Anda bisa bayangkan perasaan orang itu. Pamer yang dulu membanggakan, tiba-tiba berubah jadi bumerang. Inilah yang sering terjadi dengan kesombongan. Saat sedang berada di atas, kita merasa aman. Tapi roda kehidupan tidak pernah berhenti berputar. Dan ketika ia berputar ke bawah, semua yang dulu kita banggakan bisa menjadi luka yang semakin menyakitkan.
Perspektif Islam: Kesombongan yang Menutup Hati
Dalam ajaran Islam, kesombongan sering dipandang sebagai penyakit hati yang berbahaya. Bukan cuma karena ia merusak hubungan dengan manusia lain, tapi juga karena ia membuat seseorang menutup diri dari kebenaran.
Bayangkan seseorang yang merasa dirinya paling pintar. Setiap kali diberi masukan, ia menolaknya. Setiap kali diperingatkan, ia merasa tidak perlu. Sampai akhirnya, ia benar-benar jatuh dalam kesalahan yang besar karena menolak belajar dari orang lain.
Kesombongan membuat Anda merasa cukup, padahal sebenarnya kosong. Membuat Anda merasa tinggi, padahal hakikatnya rapuh. Dalam banyak cerita kehidupan, orang yang jatuh karena sombong sering kali bukan karena diserang orang lain, tapi karena kakinya sendiri terpeleset oleh kesombongannya.
Kalau direnungkan, hikmahnya jelas. Kesombongan itu bukan cuma merugikan orang lain, tapi juga menghancurkan diri sendiri.
Arogansi di Dunia Kerja: Bumerang yang Mematikan
Mari kita lihat situasi nyata di dunia profesional. Pernahkah Anda bertemu seorang manajer yang selalu merasa paling benar? Setiap ide dari tim ditolak, setiap kritik dianggap ancaman. Ia cuma mau mendengar suaranya sendiri.
Mungkin awalnya orang-orang masih segan, masih ikut-ikut saja. Tapi lama-kelamaan, tim menjadi lelah. Kreativitas mati, semangat kerja turun, bahkan muncul keinginan untuk keluar dari tim tersebut.
Ketika akhirnya perusahaan melakukan evaluasi, hasil tim itu justru jeblok. Si manajer mungkin kaget, padahal selama ini merasa dirinya hebat. Tapi yang ia tidak sadar, arogansinya telah mematikan semangat orang-orang di sekitarnya.
Ini pelajaran yang keras. Dalam organisasi, kesombongan bukan cuma menghancurkan karier seseorang, tapi juga bisa merusak seluruh tim.
Flexing di Media Sosial: Antara Hiburan dan Racun
Media sosial memberi ruang baru untuk menunjukkan diri. Tidak ada yang salah dengan berbagi kebahagiaan. Misalnya, mengunggah foto kelulusan anak atau perjalanan wisata keluarga. Itu wajar.
Tapi masalahnya, garis antara berbagi kebahagiaan dan flexing itu tipis sekali. Kadang, tanpa sadar, seseorang memberi kesan seolah hidupnya sempurna, seolah semua orang lain harus iri.