangkauan pendidikannya masih sangat sulit sampai detik ini.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI