Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Let's talk about life.

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Arogansi, Flexing, dan Harga yang Harus Dibayar

31 Agustus 2025   08:56 Diperbarui: 31 Agustus 2025   08:56 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesombongan dan flexing seringkali dibayar dengan harga yang sangat mahal (Gemini AI-Generated Image) 

Mengapa Orang Suka Pamer?

Anda pasti pernah melihat orang yang seolah hidupnya selalu penuh prestasi, pencapaian, atau barang baru. Di media sosial, ada yang suka mengunggah mobil barunya, liburan mewahnya, bahkan slip gajinya. Di kantor, ada rekan yang tidak henti-hentinya menceritakan proyek besar yang ia tangani, seolah semua orang harus tahu. Di lingkungan keluarga pun, ada saja kerabat yang setiap kali berkumpul, lebih sibuk menunjukkan keberhasilan anaknya dibanding mendengarkan cerita orang lain.

Kalau Anda perhatikan, fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Cuma saja, di era digital sekarang, ruang untuk "flexing" jadi jauh lebih luas. Dulu, orang cuma bisa pamer di lingkaran sosial yang terbatas. Tapi sekarang, dengan satu klik, satu postingan bisa menjangkau ratusan bahkan ribuan orang.

Pertanyaannya, kenapa manusia begitu mudah jatuh pada dorongan untuk berbangga diri? Apa sebenarnya yang dicari? Dan yang paling penting, apakah kesombongan benar-benar membawa kebahagiaan, atau justru membuka pintu menuju kehancuran yang kadang datang dengan cara yang sangat keras?

Rasa Ingin Dihargai: Naluri Manusia yang Normal

Kalau kita bicara jujur, setiap orang pasti ingin dihargai. Anda juga pasti pernah merasa senang saat mendapat pujian dari atasan, atau ketika teman mengakui kerja keras Anda. Itu manusiawi. Dalam psikologi, ada konsep yang disebut kebutuhan akan pengakuan sosial. Abraham Maslow, seorang psikolog terkenal, memasukkannya ke dalam hierarki kebutuhan manusia. Setelah kebutuhan dasar seperti makan dan keamanan terpenuhi, manusia butuh rasa memiliki dan dihargai.

Masalahnya muncul ketika kebutuhan itu berubah menjadi obsesi. Saat semua hal yang Anda lakukan cuma untuk menunjukkan siapa yang paling hebat, siapa yang paling kaya, siapa yang paling berhasil. Di titik itu, kebutuhan normal berubah menjadi kesombongan.

Kesombongan sering kali lahir bukan dari kekuatan sejati, tapi dari ketakutan. Ketakutan terlihat biasa saja. Ketakutan dianggap remeh. Ketakutan merasa tidak cukup berharga. Maka, muncullah dorongan untuk menutupi ketakutan itu dengan flexing, dengan pamer, dengan sikap arogan.

Padahal, orang yang benar-benar kuat tidak perlu banyak bicara. Kualitasnya terlihat dari sikapnya, bukan dari berapa sering ia menonjolkan diri.

Cerita Kecil: Pamer yang Berbalik Menjadi Malu

Bayangkan ada seorang karyawan di sebuah perusahaan. Ia baru saja mendapat bonus besar karena kinerjanya bagus tahun ini. Tanpa menunggu lama, ia membeli jam tangan mewah, lalu mengunggahnya di media sosial dengan caption yang bernada merendahkan orang lain.

"Kerja keras memang tidak pernah mengkhianati. Sementara yang lain masih ngeluh gaji kecil, ada juga yang bisa menikmati hasilnya."

Awalnya, beberapa orang memberi komentar positif. Tapi pelan-pelan, komentar itu berubah. Ada rekan kerja yang merasa tersindir. Ada tetangga yang mulai menjauh karena merasa dibandingkan. Dan ketika beberapa bulan kemudian perusahaannya terkena krisis dan ia harus dirumahkan, unggahan jam tangan itu menjadi bahan cibiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun