Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Talks about worklife and business. Visit my other blog: scmguide.com

-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Susah Sekali Menerima Kekalahan?

9 November 2020   15:15 Diperbarui: 9 November 2020   15:45 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: unsplash.com

Pernah marah-marah karena kalah saat bertanding? Kesal karena kalah dalam berkompetisi? Atau sekedar kalah dalam sebuah permainan bersama teman? Bagaimana rasanya?

Sulit ya menerima kekalahan?

Sulit untuk menerima kalau kita ternyata bukanlah yang terbaik.

Sekarang, pertanyaannya saya ganti. Pernah jadi juara dua? Bagaimana rasanya? Pasti lebih ngga enak lagi rasanya. Nyesek. Tanggung banget, padahal sedikit lagi juara satu.

Malah mungkin rasanya lebih menyakitkan dibandingkan mendapat juara tiga. Lebih menyesali kekalahan. Coba saja lihat wajah-wajah pemain bola yang "cuma" menerima medali perak. Wajahnya lebih sedih dibandingkan tim yang menerima medali perunggu.

Kenapa begitu?

Ternyata, ada alasan psikologis kenapa kita takut akan sebuah kekalahan. Dan salah satu penyebabnya adalah karena otak dan tubuh kita mengalami apa yang disebut dengan negativity bias.

Gara-gara itu, kita jadi lebih terpaku pada hal-hal negatif yang terjadi pada hidup kita. Termasuk sebuah kekalahan tentunya.

Bahkan kekuatiran kita akan sebuah kekalahan itu lebih besar daripada perasaan senang saat kita menang.

Fenomena itu disebut loss aversion alias ngga mau rugi, termasuk di dalamnya sebuah kekalahan.

Dan ini yang banyak menggerakkan orang sampai hari ini. Bahkan dalam hal kecil pun, seperti dalam sebuah permainan tadi, tetap mempengaruhi kita.

Padahal, apa sih ruginya kalau kalah dalam permainan saat bermain bersama teman, misalnya.

Ayo kita lihat lebih jauh kenapa orang benci kalah dan lebih mudah terpaku, lebih besar dampaknya, pada hal itu bahkan jika dibandingkan dengan menikmati sebuah kemenangan.

Otak diciptakan untuk bereaksi lebih dramatis terhadap berita buruk

Coba kamu bilang ke otak kamu kalau kamu kalah. Atau ingat-ingat bagaimana reaksi kamu saat kalah. Bandingkan dengan saat kamu menang. Otak akan bereaksi lebih dramatis ketika kalah daripada ketika menang. Atau, bereaksi lebih saat hal negatif terjadi dibandingkan saat terjadi hal positif.

Dalam hal ini, negativity bias sekali lagi terbukti.

Saat seseorang dihadapkan pada situasi yang diasosiasikannya sebagai emosi negatif, aktifitas listrik di otaknya akan meningkat. Sebuah studi di Ohio State University mengemukakan hal ini.

Sebaliknya, saat dihadapkan pada hal positif, aktifitas listrik di otaknya cenderung lebih rendah.

Itu yang menjadi sebab kenapa kita memberi perhatian yang lebih, baik secara psikologis maupun emosional, terhadap sebuah kekalahan dibandingkan dengan kemenangan.

Yang lebih menarik lagi, bias ini ternyata ngga terbentuk setelah seseorang mengalami kekalahan demi kekalahan dalam hidupnya. Tapi pertama kali muncul justru pada fase paling awal dalam hidupnya.

Sebuah studi tahun 2008 menemukan kalau negativity bias pertama kali muncul pada saat seseorang masih bayi. Bahkan pada beberapa bulan awal kehidupannya. Wow!

Dan itu juga yang menjadi alasan kenapa berita-berita negatif lebih menarik perhatian kita dibandingkan dengan berita positif. Dan ini dimanfaatkan dengan baik oleh para pembuat berita.

Sumber foto: unsplash.com
Sumber foto: unsplash.com

Begitu juga dengan sebuah kekalahan. Kita bereaksi lebih dramatis saat kalah dibanding saat menang. Karena otak kita, mendedikasikan energinya lebih banyak untuk memproses sebuah kekalahan dibandingkan dengan sebuah kemenangan.

Kita semua punya sedikit loss aversion

Ada alasan lain kenapa kita begitu benci sama yang namanya kalah.

Salah satu yang terkenal adalah apa yang dikemukakan dalam teori ekonomi, yaitu orang membuat sebuah keputusan finansial, prioritasnya adalah lebih untuk menghindari kerugian dibandingkan untuk mendapatkan lebih banyak. Ini yang tadi disebut sebagai teori loss aversion.

Teori ini dikembangkan ekonom Daniel Kahneman dan Amos Tversky di tahun 1979.

Konsep yang mereka kemukakan adalah kita cenderung bertindak dengan tujuan lebih untuk menghindari kekalahan daripada untuk mendapatkan kemenangan.

Menurut mereka, rasa kesal yang timbul karena kehilangan uang dalam jumlah tertentu, lebih besar daripada perasaan senang yang timbul saat mendapatkan uang dengan jumlah yang sama.

Yang menarik lagi, tubuh kita secara fisik pun bereaksi lebih intens saat kalah dibandingkan saat menang.

Sebuah studi tahun 2011 meneliti tentang pergerakan mata dan detak jantung yang ternyata menjadi jauh lebih aktif saat merespon kekalahan dibandingkan kemenangan.

***

Menarik untuk mengetahui ternyata diri kita sudah "terprogram" dari sananya untuk lebih memberi perhatian pada kekalahan dibandingkan kemenangan.

Mungkin itu juga yang membuat orang yang bisa menerima kekalahan dengan lapang dada adalah orang yang hebat. Karena dia berhasil melawan "program" yang sudah tertanam dalam dirinya.

Atau, dia tetap merasakan kekesalan dan kekecewaan itu tapi tetap mampu bertindak dengan bijaksana. Karena emosi negatif yang kita rasakan bukan berarti pembenaran untuk melakukan tindakan yang negatif juga kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun