"Kita akan bertemu pada saat purnama berwarna kemerahan dan ombak laut meninggi. Kabut putih-tebal berarak ke selatan, dan rumput-rumput berdaun pipih tidak lagi kedinginan didera hujan," katamu minggu lalu.
Aku takzim mendengar. Ketika bibirmu mengucap serupa mantra. Aku mendongakkan dagu, merasakan tinggimu yang selalu terasa lebih menjulang.
"Kita akan bertemu di negeri di balik pelangi," jawabku menduga. Ketika kalimat merupa mantra selesai kau ucapkan.
***
Aku pernah mendengar kisah tentang sebuah negeri di balik pelangi. Di sana burung berkicau lebih pagi. Dan senja berlangsung seperenam hari. Pelangi selalu muncul ketika ada rakyat yang sedang bersedih. Dan bila bulan berwarna merah, maka itu adalah saat terbaik untuk menikmati kopi pada sepertiga malam.
Pada sepertiga malam itu, banyak hal juga diselesaikan. Dipecahkan, tepatnya. Jalan keluar dirembug. Solusi dipikirkan. Dan pilihan ditetapkan. Tanpa kemarahan. Tanpa kerisauan.Â
Bulan berwarna kemerahan dan kopi sudah membuat seluruh penduduk lupa bagaimana marah kepada sesamanya. Mereka tidak sabar menunggu pagi menjelang, dan saling melempar senyum dari balik jendela. Melambaikan tangan, dan menanti malam berikutnya tiba.
Di negeri di balik pelangi, waktu tidak ditandai dengan jam. Tidak ada zonasi waktu. Mereka menancapkan sebatang bambu di tanah lapang pinggiran dermaga. Bambu setinggi 7,8 meter. Didirikan sedemikian rupa tanpa tali-tali perentang, tanpa pasak-pasak penguat.
Di tanah lapang itu, matahari bersinar sepanjang hari. Terbit dari arah yang sama sepanjang tahun dan dalam durasi yang sama lama. Menjejakkan hadirnya dalam bayangan batang bambu.Â
Bayangan-bayangan itulah yang sekali waktu dilihat pada penduduk. Untuk sekedar menandai waktu. Kapan mereka harus memanjat pohon nira. Kapan mereka harus berangkat ke huma. Kapan hidangan makan siang disiapkan. Atau kapan waktu bertemu ditandai.