Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Talks about worklife and business. Visit my other blog: scmguide.com

-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Susah Sekali Menerima Kekalahan?

9 November 2020   15:15 Diperbarui: 9 November 2020   15:45 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: unsplash.com

Sumber foto: unsplash.com
Sumber foto: unsplash.com

Begitu juga dengan sebuah kekalahan. Kita bereaksi lebih dramatis saat kalah dibanding saat menang. Karena otak kita, mendedikasikan energinya lebih banyak untuk memproses sebuah kekalahan dibandingkan dengan sebuah kemenangan.

Kita semua punya sedikit loss aversion

Ada alasan lain kenapa kita begitu benci sama yang namanya kalah.

Salah satu yang terkenal adalah apa yang dikemukakan dalam teori ekonomi, yaitu orang membuat sebuah keputusan finansial, prioritasnya adalah lebih untuk menghindari kerugian dibandingkan untuk mendapatkan lebih banyak. Ini yang tadi disebut sebagai teori loss aversion.

Teori ini dikembangkan ekonom Daniel Kahneman dan Amos Tversky di tahun 1979.

Konsep yang mereka kemukakan adalah kita cenderung bertindak dengan tujuan lebih untuk menghindari kekalahan daripada untuk mendapatkan kemenangan.

Menurut mereka, rasa kesal yang timbul karena kehilangan uang dalam jumlah tertentu, lebih besar daripada perasaan senang yang timbul saat mendapatkan uang dengan jumlah yang sama.

Yang menarik lagi, tubuh kita secara fisik pun bereaksi lebih intens saat kalah dibandingkan saat menang.

Sebuah studi tahun 2011 meneliti tentang pergerakan mata dan detak jantung yang ternyata menjadi jauh lebih aktif saat merespon kekalahan dibandingkan kemenangan.

***

Menarik untuk mengetahui ternyata diri kita sudah "terprogram" dari sananya untuk lebih memberi perhatian pada kekalahan dibandingkan kemenangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun