Mohon tunggu...
Dwi YanDicky
Dwi YanDicky Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pemuda

Memayu Hayuning Bawono

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Persoalan Dunia Cyber: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 (UU ITE) dan Kebebasan Berekspresi

14 Januari 2022   14:35 Diperbarui: 14 Januari 2022   14:50 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Persoalan Dunia Cyber: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 (UU ITE) dan Kebebasan Berekspresi

Kebebasan berekspresi atau menyampaikan pendapat adalah salah satu hak yang melekat pada diri manusia, apalagi disebuah negara demokrasi dimana kritik adalah jantungnya dari sebuah negara demokrasi. Kebebasan berpendapat tersebut dijamin didalam Pasal 28 UUD NRI 1945 dimana setiap orang berhak untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. 

Maka negara melalui pemerintah harus menjamin hak asasi kebebasan berpendapat sebagaimana merupakan salah satu indikator dari sebuah negara hukum yakni sebuah negara hukum harus mampu menjamin hak asasi manusia. Maka Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana termaktub didalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945 bahwa Indonesia adalah negara yang berbentuk hukum harus mampu menjamin hak asasi manusia, salah satunya adalah soal kebebasan berekspresi.

Seiring perkembangan zaman, ruang cyber merupakan salah satu muka publik dimana menjadi ruang dalam penyampaian pendapat, kritik, maupun aspirasi terhadap pemerintah. Melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hal tersebut diatur. 

Namun seiring berjalannya waktu, dimana awal pembentukan undang-undang tersebut ditujukan untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam transaksi elektronik selaras dengan meningkatnya pengguna internet nasional agar tidak disalahgunakan, realitas justru menunjukkan hal-hal yang berlebihan. Dimana UU ITE kerap digunakan untuk menjerat pihak-pihak yang vokal mengkritik pemerintah, atau juga pihak yang anti terhadap pemerintah.

Delik yang biasanya dijerat kepada pihak yang dinilai melanggar UU ITE adalah soal pencemaran nama baik dan juga menghina. Hal tersebut menjadi multitafsir dan dapat dimanfaatkan pihak yang merasa dirugikan atas kritik yang disampaikan karena tidak dijelaskan secara rinci maksud dari menghina dan pencemaran nama baik tersebut yang seperti apa. Maka UU ITE kerap sekali menjerat para aktivis yang mengkritik pemerintah kemudian dianggap melakukan penghinaan terhadap Presiden. Terlebih lagi Polri telah menerbitkan Perkapolri tentang penghinaan terhadap Presiden. Maka aktivis yang getol untuk mengkritik lebih mudah lagi untuk dikriminalisasi melalui ranah cyber. 

Banyaknya kasus tersebut mengalami peningkatan yang signifikan, dilansir dari data Amnesty Internasional bahwa dari tahun 2009-2014 masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat terdapat 74 kasus, dan pada tahun 2014-2019 pada masa Presiden Joko Widodo meningkat tajam menjadi 233 kasus. Hal tersebut tidak sejalan dengan semangat awal pembentukan UU ITE dimana untuk menjamin kebebasan transaksi elektronik ditengah meningkatnya pengguna internet dan transaksi elektronik nasional, namun justru focus untuk mengkriminalisasi pihak yang mengkritik pemerintah.

Semangat UU ITE harus diselaraskan dengan jaminan soal hak asasi manusia. Pembatasan UU ITE agar kebebasan berpendapat melalui dunia cyber haruslah dapat dijamin, namun juga tidak kebebasan harus jadi pembenahan. Agar tidak terjadi penyalahgunaan peraturan untuk melanggengkan kekuasaan, apalagi membudayakan negara demokrasi yang anti terhadap kritik masyarakat.

Salah satu kasus yang terjadi dalam hal ini adalah pelaporan yang dialami penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan oleh Ormas Pemuda, Pelajar, dan Mahasiswa Mitra Kamtibmas (PPMK) atas cuitan Novel Baswedan di Twitter yang mempertanyakan mengapa Ustadz Maaher At-Thuwailibi meninggal di Rutan Bareskrim Polri. Novel Baswedan mengkritik Polri, mengapa orang sakit masih ditahan dan tidak dilarikan ke rumah sakit.

 Novel Baswedan meminta Polri tidak berlebihan menangani suatu perkara. Karena hak untuk sehat juga merupakan hak yang melekat dari seorang manusia. Namun cuitan Novel Baswedan tersebut dianggap provokatif dan merupakan berita hoax sehingga dilaporkan dengan pasal karet diantaranya Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 dan Pasal 45A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2016 tentang ITE.

Hal tersebut seharusnya tidak direspon dengan pelaporan terhadap Novel Baswedan yang mengkritik kerja dari kepolisian. Namun disikapi dan dijadikan sebagai masukan untuk kedepan agar tidak terjadi lagi peristiwa-peristiwa serupa. Mengingat terdakwa atau tersangka sekalipun ia tetap berhak untuk menikmati pengobatan apabila menderita sakit. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun