Rasa rindu yang menumpuk sebulan lamanya akhirnya terbayar. Di balik pelukan seorang anak yang kini tumbuh dalam disiplin dan ketenangan, saya menyadari bahwa pesantren yang memegang teguh sunnah bukan hanya tempat belajar, tapi tempat menemukan kedamaian hati orang tua.
Ahad kemarin menjadi hari yang sangat membahagiakan. Hari itu adalah jadwal pertemuan orang tua santri di pondok pesantren---momen yang selalu dinanti setiap bulan. Inilah saat bertemu dengan sang jagoan yang sedang menimba ilmu agama di Mahad Al-Ikhlash Al-Islamiy.
Entah mengapa, meski tubuh masih terasa lemas karena flu dan radang tenggorokan, semangat saya justru berlipat ganda. Betul kata orang, kesehatan itu datang dari pikiran. Begitu menerima undangan pertemuan orang tua untuk seminar parenting bulanan dua hari sebelumnya, rasa sakit seolah sirna.
Pagi itu saya menyiapkan beberapa makanan kesukaannya, bergegas mandi, lalu bersama suami meluncur ke lokasi pondok secepat mungkin. Kami ingin tiba lebih awal agar bisa segera melepas rindu dengan anak yang hanya bisa ditemui sebulan sekali. Jadwal kajian parenting dimulai pukul sembilan, namun pukul delapan kami sudah tiba di lokasi.
Menggali Kabar dan Cerita Anak
Seperti biasa, saya dan suami selalu memanfaatkan kunjungan ini untuk menggali informasi sebanyak mungkin tentang keseharian anak: bagaimana kesehatannya, bagaimana pondok menangani santri yang sakit, seperti apa jadwal makan, kegiatan belajar, hingga hal-hal kecil yang mungkin terjadi dalam sebulan terakhir.
Anak kami sejak kecil memang terbiasa bercerita. Sejak duduk di bangku taman kanak-kanak, ia tak pernah segan membagikan kisah apa pun yang dialaminya. Maka, ketika waktu bertemu kini sangat terbatas, kesempatan sebulan sekali itu menjadi momen berharga untuk mendengarkan ceritanya dengan saksama.
Di Tengah Polemik Pesantren, Rasa Syukur yang Tak Terhingga
Akhir-akhir ini, pemberitaan tentang dunia pesantren banyak menyita perhatian publik. Sayangnya, sebagian besar bukan kabar baik. Ada saja kasus yang muncul karena ulah oknum tak bertanggung jawab---dari kekerasan, penyelewengan, hingga pelanggaran moral---yang menodai nama besar pesantren di Indonesia.
Bagi para orang tua, berita-berita seperti itu tentu menimbulkan kecemasan. Bagaimana tidak, pesantren sejatinya adalah tempat suci tempat anak dididik menjadi insan berilmu dan berakhlak mulia. Karena itu, ketika saya melihat langsung bahwa anak saya hidup sehat, ceria, dan mendapatkan pembinaan yang penuh kasih di pesantren yang berpegang pada Al-Qur'an dan Sunnah, rasa syukur itu tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Kedisiplinan dan Pembiasaan Sejak Dini
Santri di pondok sudah terbiasa bangun lebih awal, bahkan sejak pukul setengah empat pagi untuk persiapan salat Subuh berjamaah di masjid. Kebiasaan ini membuat saya kagum, mengingat ketika di rumah dulu, membangunkannya untuk salat Subuh bukan perkara mudah.
Bahasa Arab juga menjadi bahasa keseharian. Sistem pembiasaan berbahasa Arab membuat para santri termotivasi menambah kosakata agar dapat berkomunikasi lebih lancar, terutama saat "pekan bahasa" tiba.