EDITING PRIBADI
Hampir dua dekade saya tak menyentuh rel kereta api, dan mudik kali ini menjadi pengalaman yang sangat berbeda. Karena tuntutan pekerjaan, saya harus meninggalkan kebersamaan keluarga di hari raya dan menempuh perjalanan sendiri menuju Yogyakarta. Pilihan saya jatuh pada KAI Angkutan Lebaran 2025 Â Argo Dwipangga, bukan sekadar kereta api, tapi sebuah pengalaman. Begitu kaki melangkah ke peron dan melihat bodi putihnya yang mengilap dengan aksen merah biru, saya langsung merasakan nuansa elegan yang menenangkan. Nama "Dwipangga" yang berarti gajah, benar-benar terasa relevan, kereta ini tangguh, besar, dan anggun dalam lajunya.
Di dalam gerbong KAI Angkutan Lebaran, saya seperti melintasi waktu. Tidak ada lagi bangku keras atau suasana pengap seperti yang saya ingat dulu. Kini, setiap kursi bisa direbahkan nyaman, dilengkapi selimut, bantal, meja lipat, dan bahkan stopkontak pribadi. AC yang sejuk, pencahayaan hangat, dan pelayanan ramah membuat saya lupa bahwa saya sedang dalam perjalanan kerja. Selama delapan jam lebih perjalanan, Argo Dwipangga seolah menjadi ruang refleksi, tempat saya berdamai dengan kesendirian di hari raya, sekaligus menyadari bahwa kemajuan transportasi Indonesia telah menjelma menjadi sesuatu yang bisa dibanggakan.
Masuk ke dalam gerbong, penumpang akan disambut oleh interior yang tenang dan mewah. Di kelas eksekutif, bangku kulit ergonomis dengan sandaran yang dapat disesuaikan, meja lipat, lampu baca, serta stopkontak pribadi menjadi standar. Sementara di kelas luxury, penumpang serasa naik pesawat kelas bisnis: kursi bisa direbahkan hingga 180 derajat, tersedia bantal, selimut, handuk, hingga minibar pribadi. Gerbong yang sejuk dengan AC modern dan tata cahaya hangat menjadikan perjalanan panjang menjadi pengalaman menyenangkan, bahkan menyembuhkan.
Kenyamanan tidak berhenti pada tempat duduk. Argo Dwipangga dilengkapi dengan kereta makan khusus yang menghadirkan menu-menu hangat dan kopi seduhan langsung, memungkinkan penumpang menikmati makan sambil memandangi sawah, gunung, dan kota-kota yang dilewati. Setiap sudut kereta dirancang untuk memberi ketenangan dan kemudahan: dari toilet yang bersih dan modern hingga layanan kru yang sigap dan ramah, menghadirkan pengalaman perjalanan seperti hotel berjalan.
Bagi banyak penumpang, Argo Dwipangga lebih dari sekadar moda transportasi, ia adalah jembatan harapan. Dari mahasiswa yang pulang membawa mimpi, pebisnis yang mengejar waktu, hingga keluarga yang merajut kenangan, kereta ini menjadi saksi bisu dari ribuan kisah hidup. Di tengah deru rel dan gemuruh mesin, Argo Dwipangga membawa bukan hanya tubuh, tapi juga semangat dan harapan, menjadikannya legenda modern di jalur rel Indonesia.
Hati Tua Yang Menemani
Di bangku sebelah kami, duduk seorang bapak tua berusia 82 tahun, yang tampak lelah tapi tetap tersenyum. Anak perempuannya menitipkan beliau dengan cepat kepada pramugara dan pamit buru-buru, katanya karena harus ke bandara. Si bapak menoleh ke kami, lalu mulai bercerita, dengan suara lirih yang sarat pengalaman. Ia memiliki enam anak, semuanya tinggal di Jakarta, dan katanya semua sudah sukses secara materi, rumah besar, mobil mewah, jabatan tinggi. Tapi ada kekosongan di matanya saat ia berkata, "Tapi tidak satu pun dari mereka bisa menemani saya hari ini..."
Dengan suara yang hampir berbisik, ia melanjutkan, "Saya bangga pada mereka, tapi kadang saya bertanya, apakah kesuksesan bisa dibagi sedikit untuk sebuah pelukan?" Matanya menerawang ke luar jendela, menatap sawah yang menghijau. "Mereka menyayangi saya, saya tahu. Tapi kesibukan kadang mencuri waktu sayang itu. Kini saya tinggal di panti jompo. Bukan karena saya dibuang, tapi mungkin karena tak ada tempat lagi di kehidupan mereka yang penuh jadwal." Ucapannya menusuk, bukan karena marah, tapi karena kerinduan yang dalam dan tak terbendung.
Di tengah dinginnya pendingin kabin dan suara lembut roda kereta yang menggerus rel, suara lirih bapak tua itu justru paling nyaring menggema dalam hati kami. Ia tidak menuntut, tidak menyalahkan, hanya bercerita, tentang rindu yang tak bisa dikirim lewat paket, tentang pelukan yang tak bisa diganti dengan transfer bank. Usianya 82 tahun, tapi setiap kata yang diucapkannya seolah lahir dari usia yang lebih tua: usia hati yang terlalu lama menunggu.
Bapak itu tak pernah menyebut nama keenam anaknya. Mungkin karena ia tak ingin kami menilai. Atau mungkin karena ia sedang melindungi mereka dari rasa bersalah yang bisa muncul dari orang asing. Tapi dari cara ia menghela napas dan menatap keluar jendela, kami tahu: ada nama-nama yang ia bisikkan setiap malam dalam doa. Nama-nama yang dulu ia ajari berjalan, sekarang hanya bisa ia bayangkan berjalan menjauh darinya.