Ketika Kaya Raya Terlihat Sejengkal Saja
Pernahkah Anda merasa tergoda melihat seseorang yang katanya cuma bermodal kamera ponsel dan sedikit kreativitas, tiba-tiba bisa membeli rumah mewah, keliling dunia, atau duduk di podcast ternama sambil menceritakan kisah suksesnya menjadi content creator? Semua itu terlihat sangat mudah. Cukup duduk di kamar, buat video lucu atau inspiratif, unggah ke media sosial, lalu... viral. Sesudah viral, rezeki seolah datang dari segala arah: endorsement, adsense, merchandise, tawaran kerja sama, sampai diundang ke acara TV. Siapa yang tak tergiur?
Di era digital seperti sekarang, kita memang sedang dikelilingi oleh narasi yang menampilkan kesuksesan sebagai sesuatu yang instan dan tanpa beban. Terutama dalam dunia content creator, semua terasa 'mungkin' untuk siapa saja. Narasi itu begitu menggoda, apalagi kalau Anda sedang dalam kondisi finansial yang sulit, merasa pekerjaan saat ini stagnan, atau baru lulus kuliah dan belum tahu arah hidup. Tapi pertanyaannya: benarkah semua itu semudah yang tampak di layar ponsel Anda?
Mereka yang Gagal Tak Pernah Masuk FYP
Inilah kenyataan yang sering kita lupakan: cuma yang berhasil yang ditampilkan. Sementara ribuan, bahkan jutaan orang lain yang mencoba jalan yang sama, tapi tak berhasil, tak pernah masuk ke beranda Anda. Mereka yang sudah membuat ratusan konten tapi tak kunjung viral. Mereka yang sudah mencoba segala macam tren tapi cuma mendapat beberapa like dari teman sendiri. Mereka yang mengorbankan waktu, tenaga, bahkan uang untuk perlengkapan dan promosi, tapi tak menghasilkan apa-apa. Di balik satu sosok yang viral, ada lautan orang yang gagal dan tenggelam dalam kesunyian algoritma.
Fenomena ini dalam psikologi disebut dengan survivorship bias, yaitu kecenderungan kita untuk cuma melihat dan meniru mereka yang berhasil, tanpa mempertimbangkan betapa banyaknya yang gagal tapi tak tampak. Ini menjadi jebakan yang sangat berbahaya, apalagi kalau dijadikan landasan mengambil keputusan besar dalam hidup. Apakah kita akan menggantungkan masa depan kita pada kemungkinan yang tak terukur dan tak pasti?
Islam dan Jalan Panjang Sebuah Proses
Dalam Islam, keberhasilan bukanlah sesuatu yang instan. Bahkan para nabi pun berjuang bertahun-tahun untuk menyampaikan kebenaran. Nabi Nuh 'alaihissalam berdakwah lebih dari 950 tahun dengan hasil yang sangat sedikit. Apakah beliau gagal? Tidak. Karena dalam Islam, keberhasilan bukan cuma diukur dari hasil akhir, tapi dari kesungguhan dalam proses, ketulusan niat, dan kesabaran dalam menjalani jalan yang benar.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Surah Al-Insyirah ayat 7, "Maka apabila kamu sudah selesai dari satu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain." Ini menunjukkan kalau hidup adalah tentang terus berproses. Tidak ada istilah berhenti atau mencari jalan pintas. Bahkan untuk urusan ibadah pun, kita diperintahkan untuk terus melakukannya secara konsisten, bukan sekadar sekali dua kali demi hasil langsung.
Fenomena keinginan cepat kaya, apalagi kalau diniatkan cuma untuk gaya hidup dan pengakuan sosial, bisa menjadi racun hati. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya..." (HR. Bukhari dan Muslim). Kalau niatnya tidak lurus, maka hasilnya pun tidak akan berkah, meskipun secara duniawi terlihat 'berhasil'.
Kaya Tanpa Modal Itu Mitos
Salah satu narasi paling menyesatkan dalam dunia content creator adalah: "tidak butuh modal." Padahal, kalau kita teliti lebih dalam, menjadi content creator yang benar-benar sukses butuh banyak hal yang tidak semua orang punya.
Pertama, butuh waktu yang sangat panjang. Banyak dari mereka yang baru terlihat sukses hari ini, ternyata sudah membuat konten selama 5-10 tahun tanpa henti.
Kedua, butuh keahlian teknis: editing video, manajemen sosial media, riset tren, public speaking, sampai storytelling.
Ketiga, butuh stabilitas mental. Dunia konten penuh tekanan: komentar jahat, ekspektasi audiens, algoritma yang berubah-ubah, bahkan ancaman kehilangan privasi.
Keempat, tetap butuh uang. Untuk beli alat, bayar internet, sewa tempat syuting, ikut pelatihan, dan sebagainya. Jadi, katakan pada diri kita dengan jujur: tidak ada keberhasilan tanpa pengorbanan.
Kalau kita bandingkan dengan membuka usaha kecil-kecilan seperti jualan makanan, membuka jasa, bertani, atau bekerja di sektor riil lainnya, bisa jadi justru lebih stabil dan realistis. Mungkin tidak langsung viral, tapi jelas dan pasti ada hasil. Dan yang terpenting: itu sesuai dengan nilai Islam, yaitu bekerja dengan tangan sendiri dan tidak menggantungkan nasib pada sensasi.
Fenomena Flexing dan Godaan Riyaa'
Di antara bahaya terbesar menjadi content creator yang mengejar ketenaran adalah jebakan riyaa', yaitu memperlihatkan amal atau kebaikan dengan niat dipuji manusia. Dalam konteks dunia digital, ini sering muncul dalam bentuk flexing: memamerkan gaya hidup, harta, atau bahkan sedekah, dengan tujuan mendapatkan perhatian dan pengakuan. Islam sangat tegas mengingatkan kalau riyaa' bisa menghapus pahala amal. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan terhadap kalian adalah syirik kecil." Para sahabat bertanya, "Apa syirik kecil itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Riyaa'." (HR. Ahmad).
Jadi ketika seseorang merasa 'berdakwah' melalui konten, tapi dalam hatinya ada niat ingin viral atau ingin terkenal, maka niat itu harus dikoreksi. Apalagi kalau cara yang ditempuh tidak lagi memperhatikan halal-haram, atau bahkan menabrak batas adab dan kesopanan cuma demi menarik atensi. Bukankah kita pernah melihat akun yang sengaja mengangkat topik sensitif, berpakaian terbuka, atau menyulut kontroversi, cuma demi reach dan engagement?
Realitas di Balik Kamera
Banyak dari kita lupa kalau yang ditampilkan di media sosial cumalah potongan terbaik dari hidup seseorang. Anda cuma melihat momen bahagia, pencapaian, atau tawa, tapi tidak tahu kalau bisa jadi saat kamera mati, mereka menangis, cemas, atau bahkan sedang berhutang. Dunia maya sering kali adalah ilusi yang dibangun dengan sangat rapi. Ketika kita terlalu larut membandingkan hidup kita dengan mereka, kita sedang membandingkan realita dengan sandiwara.
Ini sangat berbahaya untuk kesehatan mental. Banyak anak muda yang merasa gagal cuma karena followers-nya sedikit. Banyak yang minder karena hidupnya tidak seindah selebgram. Bahkan ada yang sampai mengalami depresi karena merasa tertinggal jauh. Islam mengajarkan kita untuk fokus pada diri sendiri, bersyukur atas apa yang dipunya, dan tidak iri terhadap nikmat orang lain. Allah berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 32, "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain..."
Bekerja dengan Halal, Hasilnya Lebih Nikmat
Ada banyak jalan rezeki yang lebih nyata, lebih halal, dan lebih mendidik jiwa. Islam sangat menghargai kerja keras yang jujur. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada makanan yang lebih baik dari hasil usaha tangan sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Daud makan dari hasil tangannya sendiri." (HR. Bukhari). Maka kalau hari ini Anda bekerja di bengkel, jualan cilok, ngojek online, atau jadi karyawan biasa, tidak perlu merasa minder. Selama Anda bekerja dengan cara yang halal dan jujur, maka rezeki Anda pasti berkah dan cukup.
Dan kalau Anda memang merasa punya passion di dunia konten, tidak masalah. Tapi jangan jadikan itu satu-satunya jalan hidup. Jadikan itu sebagai sarana, bukan tujuan. Fokuslah pada memberi manfaat, bukan mengejar viral. Belajar dulu dengan serius, bangun karakter, pahami algoritma, dan yang terpenting: luruskan niat.
Sadar dan Kembali ke Realita
Saat ini banyak dari kita yang mungkin sudah terjebak. Sudah terlanjur ikut tren jadi content creator, tapi belum melihat hasil. Sudah mengorbankan banyak waktu, tapi malah kehilangan arah. Atau bahkan sudah mulai stres karena hidup terasa mandek. Maka saatnya kita merenung: apakah ini jalan yang benar? Apakah ini yang Allah ridai?
Islam tidak melarang kita menjadi content creator. Tapi Islam mengajarkan untuk realistis, bertanggung jawab, dan tetap menimbang semua dari sisi halal-haram serta manfaat-mudharatnya. Kalau ternyata lebih banyak mudharat, lebih baik kembali ke jalan yang lebih jelas dan nyata. Tidak semua orang ditakdirkan jadi selebritas dunia maya. Tapi semua orang punya kesempatan jadi hamba Allah yang sukses dunia akhirat.
Kesuksesan Sejati Butuh Waktu dan Kesabaran
Satu hal yang pasti, tidak ada kesuksesan sejati yang didapat tanpa waktu, proses, dan kesabaran. Bahkan untuk menumbuhkan pohon mangga pun butuh waktu bertahun-tahun. Tidak bisa langsung berbuah cuma karena kita ingin. Dalam dunia nyata, proses adalah bagian dari keberhasilan itu sendiri. Maka daripada mengejar sensasi, lebih baik kita fokus memperbaiki kompetensi. Daripada mengejar viral, lebih baik kita memperbanyak amal. Daripada tergiur gaya hidup digital, lebih baik kita bangun kehidupan spiritual yang lebih stabil.
Karena pada akhirnya, ketika kita kembali kepada Allah, tidak ditanya berapa followers yang kita punya. Tapi ditanya untuk apa umur dihabiskan, dari mana harta didapat, dan ke mana ilmu digunakan. Dan saat itulah kita akan menyadari, kalau jalan pintas tidak akan pernah mengantar ke surga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI