Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Blogger

Penulis, Blogger, Alumnus Pascasarjana PAI UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Dua Sisi Sugar Coating yang Membahayakan

6 Oktober 2025   10:45 Diperbarui: 6 Oktober 2025   17:36 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sugar coating (gambar: Seo Galaxy/Unsplash)

Tidak ada yang benar-benar akan selamat dari tindakan sugar coating. Baik pelaku, maupun korban. Pertama, pelaku meskipun beberapa kali dapat menyelamatkan karirnyta, suatu hari ia akan mendapatkan cap buruk dari atasan (yang memiliki prinsip kuat) atau dari teman sejawat yang merasa dirugikan karean memiliki niat tulus bekerja tanpa harus menjilat.

Kedua, kerugian dari sisi korban. Mengapa saya katakan korban? Karena orang yang mendapatkan treatment sugar coating biasanya harus merasakan dampak negatif setelah kena rayuan dan perangkap seorang penjilat. Baik dampak yang besar maupun rasa sesal berkepanjangan, "mengapa saya terlampau mudah percaya?"

Pengalaman kerja yang saya lalui di beberapa tempat, cukup membuat saya menemukan banyak pelajaran soal tindakan sugar coating. Saya menyaksikan prosesnya, menemukan dan melihat sendiri pelakunya bahkan merasakan menjadi korban yang mendapatkan treatment dari seorang pelaku sugar coating. Saya pun akan membagi pengalamannya di sini.

Sudah Pakai Jurus Sugar Coating Tetapi Apes Setelah Ketahuan

Sebut saja Kardun (nama samaran) ia sering sekali bolos kerja. Datang pun sering terlambat. Kami semua tahu ia adalah lelaki yang punya masalah soal waktu dan kemampuan bekerja. Ia bukan orang yang gesit dan memprioritaskan waktu. Itulah yang membuatnya sering sekali datang terlambat dalam berbagai momentum. Bahkan sampai sering memilih untuk tidak masuk kerja akibat sudah sangat terlambat. Pekerjaannya pun banyak yang tidak beres.

Namun jangan salah, soal bicara ia begitu lihai. Semua topik pembicaraan nyambung. Sampai atasan kami benar-benar terkesan. Kalau mereka datang kunjungan ke tempat kerja, mereka akan bertanya, "Mana Pak Kardun? Seru kalau sudah ngobrol dengan dia."

Kardun pun punya body language yang bagus. Ketika ada atasan atau tamu dari luar datang untuk keperluan meeting, ia adalah orang yang paling sigap menarik kursi dan mempersilahkan tamu duduk. Ia juga paling rajin bersih-bersih padahal ada OB yang bertugas. Bahasa tubuh yang demikian membuat mereka (para atasan) merasa dihargai lebih, daripada oleh kami yang tidak bertindak demikian.

Tahun berlalu, atasan tidak pernah benar-benar menindaknya atas pelanggaran yang kerap dilakukan. Siapa yang jadi korban? Tentu saja kami. Banyak pekerjaannya yang harus di-backup. Banyak jatah pekerjaan yang sudah dibagi rata, malah menjadi kembali menjadi tugas kami dan terpaksa lembur hanya untuk menyelesaikan tugas Kardun yang berantakan.

Apa kabar dengan Kardun ketika tahu kami harus lembur karena ulahnya? Ia tetap saja jarang bekerja. Duduk santai di kantor, menunggui kami yang tengah keras bekerja, menyalakan musik keras-keras, menyeruput kopi, berkelakar dengan jokes yang garing dan---tetap tidak sadar kalau kami sebenarnya sudah sangat lelah menjadi rekan kerjanya.

Akhirya di puncak kekesalan, kami mengumpulkan data pelanggaran Kardun dan mencoba mengajukan kepada atasan untuk pemberlakuan sanksi sebagaimana peraturan yang berlaku di tempat kerja. Beruntung, atasan terbuka mata hatinya. Akhirnya Kardun pun mendapatkan ganjaran yang setimpal.

Penerima Treatment Sugar Coating yang Punya Prinsip, Siap-siap Dihancurkan

Seorang perempuan bernama Juminten (nama samaran), baru datang melamar kerja. Ketika itu saya sudah menjadi leader yang memimpin beberapa orang dalam satu tim. Entah mengapa sejak datang melamar, saya merasa bahwa gestur, bahasa dan cara bicaranya itu seolah dibuat-buat. Namun kemudian saya tepis, tidak mau berburuk sangka. Mungkin itu memang usahanya agar bisa diterima kerja. Namun saya tetap memasang mode waspada.

Atasan menerimanya bergabung. Bekerja dengan saya dalam satu tim. Ya, ia adalah bawahan saya yang kemudian menjadi orang yang paling perhatian dan terlampau sibuk mengurusi saya. Jujur, saya menjadi tidak nyaman.

Setiap kali saya datang, ia akan menyambut dengan sangat ramah. Di saat yang lain sudah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, ia akan membawakan tas saya sejak masuk di pintu lobi dan mengantarkan sampai saya duduk di ruangan. Dengan ramah (yang saya rasa dibuat-buat) ia pun akan menawari saya minum seolah memberikan layanan terbaik. Padahal, di sana ada OB. Saya sendiri sudah sangat terbiasa mengambil minum sendiri atau meminta OB mengambilkannya.

Kalau saya sakit dan tidak masuk kerja, dia yang bertanya paling perhatian. Lagi-lagi saya merasa kurang nyaman. Sebab rekan kerja yang lain sudah paham bahwa, saya tidak akan merasa gak diperhatikan andai mereka tidak bertanya kabar, saya tidak ingin diganggu.

Lebih dari itu, ibu Juminten ini sering mengirimi saya makanan, membantu membawakan barang, menawarkan bantuan saat saya bekerja bahkan sampai kerap datang ke rumah untuk sekadar menawarkan diri barangkali ada yang bisa dibantu. Saat itu saya baru pindah rumah dan tinggal satu komplek dengannya.

Saya tidak terbiasa dengan tindakan seperti itu. Bukan tidak senang, tetapi rasanya saya sendiri bisa membedakan mana yang tulus dan yang berlebihan. Lagi pula, dalam urusan kerja saya hanya fokus dengan profesionalisme. Seseorang dinyatakan baik itu kalau: tugasnya beres dan berlaku sebagaimana mestinya sesuai dengan posisi dan tupoksi masing-masing. Selebihnya ketika di luar jam kerja, silakan jalani kehidupan masing-masing.

Suatu hari, ia melakukan kesalahan yang cukup fatal. Sesuai dengan kewenangan dan aturan yang berlaku, teguran tetap saya lakukan, sama seperti kepada yang lainnya jika memang melanggar.

Waktu berlalu, ia mulai menjauh. Kebiasaan yang sebelumnya ia tunjukkan kepada saya, perlahan hilang. Ia menarik diri, dan saya tidak heran akan hal itu.

Sampai suatu ketika, ada komplain dari klien yang terdengar langsung di telinga atasan. Ada pelayanan dari tim kami yang dinilai kurang memuaskan klien. Dan GOONG-nya adalah, ibu Juminten si orang baik yang selalu membela saya itu mengadukan saya dan menyebut bahwa sayalah satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab atas semuanya. Padahal jika mau membela diri, komplain klien berasal dari kinerja salah satu anggota tim yang kurang memuaskan. Namun apa mau dikata, saya adalah leadernya. Sayangnya, atasan lebih mendengarkan keterangan dari ibu Juminten daripada mendengarkan fakta dari saya.

Akhirnya saya harus mundur dan orang yang melakukan kesalahan selamat dari teguran atas dasar pembelaan ibu Juminten.

Saya pun menyimpulkan, penjilat bisa menjilat siapapun untuk menyelamatkan posisinya. Rasa takutnya membuat ia memilih untuk mencari dukungan dengan keterampilannya membuat rayuan, menyanjung dan meninggikan lawan bicara. Jika sasaran sudah tidak dapat dibujuk masuk perangkap, maka ia akan mencari mangsa lain.

Hati-hati dengan Pelaku Sugar Coating

Dari pengalaman yang saya bagi ini, saya berharap siapapun harus berhati-hati dengan pelaku sugar coating. Kenali indikasinya, dan jangan pernah memberikan respon yang berlebihan. Balas perlakuan dia sewajarnya. Jangan pernah menerima pemberian barang atau bantuan apapun. Sebab apa yang kita terima apa yang kita "iya" kan hanya akan menjadi boomerang.

Dalam level yang lebih parah, pelaku sugar coating bisa dibilang sebagai "musuh dalam selimut" meskipun dalam dunia kerja tidak secara langsung terjadi permusuhan. Ia adalah srigala berbulu domba yang sama-sama merumput mencari makan di ladang yang sama, tetapi selalu siap menerkam dan mencelakai kita kapan saja. Demi makan kenyang ia akan melakukan segala cara yang lebih smooth. Hanya orang yang nuraninya masih bersih yang dapat mengetahuinya.

Berhati-hatilah. Fokus pada prinsip dan aturan yang berlaku di tempat kerja, tetapkan batasan-batasan yang benar dalam interaksi sebagai atasan dan bawahan atau sebaliknya, dan interaksi antara sesama teman sejawat.

Semoga bermanfaat.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun