Bagi sebagian orang, liburan mungkin terasa biasa saja. Tapi bagi saya dan keluarga, liburan adalah sesuatu yang mewah, baik secara biaya maupun kesempatan. Mewah karena kami tidak terbiasa melakukannya. Mewah karena tidak mudah untuk meluangkan waktu, apalagi uang, hanya untuk "berlibur".
Saya lahir dari keluarga pedagang kelontongan. Ayah dan ibu saya adalah pekerja keras yang nyaris tak kenal libur. Bahkan saat Lebaran di era 80-an, yang dulunya benar-benar hari raya di mana semua toko tutup namun mereka tetap membuka usaha. Bukan karena tak menghargai momen sakral, tapi karena kebiasaan kuat untuk tidak menyia-nyiakan peluang rezeki. Kata bapak, "Rezeki bisa datang kapan saja. Tugas kita cuma siap sedia."
Kebiasaan itu, pelan-pelan, menurun ke saya. Saya tumbuh dengan keyakinan bahwa semua hari adalah peluang kerja. Kalau ada waktu luang, manfaatkan untuk cari cuan. Kalau bisa tetap produktif di hari Minggu, kenapa harus leha-leha?
Tapi, semua berubah setelah punya anak. Saya tersadar bahwa waktu adalah hal yang tak bisa dibeli. Hati saya mencelos tiap kali anak-anak mulai paham bahwa orang tuanya terlalu sibuk. Saya bekerja dari Senin sampai Sabtu, dan saat Minggu tiba, saya justru merasa ingin rehat total. Padahal bagi mereka, Minggu adalah waktu terbaik untuk bersama orang tua.
Keinginan untuk menghadirkan momen spesial bagi anak-anak kerap terbentur realita: biaya. Liburan berarti pengeluaran ekstra, sementara dalam pengaturan bulanan, pos seperti cicilan rumah, gaji ART, biaya sekolah, transportasi, dan kebutuhan pokok sudah menyita hampir seluruh anggaran. Tak ada slot khusus untuk "liburan keluarga".
Lalu, bagaimana caranya agar bisa menciptakan momen liburan, tanpa bikin kantong jebol?
1. Ubah Mindset: Liburan Tak Harus Mahal.Â
Dulu saya pikir, yang namanya liburan itu harus ke luar kota, pergi ke tempat-tempat wisata populer, menginap di hotel, dan makan di restoran walaupun cuma sekelas outlet Fried Chicken. Tapi ternyata, anak-anak justru bisa bahagia dengan hal-hal sederhana. Mereka senang saat diajak jajan bakso, main di taman kompleks, atau sekadar piknik bawa tikar dan bekal sendiri. Yang mereka butuhkan bukan tempat mewah, tapi perhatian dan kehadiran orang tuanya.Â
2. Manfaatkan Tempat Umum yang Terjangkau (Zaman Dulu Belum Ada Event Gratisan).Â
Tahun 2000-an, saat anak-anak saya masih kecil, belum ada Instagram yang bisa kasih informasi event gratisan, belum ada aplikasi yang merangkum agenda event akhir pekan. Jadi kami harus lebih kreatif mencari hiburan murah meriah. Kami naik angkot ke museum, atau berkunjung ke rumah saudara yang punya kolam renang. Kadang, sekadar ke pinggiran bandara Soekarno Hatta dan melihat dari pagar pesawat mau lepas landas pun sudah cukup bikin mereka heboh.
Tidak ada informasi digital yang bisa diakses lewat ponsel, hanya info dari saudara, teman, atau hasil observasi sendiri. Tapi justru dari situ saya belajar bahwa yang penting bukan di mana, tapi bagaimana kami bersama.
3. Liburan di Rumah dengan Konsep 'Staycation Dadakan'.Â
Istilah staycation mungkin belum populer waktu itu, tapi kami sudah melakukannya tanpa sadar. Membuat piknik ala-ala dengan menggantungkan seprei di teras seperti tenda-tendaan lalu main monopoli. Bareng-bareng nonton Marvels dengan camilan ala-ala bioskop yaitu kentang goreng dan minum soda, atau bahkan dibolehkan mandi hujan dan main becek-becekan di halaman. Itu semua menyenangkan. Anak-anak merasa istimewa karena suasana dibuat berbeda dari biasanya.
Definisi liburan anti boncos : boleh mandi hujan dan main becek-becekan (sumber : dok.pri)Â
4. Tidak Ada Aplikasi Diskon, Tapi Ada Akal Hemat.Â
Tahun 2000-an belum ada aplikasi diskon atau cashback. Tapi kami pintar mengakali pengeluaran. Kalau pergi seharian, kami bawa bekal dari rumah. Nasi, telur dadar, ayam goreng, sambal, dibungkus rapi. Minuman? Bawa botol besar isi teh manis. Kami juga membawa pakaian ganti supaya tak perlu beli yang baru kalau anak-anak kotor main. Hemat versi emak-emak zaman itu ya seperti itu: kreatif, siap sedia, dan anti gengsi.Â
5. Jangan Lupa Ajak Anak Merencanakan.Â
Liburan murah bukan berarti harus didesain sepihak oleh orang tua. Ajak anak-anak terlibat dalam perencanaan. Tanyakan ke mereka, "Minggu depan kita libur, enaknya ngapain ya tanpa keluar banyak uang?" Kadang ide mereka lucu dan sederhana misalnya masak bareng di dapur sambil pretend play jadi chef. Liburan jadi terasa lebih menyenangkan karena mereka merasa punya andil.Â
6. Nabung dengan Cara Klasik: Celengan Liburan.Â
Kami dulu punya satu toples plastik di atas kulkas. Saya tempel tulisan "Buat Jalan-jalan". Isinya uang receh, tapi setiap ada sisa uang belanja, saya masukkan ke situ. Nabung dengan cara ini dimaksudkan supaya ada dana yang disiapkan untuk agenda piknik bareng keluarga besar ke Kebun Binatang Ragunan.
Liburan Bukan Tentang Uang, Tapi Tentang Kenangan
Kini anak-anak saya sudah beranjak dewasa. Tapi kadang mereka masih bercerita tentang masa-masa itu. Tentang saat mereka memetik buah kresen di pohon dekat rumah, jalan kaki ke kampung sebelah mencari ciplukan/cenet, berenang di kolam renang umum bawa bekal nasi atau mie goreng, atau ikut saya naik angkot ke pasar pagi lalu pulangnya mampir beli mie ayam.
Mereka tidak ingat harga tiket atau tempat mewah yang kami kunjungi, tapi mereka ingat rasanya. Rasanya dicintai, diperhatikan, dan diajak bersenang-senang.
Liburan itu bukan hanya tentang ke mana kita pergi, tapi bagaimana kita hadir. Sebagai orang tua yang dibesarkan dalam keluarga pekerja keras, saya perlu belajar untuk sesekali berhenti. Karena waktu, sama seperti uang, juga harus diinvestasikan. Dan investasi waktu dengan keluarga adalah hal yang tak bisa dibeli kembali.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI