Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Let's talk about life.

IG: cakesbyzas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kenapa Banyak Orang Menikmati Streamer Game, Padahal Cuma Menonton?

14 Oktober 2025   08:21 Diperbarui: 14 Oktober 2025   12:29 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menonton streamer game bisa membuat orang terjebak dan menyia-nyiakan waktu (Gemini AI-Generated image)

Tapi justru di sinilah letak jebakannya. Kalau kebiasaan "melarikan diri" ini terlalu sering dilakukan, Anda bisa lupa menghadapi kenyataan. Menonton jadi bukan sekadar hiburan, tapi pelarian. Lama-lama, waktu yang seharusnya bisa dipakai untuk memperbaiki diri malah habis untuk ikut dalam kisah orang lain.

Keterikatan Emosional yang Nyata

Streamer yang sukses tahu bagaimana membangun kedekatan. Mereka tidak cuma bermain game; mereka membentuk komunitas. Ada cara mereka berbicara, bercanda, atau menunjukkan sisi rapuh yang membuat penonton merasa dekat.

Banyak penonton yang tidak sekadar menikmati gameplay, tapi juga kepribadian streamer-nya. Mereka menunggu kehadiran orang yang membuat mereka merasa nyaman, seperti menunggu kabar dari teman lama. Bahkan ketika tidak ada hal besar yang terjadi, kehadiran itu sendiri sudah memberi rasa tenang.

Ini menjelaskan kenapa banyak orang tetap menonton meskipun sudah tahu hasil permainan, atau meskipun game-nya tidak terlalu menarik. Mereka tidak datang untuk game-nya, tapi untuk orang di balik layar itu.

Keterikatan semacam ini mengandung sisi psikologis yang dalam. Manusia, pada dasarnya, makhluk sosial yang butuh rasa terhubung. Di dunia digital, koneksi itu bisa terasa nyata meski secara teknis tidak timbal balik. Anda memberi waktu dan perhatian, streamer memberi hiburan dan kedekatan emosional. Ada pertukaran yang terasa cukup untuk menenangkan hati yang sepi.

Ilusi Partisipasi

Menariknya, menonton streamer tidak benar-benar membuat penonton pasif. Ada kolom komentar, emoticon, dan interaksi cepat yang menciptakan rasa "ikut terlibat". Meskipun peran Anda kecil, tetap ada sensasi kalau Anda menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.

Anda bisa memberi komentar, dan siapa tahu streamer membacanya. Anda bisa ikut menertawakan lelucon yang sama dengan ribuan orang lain di chat. Anda merasa menjadi bagian dari sebuah komunitas global---orang-orang yang menyukai hal yang sama, tertawa pada momen yang sama, dan menantikan hasil yang sama.

Secara sosial, ini memenuhi kebutuhan manusia untuk merasa menjadi bagian dari kelompok. Mungkin di dunia nyata seseorang tidak terlalu punya banyak teman, tapi di dunia streamer, ia punya tempat. Ia punya identitas digital yang diterima.

Tapi di sisi lain, inilah paradoks besar dunia digital. Semakin banyak Anda merasa terhubung, semakin Anda bisa merasa kosong setelah layar dimatikan. Karena hubungan itu, sekuat apa pun terlihat, tidak benar-benar saling mengenal. Yang Anda beri bukan cuma waktu, tapi perhatian---dan itu salah satu aset paling berharga manusia modern.

Pencarian Identitas dan Validasi

Di balik layar kaca itu, ada kebutuhan yang lebih dalam: kebutuhan untuk merasa dilihat. Banyak penonton yang tidak sekadar menonton, tapi juga ingin dikenal. Mereka menulis komentar panjang, memberi donasi, atau membuat fanart demi menarik perhatian streamer favoritnya.

Rasanya menyenangkan ketika nama Anda disebut di tengah siaran. Ada perasaan kalau Anda "ada". kalau Anda diakui. Di dunia yang serba cepat dan penuh tekanan ini, validasi kecil seperti itu bisa sangat berarti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun