Atasan menerimanya bergabung. Bekerja dengan saya dalam satu tim. Ya, ia adalah bawahan saya yang kemudian menjadi orang yang paling perhatian dan terlampau sibuk mengurusi saya. Jujur, saya menjadi tidak nyaman.
Setiap kali saya datang, ia akan menyambut dengan sangat ramah. Di saat yang lain sudah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, ia akan membawakan tas saya sejak masuk di pintu lobi dan mengantarkan sampai saya duduk di ruangan. Dengan ramah (yang saya rasa dibuat-buat) ia pun akan menawari saya minum seolah memberikan layanan terbaik. Padahal, di sana ada OB. Saya sendiri sudah sangat terbiasa mengambil minum sendiri atau meminta OB mengambilkannya.
Kalau saya sakit dan tidak masuk kerja, dia yang bertanya paling perhatian. Lagi-lagi saya merasa kurang nyaman. Sebab rekan kerja yang lain sudah paham bahwa, saya tidak akan merasa gak diperhatikan andai mereka tidak bertanya kabar, saya tidak ingin diganggu.
Lebih dari itu, ibu Juminten ini sering mengirimi saya makanan, membantu membawakan barang, menawarkan bantuan saat saya bekerja bahkan sampai kerap datang ke rumah untuk sekadar menawarkan diri barangkali ada yang bisa dibantu. Saat itu saya baru pindah rumah dan tinggal satu komplek dengannya.
Saya tidak terbiasa dengan tindakan seperti itu. Bukan tidak senang, tetapi rasanya saya sendiri bisa membedakan mana yang tulus dan yang berlebihan. Lagi pula, dalam urusan kerja saya hanya fokus dengan profesionalisme. Seseorang dinyatakan baik itu kalau: tugasnya beres dan berlaku sebagaimana mestinya sesuai dengan posisi dan tupoksi masing-masing. Selebihnya ketika di luar jam kerja, silakan jalani kehidupan masing-masing.
Suatu hari, ia melakukan kesalahan yang cukup fatal. Sesuai dengan kewenangan dan aturan yang berlaku, teguran tetap saya lakukan, sama seperti kepada yang lainnya jika memang melanggar.
Waktu berlalu, ia mulai menjauh. Kebiasaan yang sebelumnya ia tunjukkan kepada saya, perlahan hilang. Ia menarik diri, dan saya tidak heran akan hal itu.
Sampai suatu ketika, ada komplain dari klien yang terdengar langsung di telinga atasan. Ada pelayanan dari tim kami yang dinilai kurang memuaskan klien. Dan GOONG-nya adalah, ibu Juminten si orang baik yang selalu membela saya itu mengadukan saya dan menyebut bahwa sayalah satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab atas semuanya. Padahal jika mau membela diri, komplain klien berasal dari kinerja salah satu anggota tim yang kurang memuaskan. Namun apa mau dikata, saya adalah leadernya. Sayangnya, atasan lebih mendengarkan keterangan dari ibu Juminten daripada mendengarkan fakta dari saya.
Akhirnya saya harus mundur dan orang yang melakukan kesalahan selamat dari teguran atas dasar pembelaan ibu Juminten.
Saya pun menyimpulkan, penjilat bisa menjilat siapapun untuk menyelamatkan posisinya. Rasa takutnya membuat ia memilih untuk mencari dukungan dengan keterampilannya membuat rayuan, menyanjung dan meninggikan lawan bicara. Jika sasaran sudah tidak dapat dibujuk masuk perangkap, maka ia akan mencari mangsa lain.
Hati-hati dengan Pelaku Sugar Coating
Dari pengalaman yang saya bagi ini, saya berharap siapapun harus berhati-hati dengan pelaku sugar coating. Kenali indikasinya, dan jangan pernah memberikan respon yang berlebihan. Balas perlakuan dia sewajarnya. Jangan pernah menerima pemberian barang atau bantuan apapun. Sebab apa yang kita terima apa yang kita "iya" kan hanya akan menjadi boomerang.