Mohon tunggu...
Dian Onasis
Dian Onasis Mohon Tunggu... Iruta Penulis -

Dian mulai belajar ngeblog tahun 2003. Sekarang menikmati passionnya di dunia menulis buku, terutama novel anak-anak. Sejak tahun 2008, telah menjadi kontributor untuk lebih dari 30 antologi, dan menghasilkan 7 novel anak.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

[FFA] Putri Xiau Minchu dan Sungai Mutiara

19 Oktober 2013   21:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:18 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Dian Onasis

( 314)

“Xiau Minchu…! Ah, di sini rupanya engkau, Nak. Dari tadi, Ibu  mencarimu.” Ibunda Ratu mendekati seorang gadis kecil. Ia terlihat asyik berkaca pada sungai, di bagian belakang halaman Kerajaan. Tak begitu dihiraukannya panggilan sang Ibu.

Putri Xiau Minchu namanya. Sesuai dengan sungai yang mengalir membelah kerajaan mereka,  yakni Sungai Xiau, yang artinya Sungai Mutiara. Air yang mengalir di sungai begitu bening dan bercahaya, bagaikan mutiara.

Putri Xiau Minchu memang cantik dengan kulit kuning langsat, mata indah seperti bintang dan rambutnya panjang terurai. Ia sangat sadar akan kecantikannya. Setiap hari, kegiatan utamanya, memandang pantulan wajahnya di tepi Sungai Mutiara.

Makin hari, Putri Xiau Minchu makin sering memandangi wajahnya. Ia pun jadi lupa waktu dan malas melakukan apa pun. Setiap kali Ibunda Ratu memintanya melaksanakan satu tugas, maka Putri Xiau Minchu melakukan tugasnya dengan lambat atau bahkan lupa sama sekali.

“Aduh, Xiau Minchu…, apakah engkau tak mendengar Ibu memanggil?” keluh Ibunda Ratu.

Xiau Minchu akhirnya berdiri dari posisinya yang telungkup di tepi sungai. Dengan senyum lebar, menampakkan susunan giginya yang putih dan rapi, ia mendekati Ibunda Ratu.

“Ada apa, Ibu?” tanya Xiau Minchu sambil memeluk Ibunda Ratu dengan manjanya.

“Ibu mau minta tolong. Sebentar lagi akan ada pesta rakyat. Ibu minta tolong, agar kamu mengawasi coklat buatan koki istana. Coklat itu akan dibagikan untuk rakyat yang tinggal di sepanjang tepian sungai. Jumlah coklatnya sangat banyak. Akan ada banyak orang yang membawa, meletakkan, menyusun dan kelak membagikannya,” jelas Ibunda Ratu.

“Coklat-coklat itu, harus diawasi, agar tidak terkena sinar matahari dan berada di dalam ruangan.  Kalau tidak, ia akan mencair.  Coklat ini istimewa, karena sekali mencair, ia sulit berhenti,  hingga seluruh coklatnya habis. Untuk itu, Ibu memintamu mengawasi pekerjaan ini. Tidak sulit, bukan?” tanya Ibunda Ratu.

Xiau Minchu mengangguk cepat.

“Jangan lupa pesan Ibunda ya, Nak?” tegas Ibunda Ratu.

Xiau Minchu tersenyum dan kembali mengangguk.

Keesokan harinya, Putri Xiau Minchu sudah kembali sibuk berkaca pada air sungai Mutiara. Bagi Putri Xiau Minchu, wajahnya terlihat lebih cantik jika dipandang di pantulan air, dari pada melihat pada cermin.

Ia pun lupa akan tugas yang diberikan oleh Ibunda Ratu. Petugas pembawa coklat terus menerus mengisi ruangan penyimpan coklat. Mereka bekerja tanpa henti, karena tak ada perintah dari Puteri Xiau Minchu, untuk menghentikan kegiatan.

Akibatnya, coklat-coklat terus berdatangan. Tak cukup hanya diletakkan dalam gudang, namun hingga mencapai teras dan halaman belakang kerajaan. Coklat terus bertumpuk dan menggunung.

Sementara itu, Putri Xiau Minchu masih sibuk memperhatikan kecantikannya. Ia tak peduli dengan sekitarnya. Ia lupa dengan tugasnya.

Matahari makin meninggi. Akhirnya, yang dikhawatirkan oleh Ibunda Ratu menjadi kenyataan. Coklat-coklat yang telah menggunung itu melumer, akibat teriknya matahari. Aliran coklat itu terus menuju ke arah sungai dan tak berhenti mengalir, hingga coklat terakhir.

Sesaat Putri  Xiau Minchu bingung melihat air sungai berwarna kecoklatan. Ia kesulitan melihat pantulan wajahnya. Tak berapa lam, ia tersadar akan tugasnya. Kulit kuning langsatnya memucat.

“Aaah, apa yang terjadi!?” teriak Putri Xiau Minchu. Ia berlari mendekati para pekerja kerajaan.

“Ampun, maafkan kami, Tuan Putri. Kami bertugas meletakkan coklat ini di bagian belakang halaman kerajaan. Pekerjaan ini baru boleh kami hentikan, bila Tuan Puteri perintahkan untuk berhenti. Namun karena tak ada perintah tersebut, maka kami terus menimbun. Sehingga coklat itu menggunung di bagian halaman kerajaan.” Jelas salah seorang petugas kerajaan dengan wajah cemas.

Putri Xiau Minchu memandang ke arah sungai yang akhirnya tak sebening mutiara lagi. Ia menyesal. Akibat kelalaiannya melaksanakan tugas, aliran sungai Mutiara menjadi coklat. Atas penyesalannya, ia berjanji akan membersihkan sungai itu hingga bening seperti mutiara lagi. Namun usahanya tak pernah berhasil, karena hingga kini, sungai Mutiara itu tetap berwarna kecoklatan.

***

NB : Untuk membaca karya peserta lain, silahkan menuju akun Fiksiana Community Silahkan juga, bergabung di Group FB Fiksiana Community gambar pinjem dari sini : http://gambargambarpemandangan.com/wp-content/uploads/2012/12/sungai-besar-warna-coklat-di-Vietnam-250x200.jpg

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun